ADA kesibukan yang tak biasa di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Mesti tidak tampak mencolok, beberapa pengawal pribadi Presiden Abdurrahman Wahid tampak hilir-mudik. Pakaian mereka rapi, dengan alat komunikasi menancap di telinga. Jam dinding menunjukkan pukul 20.00 ketika Abdurrahman Wahid masuk ke salah satu ruangan dengan didampingi K.H. Nur Iskandar S.Q., sahabat dekat Presiden dan pimpinan Pondok Pesantren Ash Shidiqiyah, Jakarta.
Di ruang itu, Presiden mengadakan pertemuan penting. Ia berbicara dengan Hutomo Mandala Putra. Menurut Iskandar, dalam pertemuan itu Tommy—begitu Hutomo biasa disapa—meminta grasi atau pengampunan kepadanya. Permintaan yang sama diulangi Siti Hardijanti Indra Rukmana, anak sulung Soeharto, dalam pertemuan dengan Presiden Abdurrahman keesokan harinya di hotel yang lain, Regent Jakarta.
Inilah untuk pertama kalinya Presiden Abdurrahman bertemu dengan Keluarga Cendana setelah putusan kurungan kepada Tommy Soeharto jatuh. Tommy dinyatakan bersalah dalam kasus tukar guling tanah PT Goro Batara Sakti—perusahaan yang dimilikinya—dengan Bulog. Dalam kasus ini, ia dihukum 1,5 tahun penjara.
Setelah putusan pengadilan itu, sikap Presiden tegas. Beberapa kali ia menyatakan tidak akan memberikan grasi yang diajukan Tommy. Maka, ketika pertemuan itu diakui oleh Presiden Abdurrahman sendiri, banyak orang bertanya, adakah kesepakatan politik antara Presiden dan Tommy.
Menurut Nur Iskandar, orang yang menjadi penghubung pertemuan itu, tidak ada konsesi apa pun dari pertemuan tersebut. "Sikap Gus Dur sejak awal jelas, ia menolak grasi Tommy," katanya.
Menurut Arifin Junaidi, bekas sekretaris pribadi Presiden Abdurrahman, ketika Tommy menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas perkaranya, Presiden cuma berkomentar ringan. "Kalau itu yang mau dilakukan, ya, silakan saja. Tapi itu bukan urusan saya. Itu urusan Mahkamah Agung," kata Presiden seperti ditirukan Arifin.
Tapi, Dion Adikusumah, Ketua Laskar Tebas, sebuah milisi sipil yang dikenal dekat dengan Keluarga Cendana, menyatakan ada konsesi yang diterima keluarga Soeharto dari pertemuan itu. Hingga saat ini Tommy belum dieksekusi. Kejaksaan Agung justru memasukkan Tommy dalam daftar cegah-tangkal, daftar mereka yang tak boleh pergi ke luar negeri selama satu tahun. Artinya? Tommy tidak akan dipenjara. (Bagaimana mungkin orang yang dipenjara perlu dilarang ke luar negeri?) Dan itulah, menurut Dion, yang merupakan buah kesepakatan politik Presiden dan Tommy. Yang tak terang adalah apa yang didapat Presiden dari pertemuan itu.
Namun, keterangan ini dibantah Jaksa Agung Marzuki Darusman. Menurut Marzuki, eksekusi tidak bisa dilakukan karena putusan grasi yang diminta Tommy belum dijawab Presiden secara tertulis.
Dari sisi hukum, pertemuan Keluarga Cendana dengan Presiden Abdurrahman ini tak lazim. Meski meminta pengampunan, Tommy nyata-nyata menyatakan tidak bersalah dalam kasus Goro. Ia juga menolak membayar denda Rp 10 juta dan uang ganti rugi Rp 30 miliar lebih. Artinya, secara otomatis Tommy sebenarnya tidak patut mendapat grasi. Pengampunan hanya diberikan kepada orang yang mengaku bersalah.
Di sisi lain, Presiden Abdurrahman untuk kesekian kalinya menggunakan pendekatan personal dalam menyelesaikan masalah Soeharto dan keluarganya. Pada masa-masa awal kepresidenannya, ketika orang sedang geram-geramnya dengan Soeharto, Presiden Abdurrahman justru beberapa kali mengunjungi bekas presiden itu. Jauh sebelum kasus Soeharto masuk pengadilan, Abdurrahman bahkan sudah menjanjikan akan memberi pengampunan.
Lalu, belakangan Presiden mengutus Menteri Susilo Bambang Yudhoyono untuk menegosiasikan pengembalian harta Cendana guna ditukar dengan pengampunan. Dengan kata lain, Presiden sedang mengorbankan proses hukum untuk mendapatkan konsesi material.
Menurut Dion Adikusumah, pada masa negosiasi Yudhoyono itulah hubungan Cendana dengan Abdurrahman memburuk. Presiden, menurut Dion, meminta Cendana untuk mengembalikan harta negara yang dikeruk keluarga Soeharto. Tapi tak jelas harta yang mana: dana yayasan atau harta pribadi. Harta yayasan, menurut dia, telah dikembalikan sejak 1998 lalu, sedangkan harta pribadi tidak harus dikembalikan karena dianggap sebagai harta halal hasil usaha. "Jadi, kerangka negosiasinya tak jelas," kata Dion. Kesepakatan politik itu mentok begitu saja.
Nah, sekarang negosiasi itu diulang lagi. Tapi bedanya, kini kasus Tommy sudah sampai pada vonis hukum, sedangkan kasus Soeharto paling tidak telah masuk pengadilan—meski belakangan tidak diteruskan karena Soeharto dinyatakan sakit.
Dalam kasus Tommy, keputusan kini berada di tangan Presiden pribadi, apakah ia akan memberikan grasi atau tidak. Presiden Abdurrahman-lah yang kini sedang diuji, apakah ia mampu mengambil keputusan yang adil. Keputusan yang didasarkan pada rasa keadilan, dan bukan karena konsesi-konsesi akibat pertemuannya dengan Keluarga Cendana.
Arif Zulkifli, Darmawan Sepriyossa, Adi Prasetya, Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini