Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlindungan istimewa agaknya membuat sang Jenderal Besar begitu tenang, Rabu 9 Desember itu. Lihat saja. Penentuan tempat "pemeriksaan" dirancang melalui "operasi pengecohan" amat rahasia. Lokasi yang semula di Kejaksaan Agung dipindahkan ke Gedung Kejaksaan Tinggi. Keputusan pindah itu baru dibisikkan di kalangan amat terbatas Selasa tengah malam. Ribuan aparat keamanan diterjunkan "membersihkan" jalanan. Kawasan bisnis dan perkantoran itu pun ditutup selama lima jam. Pegawai kantor swasta berdasi dan berhak tinggi terpaksa berjalan kaki atau diantar truk tentara. Kemacetan melumpuhkan Jakarta. "Hanya untuk memeriksa satu orang, sebagian Ibu Kota lumpuh. Dulu bikin susah, sekarang juga bikin repot," gerutu seorang karyawati di Kuningan.
Pagi itu, pukul 07.20 WIB, di jalan yang kosong-melompong--selain beberapa truk militer yang malang-melintang dan motor ojek yang hilir-mudik--beberapa mobil mewah meluncur deras ke halaman Gedung Kejati. Salah satunya, jip Mercedez Benz G-300 biru metalik dengan nomor polisi B 1071 AA, ditumpangi Soeharto yang mengenakan batik coklat kekuningan. Diapit ketat beberapa pengawal dan tujuh orang penasihat hukumnya, ia segera memasuki Ruang 21.
Di dalam, para jaksa telah menunggu: Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus Antonius Sujata, JAM Tindak Pidana Umum H. Ramelan, JAM Intel Syamsu Djalaluddin, Direktur Tindak Pidana Korupsi Bismar Mannu, Kepala Pusat Operasi Intelijen Sudibyo Saleh, dan dua jaksa senior lainnya. Mereka bersalaman, lalu berbasa basi sejenak.
Terlebih dahulu pemeriksa menanyakan identitas dan apakah Soeharto mengerti maksud pemanggilan, sebagaimana tercantum pada surat bertanggal 4 Desember 1998. Isi surat: untuk didengar keterangannya sehubungan dugaan tindak pidana korupsi. Meliputi penyimpangan penggunaan uang negara untuk yayasan yang dipimpinnya; penyalahgunaan kekuasaan terhadap pemberian fasilitas kredit, bea masuk, dan PPn di PT Timor Putra Nasional; dan penyimpangan-penyimpangan lain yang merugikan keuangan negara.
Pemeriksaan belum lagi dimulai, pengacara Soeharto langsung mengajukan keberatan atas kalimat "penyimpangan lain" tersebut. "Karena tidak jelas apa maksudnya, kami tak bisa mempersiapkan jawabannya," kata Mohammad Assegaf, S.H., salah seorang anggota pengacara Soeharto. Akhirnya dicapai kompromi. Pemeriksa menyatakan, yang tidak bisa dijawab, tidak perlu dijawab. Assegaf lalu menanyakan apakah pihak kejaksaan akan membuat berita acara. Anton Sujata menyatakan berita acara tetap dibuat meski tidak mencantumkan kata "pro-yustisi"--berarti pemanggilan itu bukan penyidikan. Dan status hukum Soeharto boleh dibilang baru "terwawancara" dan bukan "saksi" apalagi "terdakwa". Tim pengacara itu berkata akan mengajukan keberatan jika ada pertanyaan yang bermuatan politik.
Begitu memasuki substansi, tim pemeriksa langsung menanyai latar belakang keluarnya Keppres No 42/1996 dan Inpres No 2/1996 mengenai Proyek Mobil Nasional Timor. Soeharto yang hari itu khusus berpuasa, langsung menjawab panjang lebar. Intinya, ia menjelaskan bahwa kebijakannya itu absah. Yaitu, sebagai Mandaris MPR yang melaksanakan amanat salah satu pasal GBHN untuk "menciptakan suatu usaha yang mandiri". Lagipula, keppres itu dikeluarkan setelah berembuk dengan menteri terkait. Dan--ini senjata pamungkasnya--hal itu telah dipertanggungjawabkan dan diterima oleh MPR.
Tentang yayasan, Soeharto berkisah soal hikayat pendiriannya. Bermula dari Yayasan Trikora yang didirikan sebelum ia menjabat presiden. Dengan tujuan menyantuni keluarga ratusan tentara yang gugur saat operasi pembebasan Irian Barat. Sementara itu, negara yang berkewajiban untuk itu, lagi cekak. Para pemeriksa mencoba mengejar dengan menanyakan asal-mula dananya. Soeharto mengakui itu berasal dari lima persen keuntungan BUMN yang menurut peraturan memang harus disisihkan untuk kegiatan sosial. Lalu, kenapa dana itu ditanamkan di berbagai perusahaan? Soeharto tangkas menjawab. Katanya, itu karena AD/ART yayasan memungkinkannya melakukan usaha lain guna mengembangkan dana yayasan.
Pertanyaan terakhir di seputar kekayaan pribadi. Mengenai aset, Soeharto mengaku memiliki rumah di Rawamangun, di Jalan Cik Ditiro, dan dua rumah di Jalan H. Agus Salim, Jakarta. Juga memiliki tanah di Tawangmangu, Jawa Tengah. Lahan TMII sepenuhnya milik negara, pihaknya hanya mengelola. Sedangkan tanah Tapos dikuasainya berdasarkan hak guna usaha. Tapi, ketika ditanyai perihal rekeningnya di beberapa bank, Soeharto sempat tercenung. "Oh, ada toh, di situ?" gumamnya. Hanya itu.
Di awal pemeriksaan, para jaksa masih gagah menyebut Soeharto dengan istilah "Saudara". Tapi, lama kelamaan para jaksa ini rupanya kikuk juga, dan mulai memanggil "Bapak Soeharto". Total jenderal, menurut kejaksaan, telah diselesaikan 43 pertanyaan. Soal mobil nasional 18 pertanyaan, 16 untuk yayasan, dan sembilan untuk masalah lain-lain.
Tapi, banyak pihak sangsi Soeharto bisa diseret ke pengadilan. Mantan Hakim Agung Adi Andojo, salah seorang yang meragukan itu. Alasan Adi, karena harta yang telah terlacak sulit dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. "Kalau dia bilang merupakan hadiah, tidak ada unsur pidananya, hanya melanggar sumpah jabatan. Itu kehebatan Soeharto dibandingkan dengan Marcos," jelas Adi lagi. Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch juga mengatakan bahwa metode penyelidikan yang dipakai cuma menyangkut prosedur legalnya. Sedangkan Soeharto punya seabrek argumentasi untuk membendungnya.
Tim Pengacara Soeharto jelas-jelas akan mempergunakan penerimaan pertanggungjawaban oleh MPR sebagai tameng utama. "Dengan demikian Soeharto bisa dilepaskan dari tanggung jawab hukum, a quit de charge," jelas Assegaf. Bahkan pengacara kawakan itu yakin, kalau cuma mengorek informasi dari Soeharto, kejaksaan tidak akan mendapatkan apa-apa. Jikapun ada, paling menyangkut segi etis, tanpa bisa mengutak-atik keabsahannya. "Paling-paling orang bilang, kok kebangetan (ada proyek) dikasih ke anaknya sendiri," jelasnya lagi.
Adi membenarkannya. Secara hukum, keabsahan keppres itu telah diterima oleh MPR. Peluang mengadili Soeharto adalah menggiring kasusnya menjadi kasus politik. Karena itulah, ia amat menyayangkan tidak golnya tap MPR khusus tentang pengusutan harta Soeharto pada Sidang Istimewa lalu. Sehingga harus menunggu Sidang Umum mendatang. Karena, menurut Teten, Soeharto justru ingin diadili saat ini, ketimbang sehabis Pemilu. Mengapa? "Pasti Habibie dan Wiranto akan melindunginya," ujarnya.
Tapi celah hukum, meski kecil, toh masih ada: memanggil serombongan mantan menteri dan pembantu Soeharto. Tujuannya, kata Anton Sujata, "Untuk menemukan penyimpangan hukum Soeharto." Assegaf pun mengakui adanya "lubang" itu. Jika mereka terbukti mendapat tekanan dalam menyusun keppres tersebut, tahap penyelidikan bisa ditingkatkan menjadi penyidikan. Tapi ia juga balik mengancam, bila keppres itu sah, berarti para menteri itulah yang menyalahgunakannya. "Tidak tertutup kemungkinan Pak Harto tidak tersentuh, tapi pelaksananya yang kena," tegas Assegaf lagi. Namun, melihat deretan nama orang-orang dekat Soeharto yang akan maju, sulit rasanya ada yang mau "bernyanyi".
Apalagi, Cendana pun sudah siaga dengan membentuk Tim Penasihat Pribadi. Tak kurang nama-nama beken seperti mantan Jaksa Agung Ismail Saleh, mantan Wakil Presiden Sudharmono, dan mantan Wakil Mensekab Bambang Kesowo direkrut. Bambang yang tahu tiap senti keppres yang diteken Soeharto, memang palang pintu terbaik. "Tidak ada satu pun inpres atau keppres yang keluar tidak dari instansi saya," jelas Kesowo sambil membenarkan penunjukan dirinya itu.
Tapi, ada satu nama menarik dalam daftar panggilan itu: Mar?ie Muhammad. Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) ini pernah merekomendasikan agar pengusutan Soeharto dimulai dengan penelitian 79 keppres yang dinilai menyimpang. Sumber TEMPO di Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa pemanggilan menteri yang dijuluki "Mister Clean" itu adalah kartu truf untuk membuktikan penyimpangan Soeharto. "Mar?ie kan oposan Pak Harto," jelas sumber itu. Untuk itu, persiapan serius tengah dilakukan. Jumat lalu, dari petang hingga tengah malam, digelar rapat dengan seluruh pengurus MTI untuk menggodoknya.
Nah, urusan Soeharto ini akhirnya bergantung pada sejauh mana "Mister Clean" berani beraksi.
Karaniya Dharmasaputra, Andari Karina Anom, Edy Budiyarso, Hendriko L. Wiremmer, IGG Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo