Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan terpidana kasus korupsi Irman Gusman akhirnya lolos sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di Pemilu 2024. Nama Irman sempat dicoret dari Daftar Calon Tetap (DCT) oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU Provinsi Sumatera Barat lantaran belum genap sela lima tahun setelah bebas dari penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, kasus korupsi apa yang dilakukan Irman Gusman?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Nomor 28 Tahun 2023, mantan narapidana dicabut hak politiknya apabila belum genap 5 tahun selepas bebas menjalani hukuman. Sementara Irman bebas dari masa tahanan tiga tahunnya pada September 2018. Artinya, mantan Ketua DPD RI itu belum genap lima tahun bebas dari penjara saat pendaftaran kandidat pada Mei 2023, kurang 4 bulan.
Pada April lalu, Irman mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau MK. KPU digugat lantaran tidak melaksanakan putusan PTUN Jakarta yang memerintahkan KPU agar memasukkan nama Irman ke dalam DCT. Bahkan KPU terbukti melakukan pelanggaran dalam polemik ini menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
MK kemudian mengabulkan gugatan Irman dan memerintahkan KPU Provinsi Sumbar menggelar pemungutan suara ulang. Irman juga diminta mengakui dirinya selaku mantan narapidana sebagai syarat mengikuti PSU tersebut. Setelah PSU digelar pada 13 Juli lalu, Irman akhirnya berhasil menjadi anggota DPD RI dengan perolehan suara terbanyak keempat.
Kasus Irman Gusman
Irman Gusman ditangkap penyidik KPK pada 17 September 2016 lantaran diduga menerima uang Rp 100 juta dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto. KPK menduga uang itu merupakan hadiah dari Xaveriandy karena, atas pengaruh senator dari daerah pemilihan Sumbar itu, Semesta Berjaya berhasil mendapatkan peningkatan kuota gula dari Bulog.
Irman sempat mengajukan permohonan praperadilan atas penangkapan dirinya oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 September 2016. Irman, yang diwakili oleh kuasa hukumnya Tommy Singh, menyatakan bahwa penangkapan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang ada dan berlaku. Pihaknya mengaku diamankan tanpa surat penangkapan. “Bukan OTT, sehingga seharusnya ada surat penangkapan, tapi tidak ada,” tuturnya.
Namun Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan yang dimohonkan Irman Gusman. Hakim tunggal I Wayan Karya menyatakan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Irman gugur lantaran KPK sudah melakukan pelimpahan berkas perkara.
Saat pembacaan surat dakwaan dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 8 November 2016, Irman kemudian didakwa menerima Rp 100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, dan istrinya, Memi. Duit diduga diberikan lantaran Irman membantu CV Semesta mendapatkan jatah gula impor Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik.
Kasus ini bermula saat CV Semesta mengajukan permohonan pembelian gula impor sebanyak 3 ribu ton kepada Perum Bulog Divisi Regional Sumatera Barat pada 21 Juli 2016. Belakangan, Irman menyatakan akan membantu Xaveriandy dan Memi untuk mendapatkan gula impor itu, asalkan ada fee Rp 300 per kilogram. Irman lalu menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti yang memenuhi permintaan itu
CV Semesta akhirnya mendapatkan gula dari Bulog dengan harga lebih murah, Rp 11.500-11.600. Pada 16 September 2016, Xaveriandy dan Memi menemui Irman dan menyerahkan uang Rp 100 juta sebagai hadiah. Sesaat setelah penyerahan ini, keesokan harinya, tim penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan.
Ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Nawawi Pomolango, secara tegas menyatakan Xaveriandy Sutanto dan Memi, pemilik CV Semesta Berjaya, terbukti menyuap Irman Gusman. Suap itu untuk pengurusan kuota gula Bulog di Sumatera Barat. CV Semesta Berjaya adalah perusahaan yang bergerak pada usaha perdagangan sembako.
“Terdakwa (Xaveriandy dan Memi) telah memberi sesuatu berupa uang Rp 100 juta kepada Irman Gusman selaku Ketua DPD,” kata Nawawi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 4 Januari 2017. Atas perbuatannya, Sutanto dihukum 3 tahun penjara. Sedangkan istrinya, Memi, dikenai penjara 2 tahun 6 bulan. Masing-masing juga didenda Rp 50 juta dengan subsider 3 bulan kurungan.
Adapun Irman dihukum 4 tahun enam bulan penjara dengan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Irman terbukti bersalah menerima suap dari pemilik CV Semesta Berjaya. Selain menjatuhkan pidana, hakim mengabulkan tuntutan jaksa yang meminta agar hak politik Irman dicabut selama tiga tahun setelah ia menjalani pidana pokok.
Istri Irman, Liestyana Gusman, lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis empat tahun penjara yang diterima suaminya dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta Pusat. Mahkamah Agung mengabulkan PK yang diajukan Irman. Hukuman eks Ketua DPD RI itu diringankan dari 4,5 tahun menjadi 3 tahun penjara.
Majelis PK menyatakan Irman Gusman terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun, majelis menganulir putusan di tingkat pertama dan menghukum Irman 3 tahun penjara serta denda Rp50 juta. Selain itu, hak politik Irman untuk dipilih dalam jabatan publik juga dicabut selama 3 tahun.
TIM TEMPO