Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pertemuan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang membahas soal Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan Daerah Otonomi Baru (DOB) pada Jumat kemarin di Istana Bogor, mendapatkan protes dari Koalisi Kemanusiaan untuk Papua. Mereka menilai pertemuan itu merupakan langkah pemerintah pusat melakukan politik pecah belah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Anum Siregar, menilai pertemuan tersebut sebagai politik pecah karena suara MRP saat ini tengah terbelah soal isu Otsus dan DOB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan politik pecah belah. Kami tidak mau terjebak apalagi memperruncing ketegangan diantara internal anggota MRP, " ujar Anum dalam keterangannya, Sabtu, 21 Mei 2022.
Anum juga menyatakan bahwa anggota MRP yang hadir tidak mendapatkan mandat ataupun surat tugas dari lembaga tersebut.
Dalam pertemuan itu, salah satu perwakilan MRP, Mathius Awoitauw mengatakan masyarakat Papua mendukung adanya Otonomi Khusus dan DOB. Bahkan menurut dia, hal ini merupakan keinginan masyarakat Papua sejak puluhan tahun lalu.
MRP pun telah membantah pernyataan Mathius tersebut. Menurut organisasi ini, masyarakat orang asli Papua memiliki banyak kekhawatiran dan keberatan atas rencana pembentukan DOB tersebut. MRP juga telah melayangkan gugatan terhadap revisi UU Otsus Papua kepada Mahkamah Konstitusi.
Anum menyatakan keberatan atas DOB dan Otsus ini sudah disampaikan ke Jokowi sejak akhir April 2022.
"Kami tetap fokus pada politik pecah belah oleh pemerintah pusat terhadap Papua dan Presiden Jokowi yang ingkar janji dengan pertemuan sebelumnya, yaitu sepakat untuk menghormati putusan MK,” kata Anum.
Sementara itu Aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Muhammad Azka Fahriza menilai pertemuan presiden Istana Bogor sebagai bentuk partisipasi kebijakan yang manipulatif. Ia menilai delegasi MRP dalam pertemuan tersebut jelas illegal dan dituding menjual tanah dan rakyat Papua.
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, mengingatkan bahwa rencana DOB mendapat protes luas dari masyarakat Papua. Salah satunya yang digelar pada tanggal 10 Mei 2022, masyarakat Papua menggelar unjuk rasa damai di berbagai titik di Papua dan di luar Papua.
“Atas protes ini, aparat gabungan TNI dan Polri mengerahkan kekuatan berlebihan untuk menghadapi para pengunjuk rasa. Bahkan, tujuh orang aktivis yang tengah berkumpul di kantor KontraS Papua sempat ditangkap dengan dugaan jeratan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," kata Nurina.
Koalisi kembali menyampaikan bahwa rencana pemekaran DOB harus dikonsultasikan secara bermakna kepada orang asli Papua, dan juga kepada MRP sebagai lembaga negara resmi yang mewakili masyarakat adat Papua.
Koalisi pun melayangkan empat tuntutan kepada pemerintah. Pertama, pemerintah menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna dalam mengambil setiap kebijakan terkait Papua. Kedua, menunda pembentukan DOB sampai partisipasi bermakna dari masyarakat Papua tercapai.
Ketiga, koalisi meminta pemerintahan Presiden Jokowi mendengarkan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat orang asli Papua tentang Undang-Undang Otonomi Khusus dan DOB, bukan hanya mereka yang mendukung kebijakan pemerintah. Terakhir, menghormati hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi orang asli Papua.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.