Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bestek-bestek yang melenceng

Penyimpangan/penyelewengan bestek pada proyek-proyek pemerintah sudah terjadi di mana-mana, ada permainan antara pimpinan proyek dengan pemborong, sementara petugas pengawas bisa diajak kompromi. (nas)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RISWAN Sinaga, nampak memelas muncul di Pengadilan Negeri Tanjungbalai, Sumatera Utara, Kamis pekan lalu. Pemborong yang sekali gebrak bisa membeli sepeda motor dan sebuah mobil itu duduk di bangku terdakwa dengan kaki bersandal jepit dan handuk kecil di tangan. Jaksa menuduhnya telah menyelewengkan bestek pembangunan Kantor Departemen Agama Tanjungbalai senilai Rp 49 juta. Atap seng, kaca jendela, fondasi, plafon dan kayu, menurut tuduhan jaksa, diganti oleh Riswan dengan kualitas murahan. Riswan yang sehari-hari lebih dikenal sebagai pedagang nasi soto di pinggir jalan, nampak sekali tak tahu banyak soal bestek dan bangunan. Ia bekerja sama dengan "orang dalam". Begitu mendapat proyek, ia mengaku menghabiskan Rp 15 juta untuk dibagi-bagikan. Pimpinan proyek, Awar Annas yang merangkap Kepala Kantor Departemen Agama Tanjungbalai, katanya, ia beri hadiah Rp 2 juta. Jumlah yang sama diberikan kepada Wismar A. Batubara, Kepala Dinas PU Seksi Asahan, sedang Bendaharawan proyek Ishak Sirait, kebagian Rp 1,65 juta. Para pengawas dan konsultan proyek, mendapat pula bagiannya. Riswan, barangkali pemborong pertama yang diajukan ke muka sidang dengan tuduhan menyelewengkan bestek. Padahal Mayjen E.Y. Kanter, Koordinator Opstibpus, yang kini tengah gencar melakukan Operasi Vidya Griya, banyak sekali menjumpai penyimpangan bestek pada bangunan SD Inpres. Untuk tahun anggaran 1982/1983 lewat Inpres No. 4/1982, dana bantuan pembangunan Sekolah Dasar memang besar sekali: Rp 589 milyar lebih. Tepatnya Rp 589.159.000.000, meski tak seluruhnya untuk membangun dan merehabilitasi gedung SD. Penyimpangan bestek -- yang berarti merugikan negara -- tak hanya dalam pembangunan gedung SD. "Penyakit" itu nampaknya sudah mewabah, dan dianggap lumrah. Di Sumbawa Besar, misalnya, fondasi Pasar Seketeng hanya digali sedalam 70 sentimeter oleh pemborongnya, sedangkan atapnya dibuat agak rendah. Padahal dalam bestek, yang dibuat kantor PU setempat, jelas disebut fondasi harus sedalam satu meter. Lantai, memang dibuat sesuai bestek, tapi hanya di tepinya saja, sebab bagian itulah yang sering diperhatikan oleh pengawas bangunan. Lantai bagian tengah, cukup menggunakan campuran kapur, pasir dan sedikit semen. Kepala PU setempat ternyata bisa mentoleransi penyimpangan itu. Sebab, kata Ahmad Zuhri Mohtar -- teknisi dari pihak pemborong -- ia bisa menunjukkan kelemahan gambar rencana Pasar Seketeng, yang kabarnya dibuat seorang tamatan STM. Tanah di situ, menurut Ahmad, cukup padat hingga fondasi tak perlu sampai satu meter. Lagi pula yang dibangun hanya los pasar, bukan gedung bertingkat yang perlu fondasi ekstra. "Penghematan" yang dilakukan Ahmad, cukup membawa untung besar. Namun demikian, ia tak merasa telah 'mencuri'. "Saya hanya menggunakan kesalahan PU untuk keuntungan kami," kata Ahmad tenang. Sampai kini, alhamdulillah, Pasar Seketeng masih baik-baik saja. Tapi proyek tersier di daerah Trukuh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang dimaksudkan bisa mengairi tanah pertanian seluas 800 hektar, mengalami retak di beberapa bagian. Padahal proyek bernilai Rp 80 juta itu belum selesai dikerjakan. Pemborongnya, PT Tirta Manggala, yang kabarnya membuat coran beton tak sesuai bestek, telah ditegur. Entah mengapa, perbaikan belum juga dilakukan. Di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, juga ada sebuah irigasi yang hanya tahan selama setahun. Setelah itu, dam, saluran induk dan saluran pembaginya di Desa Indra Pura itu ambruk. Proyek serupa di Desa Lubuk Sariak, bahkan "hanya bisa kami nikmati untuk satu kali panen," kata seorang penduduk. Di Pesisir Selatan itu pula ada proyek pencetakan 2.148 hektar sawah yang menelan biaya Rp 1 milyar, yang kini tak lebih berupa semak belukar di tengah rawa yang penuh pohon bergelimpangan. Proyek yang digarap 1976 itu, menurut seorang pejabat di Pesisir Selatan, mestinya sudah rampung tiga tahun lalu. Proyek irigasi dan penceukan sawah jadi tak beres, menurut pejabat itu lagi, bertepatan dengan "hijrah"nya kontraktor CV Nugraha Karya. Kebetulan, yang empunya kontraktor itu tak lain pejabat di PU Painan (Ibukota Pesisir Selatan) yang kini pindah tugas ke PU tingkat I Sumatera Barat di Padang. Di Kudus, Jawa Tengah, proyek pelebaran jalan yang tak sesuai bestek pan jangnya 5.680 meter, yaitu di Jalan Johar, Agus Salim, Basuno, Niti Semito dan Jalan Subchan Z.E. Proyek bernila Rp 48 juta itu, setelah diteliti, lebar jalan yang mestinya 2,48 meter, kurang sampai 50 sentimeter. "Kualitas jalan pun jelek sekali," kata sebuah sumber di Pemda Kudus. Dan di Pekalongan, pembangunan Jalan Slamet dan Jalan Kurinci yang dikerjakan CV Yudhistira sudah bopengan, meski baru selesai awal Februari lalu. Proyek pemukiman transmigrasi yang diperuntukkan bagi pendatang dari Jawa yang ingin mengubah nasib dan hari depan, tak urung jadi ajang permainan. Pemukiman di Kembayan, Kabupaten Sanggau, Kal-Bar, misalnya, yang diperuntukkan bagi 400 kepala keluarga, dilaporkan ke Pusat seolah sudah selesai Maret 1982. Dengan begitu seluruh dananya bisa dicairkan. Padahal, secara fisik lahan baru selesai Januari lalu. Akibatnya, para transmigranlah yang mendapat getahnya tak bisa berbuat banyak karena lahan masih berantakan. Yang keterlaluan ialah proyek lahan kering di Tanjung Satai, Kabupaten Sambas. Begitu kontraktornya, PT Mitra Amerta, mengambil uang muka sebesar 20% (nilai proyek Rp 1,39 milyar), dia langsung kabur. Toh proyek itu tak dianggap gagal. Sebab kini, menurut seorang pejabat di Kalimantan Barat, penggarapan lahan dilanjutkan oleh konsorsiumnya, PT Tanjungpura Bhakti. Di Lampung Utara, meski proyek tak ditinggal kabur pemborong, para transmigran lokal di Mesuji E mengurut dada. Desember lalu, 80 buah rumah di situ ambruk ketika hujan -- yang tak kelewat deras -- mengguyur. "Lihat saja, rumah-rumah di sini tak dipasangi siku-siku dan ompaknya (ganjal tiang) hanya dari potongan kayu kecil. Mana ada kekuatan?" kata Sumadi, yang rumahnya ikut roboh. Proyek pemukiman translok di Lampung Utara itu memang belum diketahui pasti, apakah akibat penyimpangan dari bestek. Tapi, menurut pejabat di Ditjen Transmigrasi Lampung, sebuah rumah yang nilai kontraknya Rp 475 ribu itu ditaksir bisa dibuat lebih baik hanya dengan uang Rp 250 ribu. Maklum, rumah pemukiman itu hanya berukuran 3 x 5 m, beratap seng, berdinding papan. Banyak lagi contoh lain yang bisa disebut. Sampai-sampai seorang mandor dari CV Eksakta, Sukabumi, yang banyak tahu sepak terjang pemborong di lapangan dengan bersemangat bilang bahwa, "sembilan puluh sembilan persen kontraktor pasti tukang menyelewengkan bestek!" Kontraktor lain di Pekalongan pun, atau yang di Jawa Timur dan Sumatera Utara, menyatakan hal yang kurang lebih sama. "Sulit bagi kami untuk menghindari penyelewengan bestek," ujar seorang pemborong dari Surabaya. Dan rekannya di Medan bilang, "tanpa menurunkan mutu, saya jamin tak ada pemborong yang bisa untung." Mengapa bisa begitu? Sebabnya, ternyata cukup banyak. Seorang pemborong di Surabaya, bila ia mendapat proyek, sudah membuat kalkulasi begini: Dari keuntungan sebesar 30%, yang 10% jatah pimpinan proyek, 2,5% sampai 5%, untuk para pengawas dan pengeluaran tak terduga lain. Jadi untung bersih 15%. "Kalau tak mau memberi 10%, jangan harap bisa mendapat proyek," kata seorang pemborong di Sumbawa Besar. Di Pekalongan, bila pemborong memenangkan tender seharga Rp 30 juta, imbalannya satu set video untuk yang memberi proyek. "Itu sudah biasa. Memang 'tarifnya' sebegitu," kata seorang pemborong yang enggan disebut nama. Ada lagi model pemborong yang hanya bekerja sampai mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK). Lalu ia "menghibahkan" SPK tersebut kepada pihak kedua, tentunya setelah ia -- dengan goyang kaki -- mengantungi sejumlah keuntungan. Celakanya lagi bila pihak kedua menawarkan pada pihak ketiga. Dan baru pihak keempat yang akhirnya menggarap proyek. Dia ini, seperti terjadi di Pekalongan, hanya menerima 50% dari nilai proyek. Padahal ia harus pula mengambil untung. "Kalau sudah begitu, mana mungkin proyek dikerjakan sesuai bestek?" kata Eddy Lesmono, dari Bagian Pembangunan Kodya Pekalongan. YANG turut membuat keadaan tambah kisruh, karena banyak pemborong -- terutama yang muncul sejak keluarnya Keppres No. 14 A/1980 -- yang sebenarnya tak mampu. Dan pemborong kelas ini amat banyak jumlahnya. Gabungan Pemborong Nasional Seluruh Indonesia (Gapensi) mencatat kini punya 23 ribu anggota, lebih 50% muncul setelah ada Keppres itu. Meski begitu, mereka tak jarang mendapat proyek, karena 'tahu diri' kepada yang membaginya rezeki. Dan segala kekisruhan itu, nampaknya sebagian besar terjadi di proyek-proyek kecil yang bernilai di bawah Rp 100 juta. "Sampai sekarang belum ada anggota Asosiasi Kontraktor Indonesia terbukti menyalahi bestek," kata Siswno Judo Husodo, Wakil Ketua Umum ASI dan Dirut PT Bangun Tjipta Sarana. Proyek yang digarap anggota ASI, karena besar, prosedurnya amat ketat. Prosedur sejak pengajuan tender sampai menandatangani kontrak, menurut Siswono, ada yang memakan waktu sampai setahun. Tapi, ada juga proyek kelas kakap yang menyalahi bestek. Contohnya proyek pembangunan Balaikota Bandung yang menghabiskan dana Rp 1,9 milyar. Bangunan megah yang dirancang arsitek Slamet Wirasondjaja itu, lantai empatnya yang menjorok keluar, didapati melengkung ke bawah. Akibatnya dinding ikut turun. Padahal bangunan yang dikerjakan pemborong PT Raka Utama itu sempat dikagumi para walikota yang hadir dalam pertemuan Musyawarah Antar Kotamadya Seluruh Indonesia (Maksi) di Bandung, Oktober 1981. Ir. Suhardjo Djojosuparno, Ketua Pappeda Kodya Bandung yang ditunjuk mengetuai tim penyelidik retaknya bangunan, menjumpai bahwa campuran serta ketebalan beton yang dibuat ternyata tak sesuai bestek. Selain pimpinan proyek yang ada main dan pemborong yang tak mampu, faktor pengawasan berperan amat besar dalam hal penyimpangan bestek. Boleh dibilang, di tangan merekalah sebenarnya sebuah proyek itu menyimpang dari bestek atau tidak. Sayangnya, tenaga pengawas, seperti diakui Inspektur Jenderal Departemen Pekerjaan Umum, Herman Rusdi dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR Jumat pekan lalu, tenaga pengawas amat terbatas. Untuk mengawasi 1.200 proyek senilai Rp 1,2 trilyun di Departemen PU, kini hanya ada 136 pengawas. Akibatnya yang bisa diawasi secara efektif hanya 305 proyek, atau sekitar 25 %. Pengawas yang mempunyai keterampilan teknis investigasi mendalam, menurut Herman, lebih-lebih jumlahnya amat terbatas. Pengawas untuk proyek kecil seperti SD Inpres atau jalan di kabupaten, bahkan sering tak tahu apa-apa tentang masalah teknik. Memang, kata mandor dari CV Eksakta Sukabumi itu, pengawas dua hari sekali datang ke proyek yang sedang digarapnya. Mereka banyak mencatat kesalahan sambil tak hentinya menuding bila melihat penyimpangan bestek. Tapi, katanya, setelah diberi uang rokok, "mereka tak omong banyak lagi." Maka, mandor bekas petinju prof itu tahu kewajibannya: tiap kali pengawas datang, ia menyediakan Rp 5 ribu, dan semua akan berjalan lancar. Apalagi bila proyeknya jauh di daerah terpencil, setelah ditunjuki foto dan uang rokok, "dia gampang saja disuruh tanda tangan seolah pembangunan berjalan sesuai bestek," kata pemborong di Jawa Tengah. Memang, kata Direktur Jenderal Pembangunan Daerah (Bangda) Departemen Dalam Negeri, Atar Sibero, karena jumlah pengawas yang terbatas, tak mungkin sebuah proyek ditongkrongi terus olehnya. Apalagi sampai pengawas tadi melihat pekerjaan membuat adonan semen setiap hari. Di beberapa tempat, menurut Atar, bahkan ada pimpinan proyek atau camat dan bupati yang belum pernah datang ke lokasi. Maklum, kata Atar, "di sebuah kabupaten, proyek bisa banyak sekali." Atar menilai, penyelewengan bestek atau penyalahgunaan wewenang dan jabatan, sebenarnya terjadi karena volume pembangunan yang melaju pesat, sementara kemampuan melaksanakan dan pengawasannya masih amat terbatas. Sementara, "kita tak mungkin baru mulai bekerja setelah semuanya siap dan mampu." Maka Atar menganggap, adanya penyimpangan sebagai suatu yang tak terhindarkan. Penyimpangan yang terjadi, menurut Atar, bisa disebut sebagai "uang sekolah" yang mesti dibayar, karena kita memang sedang dalam proses belajar (lihat box wawancara). Adanya kesenjangan antara laju pembangunan dan kemampuan mengerjakan (tenaga terampil), juga dilihat Ir. Hindro Tjahjono Soemardjan, seorang Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI). Maka, menurut Hindro, "ketidaksesuaian pekerjaan dengan bestek, belum tentu disebabkan iktikad jelek." Keteledoran oleh pelaksana di lapangan bisa jadi karena tak mengerti, atau karena kesalahpahaman menafsirkan bestek, akan melahirkan proyek yang tak sesuai dengan yang dimaui si perencana. Kesalahan para pekerja di lapangan kata Hindro lagi, kebanyakan dalam hal membuat beton. "Campuran air sering terlalu banyak, sehingga kekuatan beton bisa berkurang sampai 40%," katanya. Siswono menambahkan, menurunnya mutu bangunan, karena sulitnya diperoleh tenaga tukang kayu dan tukang batu yang bermutu. Tapi tentu, yang dikatakan Hindro dan Siswono tak lalu bisa menghalalkan proyek yang memang tak memenuhi syarat. Bupati Purbalingga, Jawa Tengah, Soetarno, misalnya, akhir Januari lalu menolak meresmikan rumah sakit umum di kota itu, yang fondasinya miring sehingga lantainya ambles. Namun di banyak tempat lain, ketidakberesan tetap menjadi rahasia pemborong, pengawas dan yang empunya proyek. Dan bila suatu saat bangunan itu ambruk, misalnya, cukup banyak kambing hitam yang bisa dituding sebagai biang keladinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus