Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nila setetes soal kursi ABRI itu telah merusak susu sebelanga. Dan demonstrasi besar, yang telah marak sejak awal sidang, kian membesar, laksana api disiram bensin. Korban tewas jatuh di pihak mahasiswa, aparat keamanan, masyarakat, dan juga pasukan pengaman sidang partikelir--yang baru kali ini muncul di sidang. Jumlah korban masih simpang siur, tapi sampai Minggu malam sudah 13 korban tewas serta sekitar 50 orang luka berat dan ringan. Gadis cilik, Ayu, 5 tahun, harus menjalani operasi karena pelor bersarang di kepalanya, sedangkan Gigih, 8 tahun, juga harus menjalani pembedahan. Jelas, inilah sidang MPR yang paling berdarah sepanjang sejarah Republik Indonesia, sekaligus sidang yang paling banyak mendatangkan kritik, protes, dan hujatan.
Banyak alasan di balik hujatan itu. Dalam soal kursi ABRI--yang hanya ditentang Fraksi Persatuan Pembangunan dengan walk out di sidang--mahasiswa jelas pihak yang paling menderita. (Lihat boks bagian dua, soal WO PPP.) Menjelang sidang ditutup, Jumat lalu, sejak sore hari Kampus Universitas Atma Jaya, salah satu pos mahasiswa, dihujani tembakan--dengan peluru hampa, peluru karet, dan juga peluru tajam yang mematikan. Buktinya, tiga mahasiswa tewas dan hampir 50 orang luka-luka serius serta puluhan yang lain luka ringan. Dokter yang mencungkil pelor di kaki seorang mahasiswa yang selamat memastikan bahwa pelor itu terbuat dari logam. Malam itu, sekitar pukul 23.00, rentetan tembakan yang menghujani Atma Jaya itu baru reda, hampir berbarengan dengan penutupan sidang di Senayan. "Sepertinya tembakan itu menahan mahasiswa agar tak ke luar kampus sampai sidang selesai," kata seorang saksi yang menyaksikan "Jumat Malam Berdarah" itu. (Lihat bagian tiga, tentang kekerasan.)
Dengan korban begitu banyak, pintu MPR toh tak bisa dicapai. Penjagaan berlapis-lapis, kendaraan tempur yang siaga, dan pagar kawat yang siap dialiri listrik memaksa mahasiswa berhenti di pintu gerbang luar. Praktis kesempatan menyampaikan tuntutan tak diperoleh. Para wakil rakyat--jangankan menerima tuntutan mahasiswa--hanya mendengar-dengar nasib mahasiswa di luar dari wartawan yang mondar-mandir ke luar dan ke dalam Gedung MPR, atau lewat telepon genggam yang kerap berdering di saku mereka.
Mahasiswa juga mendapat hadangan dari kelompok pengaman partikelir atau Pam Swakarsa. Kelompok beratribut Islam itu memang fenomena baru di sidang kali ini. Dan mereka ini bertugas menahan laju mahasiswa. Toh, korban juga jatuh di Pam Swakarsa: empat orang tewas dikeroyok rakyat yang kesal karena ulah kelompok ini. (Lihat bagian lima, soal Pam Swakarsa.)
Barikade tebal itu membuat mahasiswa tertambat, tapi tidak menyerah. "Kami akan terus berjuang untuk mencabut dwifungsi ABRI," kata Ali Fahmi, mahasiswa Universitas Indonesia, dalam wawancara di televisi. Lalu untuk apa merebut Gedung MPR yang kosong? "Kami akan melaksanakan sidang rakyat karena kami menolak hasil sidang istimewa," ujar Ubaidilah, juru bicara Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta. Lalu, kata mahasiswa IKIP Jakarta ini, mereka menginginkan Presiden Habibie turun dan segera diumumkan pemerintahan transisi. "Kalau Habibie dan Wiranto turun, akan terbentuk pemerintah yang benar-benar mendapat legitimasi rakyat," ujar Ubaidilah. Repotnya, di depan gerbang, berjaga-jaga pasukan Marinir, yang selama ini menjadi idola mahasiswa. (Lihat boks bagian lima.) Bahkan, Minggu dini hari, mahasiswa mau dibujuk untuk meninggalkan gedung itu--belum pasti apakah untuk sementara waktu.
Yang pasti, tuntutan agar Panglima ABRI/Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto mundur, sebagai bentuk tanggung jawab atas tewasnya mahasiswa, makin meluas. Dalam kasus Wiranto, mahasiswa tak sendiri. Kelompok "Ibu dan Perempuan Indonesia" dalam pernyataannya menilai Jenderal Wiranto telah gagal. Menurut kelompok yang beranggotakan, antara lain, Toeti Heraty (guru besar UI) dan seniman Jajang C. Noer itu, Jenderal Wiranto justru telah melakukan tindak "pemusnahan generasi penerus bangsa dengan peluru dan kekerasan militer." Maka, demikian pernyataan itu, "Kami sudah tidak bisa menerima anak-anak kami ditembaki di dalam kampus mereka sendiri pada saat mereka menggunakan hak mereka untuk berpendapat."
Partai Nasional Indonesia (PNI) juga menyerukan agar Presiden Habibie mengundurkan diri dan Jenderal Wiranto diberhentikan. Juga Kepala Staf Angkatan Darat dan Kepala Kepolisian RI. Alasan partai yang dipimpin Hajjah Supeni itu, para pejabat tersebut bertanggung jawab atas jatuhnya korban yang telah memerosotkan bangsa Indonesia di mata dunia internasional.
Pernyataan terkeras datang dari Kemal Idris, Ali Sadikin, Hariadi Darmawan, Permadi, dan kawan-kawan. Mereka tak mengakui lagi MPR/DPR, menolak sidang istimewa, dan menyerukan dibentuknya MPR Reformasi. Lembaga yang terakhir itu kemudian membentuk kabinet reformasi atau presidium sementara untuk mempersiapkan pemilihan umum. Nah, presidium itu, menurut pernyataan ini, harus mengusut segala penyalahgunaan kekuasaan, diawali dari bekas presiden Soeharto dan Presiden B.J. Habibie. Kedua pejabat Orde Baru itu dinilai "telah melakukan berbagai kejahatan politik, ekonomi, dan sosial budaya." Ali Sadikin dkk. menyerukan agar ABRI kembali ke posisi semula sebagai alat negara.
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), organisasi yang mendukung Presiden Habibie, menyatakan bahwa seruan Barisan Nasional (Barnas) untuk membuat sidang istimewa tandingan sudah tidak konstitusional lagi. ICMI yakin bahwa gerakan mahasiswa murni. Tapi, "Ada kelompok Barnas dan Forkot (Forum Kota) yang memaksakan kehendaknya," kata penjabat Ketua Umum ICMI Achmad Tirtosudiro dalam siaran televisi. Menghadapi kelompok yang dinilai Tirtosudiro sangat agresif itu, ABRI harus bertindak. Itu pun melalui berbagai tindakan pendahuluan: memakai pentungan, semprotan air, gas air mata, baru peluru karet. "Langkah demi langkah tindakan itu memang demikian," kata letnan jenderal purnawirawan itu--yang tak menyebut soal peluru tajam. Bahkan, katanya, kalau dua kelompok bertentangan keras, bisa saja dinyatakan keadaan darurat perang.
Sementara itu, di Jakarta dan 16 kota besar Indonesia, kerusuhan meluas. Motifnya campur aduk, dari ketidakpuasan terhadap hasil sidang, kekesalan terhadap perilaku brutal aparat keamanan, sampai urusan perut lapar. Alhasil, pembakaran, penjarahan, perusakan, dan perampokan terus terjadi. Sampai Minggu siang, masih ada beberapa ruas jalan tol yang "bebas biaya". Mobil-mobil dihentikan, apa saja diambil. Massa tak terkendali karena Jakarta nyaris tanpa aparat keamanan.
Sabtu lalu, Proyek Perdagangan Senen--kawasan "langganan penjarahan"--juga tak luput. Toko-toko elektronik dibongkar. Bank Danamon dan Bank BBD juga disikat. Di BBD, beberapa safety box ludes. Massa masuk dengan memecahkan jendela kaca. "Yang memberi komando berjaket, tapi mukanya seram, muka preman,?? kata saksi mata. Di Pecenongan, sebuah ruang pamer dibongkar, sementara tujuh mobil mewah dikeluarkan dan dibakar.
Aksi massa boleh dibilang lebih ganas ketimbang saat kerusuhan Mei lalu. Seorang polisi lalu lintas dikejar-kejar di Senen. Ia jatuh dan diserang habis. Kepalanya bocor, mukanya bersimbah darah. Ia diselamatkan prajurit Marinir. Massa juga membakar mobil dinas Angkatan Darat. Mahasiswa akhirnya punya pekerjaan lain: meredakan ketegangan. Dan sejumlah pembakaran dan penjarahan lebih parah dapat dicegah.
Di Medan, Bandar Udara Polonia diduduki sejenak. Juga bandara di Denpasar dan Ujungpandang. Mahasiswa menunggu wakil rakyat utusan daerah yang mereka nilai hanya "duduk santai" di Senayan. Sampai Minggu lalu, aksi terus berlanjut, walau di Jakarta kelihatan aksi mulai reda. Di Surabaya, bentrok mahasiswa dengan aparat juga pecah, di depan Markas Komando Daerah Militer Brawijaya. Sebanyak 22 mahasiswa luka berat dan ringan. Aksi di Surabaya itu adalah lanjutan dari Sidang Rakyat Surabaya pada Sabtu lalu. Hasilnya? Pemerintahan Habibie dianggap bagian dari rezim Orde Baru dan 300 mahasiswa serta aktivis prodemokrasi itu mengupayakan pemerintahan koalisi sipil sebagai pengganti.
Reaksi pemerintah? Presiden Habibie menyebut SI MPR telah berjalan baik dan menghasilkan sejumlah ketetapan yang sesuai dengan aspirasi dan harapan rakyat. Ia juga menyebut bahwa ada gerakan dan tindakan yang akan menggagalkan sidang. Tindakan itu menjurus kepada makar untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Maka, kata Habibie dalam pidato yang diputar televisi setiap jam, Sabtu malam lalu, ia sudah menginstruksikan agar Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengambil tindakan tegas. Dan Minggu sore, masuk kabar bahwa Kemal Idris, motor Barnas yang mantan Panglima Kostrad itu, telah diambil dari rumahnya.
Tentu yang dimaksud Habibie adalah kelompok Barisan Nasional. Maka, sejak Sabtu malam, beredar kabar akan ada penangkapan sejumlah tokoh. Selain Kemal, Ali Sadikin, Permadi, dan yang lainnya diisukan segera ditangkap. Hariadi Darmawan, besan bekas wakil presiden Try Sutrisno, telah diperiksa aparat sampai harus menginap. Isu lain, pemimpin Koalisi Nasional, Ratna Sarumpaet, juga akan ditangkap. Komentar Ratna? "Wah, kalau bisa, saya mau bikin pernyataan keprihatinan dulu," katanya kepada TEMPO.
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahmah Wahid juga diisukan akan ditangkap. Kabar ini ada kaitannya dengan pertemuan Gus Dur dengan kelompok Barnas di rumah Gus Dur di kawasan Ciganjur. Sebelumnya, Gus Dur bersama Amien Rais, Megawati, dan Sultan Hamengkubuwono X juga mengeluarkan sejumlah tuntutan dari Ciganjur. Dalam "Maklumat Ciganjur" itu, di antaranya, empat tokoh tersebut menyerukan agar pemilu dipercepat (lihat bagian empat, soal Ciganjur) dan Presiden Habibie harus mengakhiri pemerintahan transisinya tiga bulan setelah pemilu. Mereka juga minta agar dwifungsi ABRI dihapuskan secara bertahap selama enam tahun sejak maklumat diumumkan.
Menurut Gus Dur, ia menerima telepon dari Kepala Staf Teritorial ABRI, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, yang membantah bahwa ABRI akan menangkap dirinya. Orang nomor satu Nahdlatul Ulama itu berkisah bahwa di Surabaya umat beragama merencanakan menggelar doa untuknya agar ia tak ditangkap.
Kabar seputar Gus Dur bermacam-macam. Ia dikabarkan segera menuju Gedung MPR begitu mahasiswa menduduki gedung itu. Syaratnya: minimal harus ada sejuta mahasiswa. "Pokoknya, Gus Dur akan ke MPR untuk bertemu dengan mahasiswa," kata sumber TEMPO yang dekat dengan Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa, Sabtu siang lalu. Yang akan menyertai Gus Dur ke Gedung MPR adalah Megawati, Amien Rais, dan Sultan HB X, ungkap sumber yang lain. Niatnya, selain mencegah korban bertambah banyak, empat tokoh ini diharapkan mendeklarasikan terbentuknya presidium pemerintahan sementara. Harapan mahasiswa dan kelompok prodemokrasi itu tak tercapai sampai tulisan ini diturunkan.
Arief Budiman, pengamat politik yang kini memimpin pusat studi Indonesia di Universitas Melbourne, Australia, menilai bahwa jaringan antara mahasiswa dan empat tokoh demokrasi itu belum terjalin rapi. "Mahasiswa sebagai pasukan pendobrak sudah membuka jalan, tapi pasukan teritorial, yaitu tokoh-tokoh tadi, tak kunjung datang. Akhirnya tak tercapai kekuatan yang besar. Saya kira ini sebuah antiklimaks," ujar Arief.
Maka Arief mengusulkan sebuah presidium. Anggotanya tokoh-tokoh masyarakat tadi, tokoh yang disebut pemimpin de facto, dan juga beberapa tokoh militer. Arief menyebut Kepala Staf Teritorial Letjen Susilo Bambang Yudhoyono atau Letjen Agum Gumelar, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional, sebagai calon anggota presidium. Yang juga harus ada adalah tokoh ekonomi, sebutlah Emil Salim. Bagaimana Habibie? "Boleh saja dimasukkan, tapi hanya sebagai anggota, agar ia bisa menyelamatkan muka," kata Arief. Tugas presidium: persiapan pemilu. Dari pemilu yang jujur, Arief mengharapkan lahir pemerintah yang benar-benar mendapat legitimasi rakyat.
Jika presidium tidak terbentuk, keadaan bisa makin runyam. Presiden Habibie akan sulit melaksanakan amanat MPR karena legitimasi pemerintahnya akan terus dipertanyakan. Berbagai kebijakan yang dilahirkannya dikhawatirkan hanya memancing protes dan sanggahan. Panglima ABRI Jenderal Wiranto, yang ditugasi "memberesi" keadaan, juga dalam posisi sulit. Tudingan keras bahwa ia gagal mengamankan sidang, sampai melayangnya sejumlah nyawa, juga bahwa ia menyetujui adanya pengaman sidang partikelir, diduga akan mengundang kecaman terus-menerus. Bisa saja Presiden Habibie mengganti Jenderal Wiranto, tapi apa mau Habibie melakukan penggantian atas Panglima ABRI yang telah berhasil menahan aksi mahasiswa dan kelompok lain yang akan mengganti pemerintahannya itu?
Kalau MPR--yang sebagian besar anggotanya merupakan warisan Orde Baru--tak ngotot benar dan mau lebih berkompromi, hasil lebih baik akan dicapai. Soal dwifungsi, contohnya, barangkali tak akan menimbulkan keributan besar jika dikeluarkan sama sekali dari ketetapan MPR dan dibahas dengan undang-undang. Dalam pembahasan rancangan undang-undang nanti, tentu lebih banyak orang akan terlibat dan menyumbangkan pikiran. Ketika "penyelundupan" dilakukan, dengan menyusupkan soal ABRI itu dalam ketetapan pemilu, hasilnya memang protes dan kemarahan.
Siapa yang kalah? Semua pihak. Tapi setidaknya kemenangan moral ada di tangan mahasiswa. Lihat saja simpati rakyat di sekitar Bendunganhilir (Benhil), Jakarta, kepada mereka. Sekitar 500 orang mahasiswa ditampung menginap, dijamu makan gratis, dan diberi pakaian ganti oleh penduduk Benhil. Selagi mahasiswa tidur, orang-orang di sana menjalankan sistem keamanan lingkungan (siskamling), seperti menjaga pahlawan. "Kami ini orang-orang bodoh. Mereka itu pintar-pintar kalau bicara soal rakyat. Mereka tahu apa yang rakyat perlukan," kata Hidayat, penduduk Benhil.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk "mereparasi" keadaan? Dengan hasil sidang yang "bernoda darah", "Saya yakin bahwa demonstrasi menolak hasil SI akan berlanjut hingga pemilu," Syamsuddin Haris meramalkan. Untuk meredakan protes, Habibie seyogianya mengumumkan bahwa pemerintahannya adalah sementara alias transisi. Dan tugas utama Habibie hanya menyiapkan pemilihan umum, lain tidak. Langkah itu bisa diikuti dengan reshuffle kabinet, menyingkirkan menteri-menteri yang disorot masyarakat berbau KKN atau tidak becus mengurus departemennya. Sebagai gantinya, Habibie bisa menawarkan jabatan menteri kepada para pemimpin de facto--walau belum tentu tawaran ini diterima Gus Dur, Amien Rais, atau Nurcholish Madjid dkk. Pilihan untuk B.J. Habibie memang tidak terlalu banyak.
Toriq Hadad, Wens Manggut, Ahmad Fuadi, Raju Febrian, Arif Kuswardono, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo