Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Megawati Sebut Paling Sering Disadap, Bagaimana Aturan Penyadapan di Indonesia?

Ketua Umum PDIP Megawati bilang dirinya menjadi target penyadapan. Bagaimana aturan terkait dengan penyadapan di Indonesia?

31 Oktober 2024 | 19.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum PDIP sekaligus Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri berkelakar saat sambutan acara peresmian Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat Taruna Merah Putih di Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin, 28 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyatakan bahwa dirinya bak James Bond karena menjadi target sadap paling banyak di Indonesia. Pernyataan itu ia sampaikan kala menjelaskan alasan dirinya tidak memiliki HP. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sekarang saya ngga punya HP tuh karena saya adalah orang yang paling disadap di Indonesia sekarang,” ujar Megawati sambil berkelakar.

Dirinya juga menyebut bahwa ada pihak-pihak yang ingin menyadapnya berkaitan dengan kondisi yang sedang terjadi. “Ga percaya? Tanya sana sama orang-orang yang suka-suka sadap,” kata Megawati, menegaskan.

Mengenal Penyadapan di Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diakses melalui laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyadap didefinisikan sebagai mendengarkan atau merekam informasi (seperti rahasia atau percakapan) milik orang lain dengan sengaja dan tanpa sepengetahuan mereka. Sedangkan, merekam berarti memindahkan suara, gambar, atau tulisan ke dalam media seperti kaset atau piringan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa menyadap memiliki cakupan lebih luas daripada sekadar merekam. Penyadapan melibatkan proses perekaman secara rahasia atau tanpa diketahui oleh pihak yang sedang disadap. Sementara itu, kegiatan merekam tidak selalu dilakukan tanpa sepengetahuan orang atau objek yang direkam.

Dilansir dari Mahkamah Agung RI, Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Aturan mengenai penyadapan di Indonesia saat ini tersebar di berbagai undang-undang dan peraturan, tetapi tidak ada undang-undang khusus yang mengatur mekanisme penyadapan secara menyeluruh dan terpadu.

Meskipun penyadapan merupakan salah satu instrumen penting dalam proses penegakan hukum, terutama dalam mengungkap kejahatan yang bersifat kompleks seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri belum memberikan dasar yang jelas dan rigid mengenai praktik penyadapan. 

KUHAP hanya mencakup bentuk-bentuk tindakan paksa dalam penegakan hukum pidana, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Penyadapan tidak termasuk di dalamnya, meskipun sudah banyak kasus yang menggunakan penyadapan sebagai alat bantu investigasi.

Regulasi terkait penyadapan di Indonesia saat ini diatur dalam berbagai undang-undang yang berbeda, tergantung jenis kejahatan atau lembaga penegak hukum yang melakukan penyadapan. Setidaknya ada 20 undang-undang dan peraturan yang mencakup aturan penyadapan, antara lain UU tentang Psikotropika, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Telekomunikasi, UU Advokat, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Selain itu, peraturan teknis mengenai penyadapan juga diatur dalam peraturan-peraturan tingkat kementerian dan lembaga tertentu, misalnya dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika serta Standar Operasional Prosedur yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Keberagaman ini menimbulkan kerancuan, tumpang tindih peraturan, dan perbedaan dalam pelaksanaan penyadapan antar lembaga penegak hukum.

Beragamnya aturan penyadapan ini menimbulkan sejumlah persoalan dalam praktik, terutama mengenai aspek kepastian hukum, transparansi, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama hak privasi. Tanpa adanya undang-undang khusus yang menjadi payung hukum penyadapan, proses penyadapan kerap kali menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga yang berwenang, tata cara perizinan, serta mekanisme pengawasan. 

Hal ini juga membuka peluang adanya pelanggaran hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28J ayat (2), yang mengatur bahwa pembatasan terhadap hak asasi manusia harus dilakukan dengan undang-undang, termasuk hak atas privasi individu.

Negara-negara lain yang telah memiliki regulasi penyadapan pada umumnya mewajibkan adanya izin khusus dari pengadilan atau hakim sebelum penyadapan dilakukan, menentukan jangka waktu tertentu, serta membatasi akses hasil penyadapan pada pihak-pihak yang memiliki otoritas resmi.

Terkait dengan kondisi di Indonesia, peraturan yang beragam menyebabkan perbedaan prosedur antar lembaga penegak hukum. Misalnya, proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK, Kepolisian, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dapat memiliki perbedaan prosedur karena masing-masing lembaga mengacu pada aturan yang berbeda. 

Selain itu, pengawasan terhadap praktik penyadapan juga belum jelas. Tidak ada badan atau mekanisme tunggal yang bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan penyadapan oleh berbagai lembaga negara ini. Dalam situasi seperti ini, ada risiko penyalahgunaan penyadapan, terutama jika tidak ada standar yang baku mengenai tata cara penyadapan dan batasan akses.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus