Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Masih Diborong IPA

Lomba Karya Ilmiah Remaja ke-5 di dominasi bidang IPA. Peserta makin banyak mutunya semakin meningkat hasil karya beberapa finalis.

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG belum ada yang menulis tentang seks dan remaja. Dari 606 naskah peserta Lomba Karya llmu Pengetahuan Bagi Remaja yang ke-5 ini, bidang yang diminati tak berbeda dengan lomba tahun-tahun sebelumnya. Bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), tetap terbanyak pesertanya. Bidang IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) masalahnya memang lebih kompleks. Melakukan penelitian sosial membutuhkan referensi yang lebih daripada pelajaran di sekolah. Buktinya, naskah-naskah IPS yang masuk, kebanyakan jauh dari nilai ilmiah yang dituntut juri. "Banyak yang hanya menuliskan pendapat pribadi, tanpa didukung penelitian," tutur Prof. Dr. Harsja Bachtiar, anggota juri yang terutama menangani naskah Sejarah/Kebudayaan. Bahkan dulu, ada sebuah naskah sepanjang dua halaman folio, bercerita tentang pengaruh laki-laki dan perempuan terhadap pohon rambutan. Tanpa alasan sedikit pun, si penulis, seorang pelajar SMA dari sebuah kota di Jawa Barat, lantas menyimpulkan: pohon yang dipanjat lakilaki buahnya tetap utuh sedangkan yang dipanjat perempuan buahnya akan belah. Dominika Mentega Tapi tahun ini yang berminat di bidang sosial boleh gembira. Setelah empat kali lomba sejak 1977 dan baru mendapatkan finalis bidang IPS dua kali (1978, II,I Membangun Desa dan 1980, Modernisasi Lalu-Lintas), yang kelima kali ini mendapatkan empat finalis. Pun kualitasnya, cukup membuat dewan juri optimistis: tak kalah dengan peminat IPA. Bahkan sebuah naskah yang ditulis bersama oleh tiga siswa SMP Kartini, Ketapang, Kalimantan Barat, dipuji Harsja sebagai "memperlihatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan." Naskah itu, tentang sandung -- bangunan untuk menyimpan abu atau tulang jenasah suku Dayak "Mereka menuliskannya dengan jelas dari mana mendaratkan sumber penelitian, siapa saja yang diwawancara dan alasannya apa, ke mana saja penelitian dilakukan," tutur Harsja. Veronika Sugek, Dominika Mentega dan Jamilan, putri-putri Dayak asli yang menulis naskah itu, dengan jujur mengakui gagasan pertama datang dari kepala sekolah mereka. Bahkan biaya penelitian keluar dari Pak Kepala Sekolah itu. Maklum, mereka datang dari keluarga petani yang hidupnya pas-pasan. Bahkan Veronika, 16 tahun, ketua kelompok ini, telah yatim-piatu. Sekolahnya dibiayai seorang pastor. "Saya terkejut ketika menerima panggilan harus datang ke Jakarta," tutur cewek mungil berkulit putih ini. "Sampai saya tak bisa makan memikirkan biaya ke Jakarta. Wah, saking terkejutnya, Veronika lupa bahwa semua biaya ditanggung Dep. P&K. Kesimpulan penelitian tiga cewek yang kesemuanya bercita-cita ingin jadi guru itu memang menarik. Apabila upacara sandung jarang diadakan lagi, itu karena biayanya memang mahal ada tari-tarian, ada penyembelihan ternak, ada pembakaran mayat. Dulu yang boleh disandung hanya para bangsawan Dayak. Ini pun ada alasan sosialnya. Kalau mereka tak kaya, biaya bisa ditarik dari semua anggota sukunya. Dan untuk apa sebenarnya upacara lindung itu? Menurut Veronika antara lain untuk menghormati arwah yang meninggal, untuk menyucikannya dari segala dosa, agar arwahnya diterima di alam sana dengan baik. Satu naskah IPS lagi juga disusun oleh tiga wanita Muttiah, Santi dan Candra dari SMA Santa Maria, Surabaya mencoba menyimak kehidupan kaum nelayan di Desa Darma Camplong dan Ketapang Barat, Madura. Yang pertama di pantai selatan, yang kedua di pantai utara Pulau Madura. Hasil penyimakan mereka selama sekitar sebulan (pulang-balik Madura-Surabaya), memang agak mengejutkan ketiga cewek dari keluarga cukup berada Ini. "Bayangkan, penghasilan kebanyakan nelayan itu rata-rata sehari Rp 250," tutur Muttiah. "Dan uang sebesar itu untuk satu keluarga." Mereka pun menyimpulkan bagi hasil di desa nelayan itu tidak adil. Sebagian besar masuk saku para juragan (nelayan pemilik perahu jaring), sementara para pandega (nelayan yang hanya bermodal tenaga) hanya mendapat sedikit. Cewek-cewek yang suka makan bakso dan asinan itu, begitu kaget menemukan betapa macam kehidupan nelayan pandega. "Kadang-kadang mereka makan nasi tanpa lauk secuil pun, padahal di tepi pantai sejumlah ikan asin dijemur," tutur mereka. Sebenarnya, pada mulanya penelitian yang katanya menghabiskan biaya Rp 40 ribu ini untuk menyiapkan tugas sekolahnya: mereka mendapat giliran memberikan seminar di sekolah. Satu masalah yang membutuhkan pemikiran lebih jauh digarap oleh Mukhtar Sarman, 20 tahun mahasiswa Fakultas Sosial-Politik Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Ia mencoba meneliti kemungkinan teknologi madya bisa menaikkan taraf hidup petani tradisional di Desa Gambut, Kalimantan Selatan. Meskipun kesimpulannya tak istimewa -- bahkan termasuk "pendapat pribadi yang kurang didukung kenyataan," -- tulisannya mungkin yang paling lancar. Maklum, Muchtar ini sudah lama suka menulis humor di majalah Stop, dan kini sedang menulis novel pula. Ia memang ingin jadi penulis. Soal data-data yang tak lengkap yang ditanyakan dewan juri, ia mencoba membela diri: "Sudah saya cari di Balai Penyuluhan Desa, Kantor Kecamatan, dan wawancara dengan para petani. Tapi tak terungkap juga. Kamampuan Auditif Yang paling menarik barangkali penelitian Ary Retmono, 21 tahun, mahasiswa Teknologi Industri ITB. Ia bukan orang baru dalam lomba-lomba ilmiah remaja (1979, ia menang lomba karya ilmiah LIPI, dengan karya tulisnya Menentukan Kecepatan Peluru Dengan Menggunakan Pengembangan Kaidah Bandul Balistik). Dan karena itu muncul keheranannya: mengapa pemenangnya biasanya selalu dari kota besar. Itulah yang menodorongnya melakukan penelitian perbandingan hasil pendidikan di kota besar dan kota kecil. Arek Suroboyo ini meneliti satu SMA di sebuah kota kecil di Ja-Tim, satu lagi di Ja-Bar, lantas membandingkannya dengan SMAN II Surabaya, sekolahnya dulu. Kecuali kesimpulan yang sudah umum diketahui (kurangnya guru dan fasilitas di kota kecil), ada satu hal yang menarik. Ialah, menurut Ary, kemampuan auditif anak-anak desa ternyata lebih rendah. Ia melakukan tes langsung: diucapkannya 50 kata yang terdiri dari dua suku-kata, lantas, dimintanya mereka menulis kata-kata yang mereka ingat. Hasilnya, rata-rata, anak kota besar berhasil mengingat 14 kata, anak kota kecil hanya 10. Maka ia menyarankan, agar pelajaran yang diberikan guru yang biasanya secara lisan, dibarengi dengan alat peraga. Toh, untuk tahun ini pun naskah IPS belum muncul sebagai pemenang. Penulisan bidang IPS masih dikalahkan penulisan bidang IPA yang memang lebih sistematis, lebih kuat didukung percobaan-percobaan. Dan yang membuat para juri prihatin, ternyata penulis bidang IPS pun sebagian besar ternyata anak-anak dari IPA. "Guru-guru IPS perlu digiatkan. Banyak pelajaran di kelas IPS berupa hafalan bukan pemahaman bersifat normatif," tutur Harsja pula. Dan itulah agaknya yang membuat kebanyakan anak-anak IPS kurang bisa berargumentasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus