INI sesungguhnya pertaruhan buat Laksamana Indroko Sastrowiryono, Kepala Staf Angkatan Laut yang baru saja dilantik. Akhir bulan lalu, tangkapan kakapnya kabur begitu saja dari tahanan kapal Satuan Patroli Terbatas Pondokdayung, Tanjungpriok, Jakarta.
Mereka bukan tahanan biasa. Rahim bin Wajid, Tamil Arasan Sundaram, dan Ridwan Mahmud—semuanya warga negara Singapura—pada 29 Maret lalu dicokok kapal perang KRI Barakuda di perairan Selat Gelasa, Sumatra Selatan. Kala itu, mereka tengah menggangsir harta karun kapal Tek Sing yang karam pada 1752. Sialnya, 350 ribu keping keramik dan porselen antik keburu diselundupkan. Lelang besar-besaran akan digelar akhir November nanti di Stuttgart, Jerman. Nilainya ditaksir mencapai DM 35 juta atau sekitar Rp 140 miliar.
Rahim dan Tamil adalah ahli survei dalam ekspedisi itu. Sedangkan Ridwan nakhoda kapal. Bersama mereka, ada dua tersangka lain: Suwanda, Direktur Utama PT Prasarana Cakrawala Dirga—perusahaan yang mempekerjakan mereka—dan Letjen (Purn.) Moch. Gasyim Amman, mantan asisten Menteri Koordinator Politik-Keamanan dan sekretaris Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga (lihat TEMPO 21 Maret dan 27 Agustus 2000). Aksi komplotan ini semula mulus berkat surat izin palsu yang diduga dikeluarkan Gasyim Amman.
Sukses penangkapan itu berawal dari perintah operasi yang dikeluarkan Laksamana Indroko. Ketika itu—masih berpangkat laksamana muda—ia menjabat Panglima Armada Barat. Dan itulah pertama kalinya Angkatan Laut (AL) berhasil menangkap anggota sindikat harta karun internasional yang bolak-balik membobol perairan Nusantara.
Cuma, prestasi itu kini tengah dipertaruhkan. Rahim dan kawan-kawan kabur dengan begitu gampangnya, bahkan tanpa perlu mengutak-atik gembok sekalipun.
Sebagaimana diungkapkan Kolonel (A) Edy Yusuf, Asisten Intelijen Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) Tanjungpriok, geger terjadi lima hari sebelum masa penahanan ketiga tersangka itu habis, 3 Oktober kemarin. Ketika itu, seorang perwira dinas hukum bermaksud menemui mereka. Ia kaget alang kepalang, kapal tahanan kosong melompong. Rupanya, kawanan itu kabur dengan sekoci sehari sebelumnya.
Penyisiran petugas jelas sia-sia. Pengecekan di Bandar Udara Soekarno-Hatta menemukan nama Rahim dan Tamil dalam daftar penumpang menuju Singapura. Ridwan malah buron sambil lenggang kangkung. Cukup berjanji akan kembali, ia diizinkan pergi ke Palembang. Ia raib tak berbekas.
Sebuah sumber mengatakan Kedutaan Singapura tak tahu di mana keberadaan tiga warganya itu. Sampai akhir pekan kemarin, pihak kedutaan belum mendapat kabar apa pun dari pemerintah Indonesia. Info malah datang dari PT Cakrawala. Bunyinya, mereka telah dilepas petugas AL.
Penelusuran TEMPO menunjukkan bukan sekali itu Ramli dan kawan-kawan berpelesir keluar dari tahanan. Hari itu adalah keempat kalinya mereka beroleh "izin cuti bui". Untuk itu, dua perwira yang bertanggung jawab atas pengawasan tahanan, Lettu (P) Sumantri dan Letda (P) Doni Aribowo, intensif diperiksa provos. "Kami amat kecewa dan malu," kata Edy Yusuf.
Anehnya, Komandan Lantamal Tanjung Priok Laksamana Pertama Djuhana Suwarna justru membantah para tahanan itu kabur. "Bukan kabur. Mereka kami lepas karena masa tahanannya sudah habis per 3 Oktober," katanya. Ketika disodorkan sejumlah data, Djuhana cuma menukas, "Anda percaya sumber Anda atau saya?"
Ada banyak ketidakberesan dalam penanganan perkara penting ini. Biang soalnya, kata Kolonel Edy, ada pada bertele-telenya proses di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Padahal, jika masa penahanan maksimal 120 hari telah lewat, tersangka mesti dibebaskan. "Kami ingin segera disidangkan, tapi terganjal terus di kejaksaan," kata Edy.
Contoh lain kelambanan kejaksaan, kata seorang perwira menengah AL lain, bisa dilihat dari perjalanan berkas Rahim. Dokumen sudah lengkap diserahkan ke jaksa penuntut umum Andi Arifin pada 14 Agustus. Eh, jawaban baru dikirim via kurir pada 26 September—seminggu sebelum tenggat penahanan. Padahal, tanggal surat tertera 31 Agustus. Itu pun dinyatakan belum lengkap. "Ini permainan jaksa. Dia sengaja mengulur waktu supaya mereka, mau tak mau, mesti dilepas," kata sang perwira jengkel. Kecurigaannya makin kental setelah Ridwan "bernyanyi" pernah melihat selembar cek Rp 300 juta dari Suwanda untuk jaksa Arifin.
Tudingan suap itu keras dibantah Arifin—kini bertugas di Kejaksaan Tinggi Jakarta. "Silakan saja dilacak," katanya. Ia balik menuding bahwa kerja penyidik AL-lah yang compang-camping. Rumusan perkaranya, menurut dia, tak jelas. Saksi tambahan tak dihadirkan. Suwanda, misalnya, hendak dijerat dengan soal izin palsu. Tapi Gasyim Amman, sebagai pejabat yang berkaitan, tak dijadikan saksi. Karena itulah berkas perkara terus bolak-balik. "Kalau mereka nanti dibebaskan, siapa yang dicaci-maki? Kan, jaksa, bukan penyidik," katanya sewot.
Arifin lupa, Ramli dan kawan-kawan kini sudah "bebas"—berkat segala kekonyolan itu.
Karaniya Dharmasaputra, Arif A. Kuswardono, Widjajanto, Agus Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini