Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dua Jenderal dan Tragedi Priok

Benny Moerdani dan Try Sutrisno membiarkan tragedi 1984 itu berlangsung.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA korban tragedi Tanjungpriok masih harus bersabar. Perlu waktu panjang untuk bisa menyaksikan para pelaku tindak biadab 12 September 1984 itu masuk jeruji penjara. Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Tanjungpriok, yang diharapkan bisa menguak tragedi tersebut secara tuntas dan terbuka, ternyata masih jauh dari harapan. Alih-alih komisi ini menyebut nama "tersangka", rekomendasi yang diserahkan kepada Kejaksaan Agung, Sabtu pekan lalu, masih tidak jelas. Rekomendasi itu antara lain menyebut adanya 33 korban jiwa. Selain itu, memperkuat laporan komisi sebelumnya, komisi baru yang diketuai Koesparmono Irsan ini juga menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dengan cara pembunuhan kilat, penangkapan, penahanan sewenang-wenang disertai penyiksaan, dan penghilangan nyawa secara paksa. Meski begitu, dalam rekomendasi tentang siapa yang bertanggung jawab, komisi ini tidak mengungkapkannya secara terbuka. Mereka hanya menyebut ada tiga kategori kelompok yang harus bertanggung jawab: pelaku lapangan, penanggung jawab komando operasional, dan pemegang komando. Kesimpulan komisi itu, menurut pihak kejaksaan, masih kurang lengkap. Meski tidak tegas akan mengembalikan hasil itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman memberikan tiga catatan, di antaranya, "Bukti-bukti mengenai korban meninggal itu harus dilengkapi, seperti di mana kuburnya." Selain itu, saksi kematian keluarga Thek Kim Lie, penduduk yang apoteknya dibakar massa saat peristiwa meletus, juga tidak disebut oleh KPP HAM Priok. Sebenarnya, catatan itu sudah untuk kedua kalinya diberikan KPP HAM Priok kepada kejaksaan. Awal Juli lalu, komisi itu juga memberikan rekomendasi, tapi dikembalikan karena tidak disertai data forensik korban. Tim yang bekerja sejak awal Maret itu kemudian melakukan penggalian di beberapa makam yang diduga sebagai tempat mengubur korban. Tim forensik yang diberbantukan menemukan adanya beberapa korban yang meninggal karena tertembus peluru. Fakta itu semakin menguatkan dugaan bahwa saat itu terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh militer. Pertanyaannya adalah sejauh mana L.B. Moerdani dan Try Sutrisno terlibat. Melihat garis komando, jelas keduanya tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Moerdani menjadi Panglima ABRI dan Try menjabat Panglima Kodam Jaya kala itu. Dalam konteks saat itu, struktur komando tertinggi pengamanan ada pada Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), yang dipegang oleh Panglima ABRI. Di bawahnya berturut-turut adalah Pelaksana Khusus Wilayah, dipegang oleh Panglima Komando Wilayah Pertahanan II, kemudian turun ke Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya, yang dipegang oleh Panglima Kodam Jaya. Sedangkan operasional lapangan dipegang oleh Komandan Distrik Militer Jakarta Utara. Keterlibatan Moerdani dan Try diungkap Beny Biki, adik mendiang Amir Biki, yang menjadi korban pembunuhan kala itu. "Banyak saksi korban yang melihat mereka berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kalau tidak terlibat, mengapa mereka datang?" ujarnya. Pendapat senada dikeluarkan Koesparmono Irsan. "Pimpinan tidak bisa begitu saja menolak bahwa pembunuhan itu bukan perintahnya," katanya. Atas dasar itu pula Koesparmono menyimpulkan Benny dan Try bisa dikenai tuduhan terlibat by omission, mengetahui tapi tidak mencegah. "Kenapa waktu itu dia mendiamkan dan keluarganya tidak diberi tahu sebagaimana mestinya?" ujarnya. Sedangkan derajat kesalahannya sama dengan yang terlibat langsung. Mayjen Timur Manurung, pengacara Moerdani dan Try, menolak kesimpulan itu. "Bagaimana bisa dikatakan membiarkan? Mereka tahu setelah kejadian, kok," katanya kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Sementara itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman tampak hati-hati mengomentari kesimpulan ini. "Terlalu dini menyimpulkan seperti itu karena proses penyidikan sendiri belum dilakukan kejaksaan," ujarnya. Terlepas dari ketidakpastian itu, Sabtu pekan lalu, beredar bocoran yang disebut-sebut sebagai hasil dari tim asistensi KPP HAM Priok. Dokumen itu menyebut ada 23 nama yang diduga terlibat dalam tragedi Tanjungpriok. Dari mereka, tujuh berasal dari Satuan Artileri Pertahanan Udara Tanjungpriok, dua dari Kodim Jakarta Utara, empat dari Kodam V Jaya, termasuk Try Sutrisno, dan dua dari Markas Besar TNI-AD, serta seorang dari Mabes ABRI, yakni L.B. Moerdani Meski dua jenderal Orde Baru itu mulai jelas dituding bertanggung jawab, perangkat hukum untuk menjerat mereka belum jelas. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang selama ini menjadi dasar, sudah dicabut. Sedangkan Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM, sebagai ganti, hingga kini belum juga disahkan. Johan Budi S.P., Arif A. Kuswardono, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus