Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam, Mahfud Md menyebut negara hukum lemah karena oligarki dan kleptokrasi. Hal itu disampaikannya menanggapi fenomena politik di Indonesia yang dinilainya cenderung otoritarian belakangan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Melemahnya negara hukum, salah satunya disebabkan oligarki, kleptokrasi, dan kartelisasi,” kata Mahfud MD dalam Kuliah Perdana tahun 2024 pada Program Magister dan Doktor, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu, 14 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa itu oligarki dan kleptokrasi?
Sebelumnya, menurut Mahfud Md, akhir-akhir ini muncul gejala pembalikan arah dalam hukum dan politik. Demokrasinya menjadi demokrasi main-main di mana pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi konservatif dan sepihak. Contoh, beleid pesanan penguasa bisa rampung dalam sekejap. Bila untuk kepentingan rakyat, bisa bertahun-tahun tidak dibahas.
“Kalau (penguasa ingin), undang-undang dibahas hari ini, sore jadi, besok disahkan bisa. Tapi kalau penguasa tidak ingin, undang-undang bertahun tahun tidak dibahas,” ujar Mahfud yang juga disaksikan dalam tayangan live Kanal Youtube Fakultas Hukum UII.
Hal tersebut menurut Mahfud, berakibat pada pelemahan atas lembaga-lembaga politik dan penegakan hukum. Apabila lembaga-lembaga dikooptasi semua, maka terjadilah degradasi atas negara hukum. Pelemahan itu, kata mantan Ketua Mahkamah Konsitusi RI ini, salah satunya disebabkan oligarki, kleptokrasi, dan kartelisasi.
“Kemudian muncul oligarki, negara yang dikuasai oleh sekelompok kecil orang yang punya modal. Bahakan ada juga yang mengatakan Indonesia sekarang menjadi negara kleptokrasi, negara yang penuh korupsi, negara para pencuri namanya. Ingin mencuri meski sudah punya,” katanya.
1. Arti oligarki
Secara harfiah, oligarki berasal dari bahasa Yunani: oligarkhía, olígos, dan arkho. Oligarkhía artinya “aturan oleh sedikit”, olígos berarti “sedikit”, dan arkho bermakna “mengatur atau memerintah”. Adapun hakikat oligarki menurut KBBI adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Dinukil dari Jurnal Penegakan Hukum Indonesia, dalam publikasi Hubungan Oligarki Kekuasaan Dengan Politik Hukum Penguasa, oligarki merupakan sistem politik di mana pihak yang memerintah terdiri atas sejumlah orang atau sekelompok orang atau kelompok elite. Sekelompok elite tersebut dalam menjalankan pemerintahan selalu menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasainya
Dalam perjalanannya dalam struktur pemerintahan, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis. Ironisnya, oligarki dalam pemerintahan demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana diungkapkan Robert Michels pada awal abad ke-20. Demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki.
Direktur Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan (LP3ES), Wijayanto mengatakan dalam tulisannya, salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kekuatan oligarki yang cepat terkonsolidasi setelah Reformasi 1998. Terutama sejak 2019 di satu sisi, dan di sisi lain tergesa-gesanya masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing dengan mereka.
2. Arti Kleptokrasi
Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni ”kleptes” yang berarti maling, dan “kratos” yang artinya bentuk administrasi publik. Jadi, kleptokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang mengambil uang yang berasal dari rakyat untuk memperkaya kelompok tertentu atau diri sendiri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW Kurnia Ramadhana, dalam tulisannya di Koran Tempo, edisi 5 Oktober 2016 mengungkap ciri negara kleptokrasi antara lain tingkat korupsi di lingkup birokrasi sangat tinggi. Birokrasi ini merujuk pada eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kleptokrasi sering kali memperkaya birokrat dan mitra kerjanya yang korup dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Kemakmuran rakyat sering dikesampingkan demi mendapatkan kekuasaan dan harta.
Kleptokrasi semakin populer ketika digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968). Ia merujuk pada sebuah pemerintahan yang sangat dekat dengan praktik korupsi serta penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal.
Menurut Kurnia, setidaknya, ada dua permasalahan utama dalam kleptokrasi di Indonesia. Pertama, minimnya pemimpin berintegritas yang dapat dijadikan panutan rakyat. Sistem yang bersih tentu tidak akan memberi peluang bagi pejabat-pejabat yang ingin melakukan korupsi.
“Maka, ketika masih ada pejabat negara yang korup, dapat dipastikan ada yang “bocor” dalam proses penyaringannya,” katanya.
Kedua, kurangnya sistem kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas kinerja pejabat publik. Terciptanya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN tentu bukan hanya tanggung jawab penyelenggara negara, tapi juga masyarakat.
“Dalam hal ini, masyarakat tidak boleh hanya dijadikan obyek penyelenggaraan negara, tapi juga harus dilibatkan sebagai subyek pembangunan,” kata Kurnia.