Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Badai yang Masih Mengamuk Dahsyat

Album Badai Pasti Berlalu dirilis ulang. Kali ini dikemas dengan menggado-gado berbagai jenis musik. Sebuah badai yang tak kalah dahsyat.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH karya monumental hanya lahir sekali. Mustahil untuk mengulangi kesuksesan yang sama. Kalaupun nekat untuk mengulangnya, hanya ada dua pilihan: membuat sama dengan karya awal, atau sama sekali baru. Erwin Gutawa, penggarap album Badai Pasti Berlalu versi baru, mengambil pilihan yang terakhir. Semua lagu dalam album yang pernah meledak pada 1977 itu dipermak habis. Nuansa art rock yang kental hilang dan berganti dengan berbagai hidangan jenis musik. Mulai irama melayu, seriosa, orkestra, hingga dance music adalah pilihan-pilihan dalam album Badai versi anyar ini. Hasilnya adalah album yang sama sekali beda dengan materi awal.

Tentu saja menggarap album klasik macam Badai Pasti Berlalu bukan pekerjaan mudah. Nama besar album ini mengandung beban yang cukup berat bagi siapa saja yang ingin mendulang sukses lewat karya ini. Badai, yang semula berupa musik latar film karya Teguh Karya yang senama dengan judul album itu, boleh dibilang merupakan karya musik terbaik yang pernah ada di Nusantara. Kehadirannya kala itu sangat menyentak. Publik musik yang saat itu dibuai lirik-lirik dan musik sederhana tiba-tiba digasak musik dengan kord progresif dan aransemen yang digarap serius oleh trio Eros Djarot, Chrisye, dan Joki Suryoprayogo. Album ini pun sarat dengan lirik-lirik romantik dengan kata yang tidak pasaran kala itu. Dari segi penjualan album Badai versi lama, ternyata Mahkota Record, yang memasarkan, tak memiliki record alias data lengkap total penjualan album sukses itu. Yang jelas, tampaknya album versi lama itu masih terus dicari hingga kini sebagai sebuah "collectors item", alias dimiliki untuk dikoleksi.

Sementara itu, menurut Indrawati Widjaja, Direktur Utama PT Musica Record—yang memasarkan kaset Badai versi baru—mengaku bahwa hingga bulan Desember tahun ini saja, kaset ini sudah terjual sekitar 50 ribu keping.

Sukses ini belum tentu bisa dicapai penyanyi seangkatan Chrisye yang lain. Harap maklum, album ini memang mengawali perjalanan anak-anak muda kala itu. Fenomenanya melibas gaya remaja pada 1970-an. Mereka hafal judul dan liriknya. Pokoknya, atribut remaja masa itu adalah rambut gaya talang (untuk cewek), gaya John Travolta (untuk lelaki), dan hafal seluruh lirik lagu album Badai. Album ini menjadi bagian dari gaya hidup remaja kota besar.

Album Badai baru ini bukanlah yang pertama. Beberapa tahun silam, Joki Suryoprayogo bersama Yuni Shara pernah merekam kembali beberapa tembang legendaris itu. Sayangnya, lagu-lagu itu tidak mengalami perubahan musikal ataupun aransemen, sementara Yuni membawakan lagu-lagu itu dengan, yaa…, dengan gaya Yunilah.

Bagaimana dengan album baru ini? Ternyata gereget album ini tak hilang. Perombakan aransemen musik semua tembang dalam album ini menjadi kekuatannya. Lagu Semusim, misalnya, yang semula dibawakan Chrisye dengan gaya art rock, dipermak dengan memasukkan warna irama melayu, tiupan suling, dan gedebuk tabla. Selain itu, maestro langgam Waljinah, yang terkenal dengan Walangkekek-nya, ikut menembang sehingga vokalnya terasa unik di antara dentuman dance music. Lain lagi dengan Matahari, yang dikemas kor dan permainan Victoria Orchestra Philharmonic, Australia, dengan bau seriosa yang kental dengan vokal Aning Katamsi yang menggantikan peran Berlian Hutauruk. Nomor itu tampil paling dahsyat dan memesona. Sedangkan Khayalku juga menggaet Nicky Astria sehingga duet Chrisye-Nicky agak bernuansa rock.

Kelebihan lain dari album ini adalah materi pengusung musik yang bermain di dalamnya. Erwin Gutawa memilih orang-orang terbaik dalam menggarap album ini. Sebut saja, untuk rock, ia menggamit Nicky Astria, gitaris Eddy Kemput, dan Ronald Dr. PM. Untuk memunculkan nuansa kemegahan orkestrasi, ia menyeberang lautan untuk bekerja sama dengan Victoria Philharmonic Orchestra, Australia. Boleh jadi inilah album paling mahal di negeri ini untuk saat ini. "Terutama karena rekaman ke Australia segala macam. Jadinya mahal," tutur Erwin.

Erwin, sebagai pimpinan aransemen album ini, berada dalam posisi yang strategis. Selain album ini memiliki materi yang matang, nama Chrisye juga merupakan jaminan sukses. Dan yang penting, dia memiliki jarak emosional ataupun kreatif dengan karya ini—ketika album Badai pertama diluncurkan, Erwin masih duduk di bangku SMP.

Bagaimanapun, ia juga memiliki beban yang tak ringan. "Album ini sudah menjadi tonggak. Otomatis, kalau digarap kembali, orang pasti membandingkan dengan yang awal," ungkapnya. Interpretasi yang cukup berhasil. Yang terakhir, dia memiliki bakat besar dalam musik. Cuma, perlu ditunggu bagaimana kelanjutan proses kreatifnya dalam menciptakan sebuah karya dengan materi-materi baru yang diciptakannya sendiri dan bukan sekadar mengolah kembali materi lawas.

Irfan Budiman dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus