MEMANG belum ada yang menulis tentang seks dan remaja. Dari 606
naskah peserta Lomba Karya llmu Pengetahuan Bagi Remaja yang
ke-5 ini, bidang yang diminati tak berbeda dengan lomba
tahun-tahun sebelumnya. Bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam),
tetap terbanyak pesertanya.
Bidang IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) masalahnya memang lebih
kompleks. Melakukan penelitian sosial membutuhkan referensi yang
lebih daripada pelajaran di sekolah. Buktinya, naskah-naskah IPS
yang masuk, kebanyakan jauh dari nilai ilmiah yang dituntut
juri.
"Banyak yang hanya menuliskan pendapat pribadi, tanpa didukung
penelitian," tutur Prof. Dr. Harsja Bachtiar, anggota juri yang
terutama menangani naskah Sejarah/Kebudayaan. Bahkan dulu, ada
sebuah naskah sepanjang dua halaman folio, bercerita tentang
pengaruh laki-laki dan perempuan terhadap pohon rambutan. Tanpa
alasan sedikit pun, si penulis, seorang pelajar SMA dari sebuah
kota di Jawa Barat, lantas menyimpulkan: pohon yang dipanjat
lakilaki buahnya tetap utuh sedangkan yang dipanjat perempuan
buahnya akan belah.
Dominika Mentega
Tapi tahun ini yang berminat di bidang sosial boleh gembira.
Setelah empat kali lomba sejak 1977 dan baru mendapatkan finalis
bidang IPS dua kali (1978, II,I Membangun Desa dan 1980,
Modernisasi Lalu-Lintas), yang kelima kali ini mendapatkan empat
finalis. Pun kualitasnya, cukup membuat dewan juri optimistis:
tak kalah dengan peminat IPA.
Bahkan sebuah naskah yang ditulis bersama oleh tiga siswa SMP
Kartini, Ketapang, Kalimantan Barat, dipuji Harsja sebagai
"memperlihatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan." Naskah itu,
tentang sandung -- bangunan untuk menyimpan abu atau tulang
jenasah suku Dayak "Mereka menuliskannya dengan jelas dari mana
mendaratkan sumber penelitian, siapa saja yang diwawancara dan
alasannya apa, ke mana saja penelitian dilakukan," tutur Harsja.
Veronika Sugek, Dominika Mentega dan Jamilan, putri-putri Dayak
asli yang menulis naskah itu, dengan jujur mengakui gagasan
pertama datang dari kepala sekolah mereka. Bahkan biaya
penelitian keluar dari Pak Kepala Sekolah itu. Maklum, mereka
datang dari keluarga petani yang hidupnya pas-pasan. Bahkan
Veronika, 16 tahun, ketua kelompok ini, telah yatim-piatu.
Sekolahnya dibiayai seorang pastor.
"Saya terkejut ketika menerima panggilan harus datang ke
Jakarta," tutur cewek mungil berkulit putih ini. "Sampai saya
tak bisa makan memikirkan biaya ke Jakarta. Wah, saking
terkejutnya, Veronika lupa bahwa semua biaya ditanggung Dep.
P&K.
Kesimpulan penelitian tiga cewek yang kesemuanya bercita-cita
ingin jadi guru itu memang menarik. Apabila upacara sandung
jarang diadakan lagi, itu karena biayanya memang mahal ada
tari-tarian, ada penyembelihan ternak, ada pembakaran mayat.
Dulu yang boleh disandung hanya para bangsawan Dayak. Ini pun
ada alasan sosialnya. Kalau mereka tak kaya, biaya bisa ditarik
dari semua anggota sukunya.
Dan untuk apa sebenarnya upacara lindung itu? Menurut Veronika
antara lain untuk menghormati arwah yang meninggal, untuk
menyucikannya dari segala dosa, agar arwahnya diterima di alam
sana dengan baik.
Satu naskah IPS lagi juga disusun oleh tiga wanita Muttiah,
Santi dan Candra dari SMA Santa Maria, Surabaya mencoba menyimak
kehidupan kaum nelayan di Desa Darma Camplong dan Ketapang
Barat, Madura. Yang pertama di pantai selatan, yang kedua di
pantai utara Pulau Madura.
Hasil penyimakan mereka selama sekitar sebulan (pulang-balik
Madura-Surabaya), memang agak mengejutkan ketiga cewek dari
keluarga cukup berada Ini. "Bayangkan, penghasilan kebanyakan
nelayan itu rata-rata sehari Rp 250," tutur Muttiah. "Dan uang
sebesar itu untuk satu keluarga."
Mereka pun menyimpulkan bagi hasil di desa nelayan itu tidak
adil. Sebagian besar masuk saku para juragan (nelayan pemilik
perahu jaring), sementara para pandega (nelayan yang hanya
bermodal tenaga) hanya mendapat sedikit.
Cewek-cewek yang suka makan bakso dan asinan itu, begitu kaget
menemukan betapa macam kehidupan nelayan pandega. "Kadang-kadang
mereka makan nasi tanpa lauk secuil pun, padahal di tepi pantai
sejumlah ikan asin dijemur," tutur mereka.
Sebenarnya, pada mulanya penelitian yang katanya menghabiskan
biaya Rp 40 ribu ini untuk menyiapkan tugas sekolahnya: mereka
mendapat giliran memberikan seminar di sekolah.
Satu masalah yang membutuhkan pemikiran lebih jauh digarap oleh
Mukhtar Sarman, 20 tahun mahasiswa Fakultas Sosial-Politik
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Ia mencoba meneliti
kemungkinan teknologi madya bisa menaikkan taraf hidup petani
tradisional di Desa Gambut, Kalimantan Selatan. Meskipun
kesimpulannya tak istimewa -- bahkan termasuk "pendapat pribadi
yang kurang didukung kenyataan," -- tulisannya mungkin yang
paling lancar. Maklum, Muchtar ini sudah lama suka menulis humor
di majalah Stop, dan kini sedang menulis novel pula. Ia memang
ingin jadi penulis.
Soal data-data yang tak lengkap yang ditanyakan dewan juri, ia
mencoba membela diri: "Sudah saya cari di Balai Penyuluhan Desa,
Kantor Kecamatan, dan wawancara dengan para petani. Tapi tak
terungkap juga.
Kamampuan Auditif
Yang paling menarik barangkali penelitian Ary Retmono, 21 tahun,
mahasiswa Teknologi Industri ITB. Ia bukan orang baru dalam
lomba-lomba ilmiah remaja (1979, ia menang lomba karya ilmiah
LIPI, dengan karya tulisnya Menentukan Kecepatan Peluru Dengan
Menggunakan Pengembangan Kaidah Bandul Balistik). Dan karena itu
muncul keheranannya: mengapa pemenangnya biasanya selalu dari
kota besar. Itulah yang menodorongnya melakukan penelitian
perbandingan hasil pendidikan di kota besar dan kota kecil.
Arek Suroboyo ini meneliti satu SMA di sebuah kota kecil di
Ja-Tim, satu lagi di Ja-Bar, lantas membandingkannya dengan SMAN
II Surabaya, sekolahnya dulu. Kecuali kesimpulan yang sudah umum
diketahui (kurangnya guru dan fasilitas di kota kecil), ada
satu hal yang menarik. Ialah, menurut Ary, kemampuan auditif
anak-anak desa ternyata lebih rendah. Ia melakukan tes langsung:
diucapkannya 50 kata yang terdiri dari dua suku-kata, lantas,
dimintanya mereka menulis kata-kata yang mereka ingat. Hasilnya,
rata-rata, anak kota besar berhasil mengingat 14 kata, anak kota
kecil hanya 10.
Maka ia menyarankan, agar pelajaran yang diberikan guru yang
biasanya secara lisan, dibarengi dengan alat peraga.
Toh, untuk tahun ini pun naskah IPS belum muncul sebagai
pemenang. Penulisan bidang IPS masih dikalahkan penulisan bidang
IPA yang memang lebih sistematis, lebih kuat didukung
percobaan-percobaan. Dan yang membuat para juri prihatin,
ternyata penulis bidang IPS pun sebagian besar ternyata
anak-anak dari IPA.
"Guru-guru IPS perlu digiatkan. Banyak pelajaran di kelas IPS
berupa hafalan bukan pemahaman bersifat normatif," tutur Harsja
pula. Dan itulah agaknya yang membuat kebanyakan anak-anak IPS
kurang bisa berargumentasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini