SLAMET Suradio sampai Sabtu pekan lalu masih terbaring di Ruang Perawatan lntensif (ICU) Rumah Sakit Kepolisian Kramat Jati, Jakarta. Sekujur kaki kanan hingga batas pahanya dililit semacam plester berwarna cokelat. Ujung kaki itu diberi pemberat sekantung pasir untuk membantu meluruskan tulang kakinya yang patah dan engsel pahanya yang bergeser. Kepala masinis KA 225 itu juga luka dan mendapat beberapa jahitan. "Terkena besi-besi yang ada di lok," kata Slamet lemah kepada teman yang menengoknya. Lelaki bertubuh kecil, berkulit hitam, dan rambut ikal, kelahiran Purworejo 52 tahun yang silam itu merupakan salah satu kunci untuk mengungkapkan mengapa terjadi tabrakan dua kereta api di Bintaro, Pondok Betung, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 19 Oktober yang lalu. Tabrakan yang menyebabkan -- hingga Senin lalu -- 139 korban tewas dan 123 luka berat ini merupakan musibah dengan korban nyawa terbesar dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Menurut Kadispen Humas Laksusda Jaya Letkol Sumekar K.W. pekan lalu, dari hasil pemeriksaan belum ditemukan latar belakang politik di balik musibah ini. Kecelakaan tersebut hanya akibat kelalaian petugas PJKA. Disimpulkan: Slamet, masinis KA 225, berangkat tanpa izin PPKA Sudimara. Biasanya, KA 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang itu berangkat setelah menunggu KA 220 jurusan Tanah Abang-Merak melintas di Sudimara. Pagi itu, sekira pukul 05.05, kereta api tersebut berangkat dari Rangkasbitung membawa 700-an penumpang, dan sampai di stasiun Sudimara pukul 06.50. Kereta yang menyeret rujuh gerbong penumpang itu penuh sesak oleh penumpang yang menuju Tanah Abang. Banyak penumpang yang duduk di atap gerbong dan berdempetan di dalam lokomotif dan, seperti biasanya, hal itu didiamkan saja. Menurut pengakuan petugas PPKA, Jamhari, kereta api itu hanya berhenti sekitar lima menit di Sudimara, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Terus Jamhari meniup peluit tiiiiit..., satu kali dan panjang. Itulah yang disebut semboyan 46, berupa perintah kereta api untuk bergerak melakukan langsir. Perintah diberikan jamhari karena beberapa saat sebelumnya dia menerima pemberitahuan melalui telepon engkol dari petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi, bahwa KA 220 sudah berangkat pukul 06.46 dari Kebayoran Lama menuju Sudimara. Untuk itu, KA 225 yang berada di lintasan 3, atau lintasan utama yang akan dilewati kereta yang datang dari Kebayoran Lama harus segera dipindahkan ke lintasan 1. Stasiun Sudimara memiliki tiga lintasan, dua lintasan digunakan untuk kereta api melakukan langsir. Pada waktu itu yang kosong memang cuma lintasan 1, di lintasan 2 ada kereta api pengangkut semen milik PT Indocement dari Cibinong. Kalau pernyataan Jamhari itu betul, entah apa yang sedang mengganggu Slamet, masinis itu. Kereta bukan dilangsirkannya sesuai dengan perintah, melainkan bergerak terus meninggalkan Sudimara. Itu terjadi pukul 06.55. Jamhari kalang kabut mengejar sembari meniup peluit dan mengibas-ngibaskan bendera merah. Selain itu, sinyal atau biasa disebut palang kereta api dinaik-turunkan berkali-kali. "Itu tandanya menyuruh kereta berhenti," kata Wikarma, Kepala Stasiun Sudimara. Tapi semua upaya sia-sia. Kereta api Slamet seakan sudah dituntun menuju maut. Tanpa sadar, nasib menunggu mereka. Para penumpang yang duduk di atap gerbong rupanya gembira kereta berangkat lebih cepat. "Mereka malah menyoraki Bapak sambil tertawa-tawa," kata Jasiah, istri Jamhari, yang tinggal di dekat stasiun Sudimara. Maut kemudian memang datang. Setelah berjalan 10 menit atau delapan kilometer meninggalkan Sudimara, di km 17, kereta api bertabrakan dengan KA 220 yang tadi dilaporkan sudah berangkat dari stasiun Kebayoran Lama. Slamet mengaku baru melihat di depannya KA 220 datang dari arah berlawanan setelah jarak tinggal 30 meter. Hal itu bisa dimaklumi karena jalan di situ menikung. Dalam jarak sedekat itu upaya mengerem pun sia-sia. Menurut teori, dengan kecepatan 50 km/jam kereta api itu baru bisa dihentikan setelah 400 meter. KA 225 melaju dengan kecepatan 45 km/jam, sedang lawannya, KA 220, yang dikemudikan Amung Sunarya, diduga bergerak cuma dengan kecepatan 25 km/jam karena baru melintasi pintu kereta api Bintaro dan tikungan tadi. Masinis KA 220, Amung Sunarya, bersama juru api Mujiono hanya bisa berjongkok di lantai lok, tapi mereka hanya mendapat luka-luka yang tak begitu parah. Di lokomotif seberang, Slamet dan juru api Soleh tak sempat bereaksi. Munkin karena itu Slamet mengalami cedera yang lebih parah. "Dada saya tergencet rem," kata Slamet. Pegawai rendahan itu bersama istrinya, Kasni, tinggal di sebuah rumah reyot kontrakan berharga Rp 70.000,00 setahun di dekat stasiun Parungpanjang, Bogor. Slamet sendiri merasa telah menerima perintah untuk berangkat dari stasiun Sudimara karena KA 220 datang terlambat. Dia menduga akan bersilang dengan kereta api itu di stasiun Kebayoran Lama. Tampaknya, Slamet begitu yakin bahwa perintah yang diterimanya itu bukanlah untuk langsir, katanya, "'Kan semboyannya berbeda." Untuk memberangkatkan kereta api, petugas PPKA akan memulai dengan semboyan 40, berupa lambaian papan bulat mirip pemukul bola tenis meja dengan cat putih berlingkar hijau, yang biasa disebut "eblek". Begitu melihat semboyan 40 itu, kondektur kereta akan meniup peluit dengan tiupan sekali pendek dan dilanjutkan tiupan panjang, tit, tiiiiiiit.... Masinis menyambutnya dengan membunyikan sirene lokomotif, kereta segera berangkat. Mungkin saja, karena suara ribut penumpang yang berjubel di dalam lok, Slamet salah mendengar suara peluit. "Kereta itu memang padat sekali dan itu bisa mengganggu penglihatan dan pendengaran masinis," kata Soedarno, Kepala Subdirektorat Lalu Lintas PJKA. Ketika disebutkan kepada Slamet di rumah sakit bahwa dialah yang disalahkan dalam peristiwa yang menewaskan ratusan orang itu, dia tampak terbengong-bengong. Amran Nasution, Muchsin Lubis, Diah Purnomowati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini