Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lagi-Lagi, Lembaga Keamanan

Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum dibentuk untuk mencari penyelesaian kasus-kasus yang terjadi. Tapi akar masalahnya tak pernah dituntaskan.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH binatang baru telah muncul. Bagaimana bentuknya, tak banyak orang yang tahu. Kita baru tahu secara rinci ‘binatang’-nya kayak apa setelah ada rapat pertama, ujar Jimly Asshidiqie. Pengurus teras ICMI yang kemudian ditarik ke sekretariat wakil presiden itu, kini diangkat menjadi Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum, binatang yang ia maksudkan di atas.

Memang aneh bila sekretaris dewan ini saja tak tahu bagaimana persis institusi yang akan dipimpinnya. Pembentukan dewan ini memang terkesan misterius dan mendadak. Selasa 8 Desember lalu, seusai mendampingi Presiden Habibie, Mensesneg Akbar Tandjung seperti biasa memberikan penjelasan kepada para wartawan sekretariat negara. Isinya adalah keluarnya sebuah Keputusan Presiden bernomor 191 tentang pembentukan dewan ini. Dewan ini merupakan upaya pemerintah melaksanakan agenda reformasi dan sejalan dengan aspirasi rakyat untuk menegakkan sistem hukum nasional, begitu jelas Akbar dengan suara halusnya.

Dengan semangat reformasi itulah, sebuah dewan beranggotakan 32 orang dibentuk. Formasinya seperti susunan kabinet dalam bentuk mini, yaitu diketuai oleh Presiden Habibie, sekretaris Jimly, dan anggotanya 22 menteri, ditambah dengan Jaksa Agung, Kapolri, Kabakin, Sesdalopbang, Ketua Komnas HAM, serta ketua-ketua MUI, KWI, PGI, Parisada Hindu, dan Walubi. Tampaknya, karena para anggota ini dinilai terlalu sibuk, maka Habibie juga membentuk pelaksana harian. Ketuanya Menhankam/Pangab dengan wakil Menteri Kehakiman.

Tugasnya? Tercantum dalam pasal 2 keppres tersebut. Persisnya sebagai berikut: mengendalikan dan mengoordinasikan upaya penanggulangan krisis yang mengancam stabilitas nasional dan penegakan sistem hukum secara cepat dan terpadu. Persisnya, Ya, semacam crisis center, ujar Akbar.

Dibentuknya institusi dengan tugas seperti ini dipersoalkan banyak pihak. Lembaga penopang stabilitas semacam ini bukannya tak ada. Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) adalah salah satu contohnya yang monumental. Lembaga nonstruktural yang berdiri tahun 1965--kemudian tugasnya dirumuskan kembali oleh Keppres tahun 1974--ini begitu ditakuti karena punya wewenang komando yang begitu luas, sehingga bisa menangkap orang untuk sebuah masalah yang tak jelas. Ia bisa bergerak dalam kasus eks PKI, gerakan ekstrem, dan demonstrasi mahasiswa, juga leluasa beroperasi dalam masalah pungli, pembredelan pers, sertifikat tanah, hingga mengamankan calo bis.

Walau sifatnya hanya sementara, tapi Kopkamtib bertahan hingga tahun 1988 saat Presiden Soeharto mengeluarkan keppres tentang lembaga penggantinya. Namanya Bakorstanas yang merupakan kependekan dari Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional. Dibandingkan dengan Kopkamtib, ada pereduksian tugas karena lembaga yang ada di tingkat pusat sampai daerah ini tak bisa menangkap orang dan hanya bersifat koordinatif antara berbagai instansi. Dalam prakteknya, kerap terjadi tumpang-tindih antara tugas Bakorstanas dan kepolisian, sehingga beberapa aktivis prodemokrasi mengusulkan agar lembaga itu dihapus saja.

Bukannya ditanggapi, Januari 1997 lalu pemerintah malah membentuk Posko Kewaspadaan Nasional yang ditempatkan di kantor kodim dan melibatkan aparat kodim, polres, serta ditsospol pemda. Pada saat lembaga-lembaga itu masih berfungsi, kini muncul lagi dewan ini. Tak heran, kritik pun bermunculan. Jangan sampai dewan ini menyamai Kopkamtib karena tidak ada artinya bila kemudian terjadi pelanggaran hak azasi manusia, ujar pakar hukum tata negara Sri Sumantri.

Pendapat itu dibantah tegas oleh Pangab Jenderal Wiranto. Tugas dewan yang sifatnya koordinatif ini, ujarnya, adalah menganalisis berbagai persoalan nasional yang bersifat strategis dan mendesak. Saran pemecahannya kemudian akan dilaksanakan oleh departemen dan instansi terkait. Jadi jelas dewan ini berbeda dengan Kopkamtib atau Bakorstanas karena tidak memiliki wewenang komando. Bahkan organisasinya tak sampai tingkat daerah, katanya dalam konferensi pers Ahad lalu.

Menurut rabaan Jimly, dewan yang mirip dengan DPKEK (Dewan Pemulihan Ketahanan Ekonomi) ini nantinya hanya membuat kebijakan untuk dilaksanakan oleh instansi terkait dan tidak operasional. Kebijakan itu bisa saja dalam soal keamanan, perdagangan, dan lain-lain. Perdagangan? Ya, kan sekarang ada penjarahan ekspor impor dan perdagangan narkotika, sahutnya.

Alasan pembentukan dewan, menurut Akbar, adalah karena Presiden Habibie merasa dirinya harus ikut dalam menangani masalah-masalah yang ada. Ini bukan hal yang aneh, karena kata Kepala Staf Teritorial ABRI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, di Amerika presiden bisa mengambil keputusan strategis dan sensitif dalam badan yang namanya National Security Council. Kalau menurut Wiranto sendiri, adanya dewan karena kondisi negara saat ini membutuhkan penyatuan potensi kecerdasan bangsa agar didapat langkah yang tepat dan tuntas.

Namun sebuah sumber memberikan alasan lain mengapa dewan itu terbentuk. Rupanya, dewan ini telah mengalami perjalanan panjang, karena konsep awalnya datang dari Letjen (Purn) Prabowo Subianto, semasa ia menjabat Panglima Kostrad pada bulan April lalu. Dengan konsep crisis center untuk menegakkan law and order, menantu mantan presiden Soeharto ini tampaknya ingin membeking kedudukan mertuanya yang saat itu sudah ramai didemo mahasiswa.

Tak jelas bagaimana ceritanya, konsep tersebut kemudian diambilalih Wiranto dan dimodifikasi. Bentuknya bakal seperti Kopkamtib. Konsep bekas ajudan Soeharto ini rupanya disetujui presiden dan sekitar pertengahan Mei, Soeharto memanggil Mensesneg Saadilah Mursjid untuk menguraikan rencananya membuat rancangan keppres tentang Kopkamtib. Anehnya, ia mengajukan KSAD Jenderal Subagyo HS sebagai komandannya. Namun, karena ketidakpuasan di antara petinggi-petinggi ABRI, esok harinya rancangan konsep ini langsung diubah. Penggantinya, sebuah inpres tentang Komando Operasi Kewaspadaan dan Ketertiban Nasional. Komandonya beralih ke Pangab dengan KSAD sebagai wakilnya. Nyatanya, rancangan inpres ini tak pernah menjadi kenyataan, karena tiga hari kemudian Soeharto dipaksa turun.

Masih menurut si sumber, konsep Komando Operasi Kewaspadaan dan Ketertiban Nasional inilah yang kini diwujudkan dalam bentuk Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum. Dewan ini tak selamanya menjadi lembaga konsultatif, karena bila kondisi negara memburuk, kewenangan dewan bisa saja ditingkatkan dan bisa saja mirip dengan Kopkamtib.

Benarkah? Letjen Soeyono, Sekjen Dephankam, membenarkannya. Pembentukan dewan ini memang ada kaitannya dengan rangkaian lembaga-lembaga yang pernah ada, ujarnya. Dimulai dari Kopkamtib, Bakorstanas, hingga Menko Polkam. Bulan Mei lalu dilanjutkan dengan direncanakan pembentukan Kopkamtib. Surat keputusan sudah di tangan Wiranto dengan wakilnya KSAD Subagyo. Dasarnya adalah Tap MPR No. 5 yang memberi presiden kewenangan khusus. Tidak benar akan dipimpin Prabowo, mungkin dia saja yang GR (gede rasa), ujarnya. Juga tak benar Subagyo menolak. Cuma, karena beberapa pertimbangan, Kopkamtib ini tak jadi diresmikan.

Sebelum dewan ini terbentuk, Dephankam sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi. Mereka mempunyai pusat pengendalian (pusdal) krisis yang diketuai oleh Letjen Arief J. Kumaat sebagai pelaksana operasionalisasi. Namun tindakan serupa tak ditiru oleh departemen-depertemen lain. Dengan demikian, untuk mengamankan pemilu tahun depan, dewan pun dibentuk sehingga akan melibatkan berbagai instansi.

Apa pun jawaban mereka, sebenarnya pembentukan dewan ini tak menyelesaikan masalah yang ada, tapi malah membuatnya menjadi makin ruwet. Yang seharusnya disentuh oleh pemerintah adalah masalah dasarnya, yaitu masyarakat yang merasa menjadi korban ketidakadilan yang kini menuntut penyelesaian politik. Selama pemerintah tak bisa menyelesaikan masalah dan tuntutan politik ini, maka pelanggaran akan terus terjadi dan pembentukan dewan ini bakal percuma, tandas Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus Sri Sumantri.

Diah Purnomowati, Arif A.Kuswardono, Hani Pudjiarti, Purwani DP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus