Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial MO Royani menyatakan masih ada sekitar 16,6 persen atau sekitar 322 ribu lebih tunanetra yang tidak dapat membaca dan menulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada lebih dari 320 ribu orang dengan keterbatasan penglihatan sedang hingga berat yang tidak bisa membaca dan menulis lantaran tidak pernah menyentuh bangku sekolah sama sekali," ujar Royani dalam peringatan HUT Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) ke-59, di gedung serbaguna lantai 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Ahad 26 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah tersebut, menurut Royani, merupakan bagian dari 1,9 juta penyandang masalah penglihatan dalam kategori sedang sampai berat. Kelompok disabilitas netra yang dimaksud Royani merupakan penyandang low vision (lemah penglihatan) dan totally blind (tanpa penglihatan sama sekali).
Pengelompokan penyandang keterbatasan di Kementrian Sosial dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu ringan, sedang dan berat. "Ringan itu salah satunya orang yang memerlukan alat bantu untuk melihat, misalnya miopi yang membutuhkan kaca mata," ujar Royani.
Sementara itu berdasarkan catatan Direktur Rehabilitasi Sosial Kemensos, jumlah orang dengan keterbatasan atau masalah penglihatan di Indonesia mencapai kurang lebih 11,1 juta jiwa. Populasi ini tersebar di seluruh Indonesia dan rata-rata hidup dalam tingkat kesejahteraan desil 1 hingga 4.
"Orang yang hidup dalam kategori desil 1 atau 2 memiliki tingkat kesejahteraan yang sangat rendah dan masuk dalam kategori rentan dan miskin," tutur Royani.
Lantaran jumlah penyandang masalah penglihatan sedang-berat yang cukup signifikan ini, Kemensos sedang menggodok kebijakan yang dapat mendukung tunanetra. Diantaranya adalah konversi dan validasi data tunggal penyandang disabilitas, penyediaan kontak dan jalur pemberi kerja yang dapat mempekerjakan tunanetra dan memberikan bantuan modal usaha kepada tunanetra.
"Syarat untuk mendapatkan modal usaha ini, haruslah usaha yang sudah berjalan. Bila kami sudah menerima daftar mana saja usaha yang sudah berjalan, bantuan usaha ini akan langsung disampaikan kepada individunya," kata Royani.
Menanggapi pernyataan Kemensos tersebut, Ketua Pertuni Setyawan Gema Budi menyampaikan perlunya dibentuk sebuah lembaga sertifikasi profesi (LSP) bagi tunanetra. "Oh iya pak, perlu juga untuk dibentuk LSP," kata Setyawan Gema Budi di forum yang sama.
Sebelumnya, Pertuni bersama Kementerian Tenaga Kerja pernah membentuk LSP untuk profesi pemijat tunanetra. Dengan memiliki standar kompetensi kerja yang jelas, diharapkan para pemijat tunanetra lebih mampu bersaing dalam pasar industri pijat di Indonesia.