Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Melanjutkan Dakwah Anti-TBC

Persis sudah berkembang, bukan lagi organisasi gurem—tapi perlu revitalisasi juga.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persatuan Islam (Persis) menggelar Muktamar XIII pekan lalu di Asrama Haji Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Sebagai organisasi sosial keagamaan, lazimnya tentu ia mengurus masalah-masalah agama. Itulah sebabnya, ketika seorang muktamirin Ahad pekan lalu berulang kali berdiri mengusulkan agar Kecamatan Pulau Sepekan (Sumenep, Madura) direkomendasikan menjadi kabupaten, mayoritas peserta muktamar menolak. ”Selama ini kami tidak pernah mendapat perhatian dari Kabupaten Sumenep,” kata si pengusul dengan logat Madura yang kental.

Hingga sidang Komisi Bayan (rekomendasi) berakhir, usul itu tidak tercantum dalam sejumlah rekomendasi muktamar. ”Pemekaran wilayah itu masalah politik praktis, sulit dirumuskan dalam forum ini,” kata Abdurrahman, Ketua Komisi Bayan.

Memang, banyak muktamirin yang berharap muktamar ini menyumbangkan pikiran sebagai upaya menyelesaikan berbagai masalah sosial dan keagamaan yang tengah dihadapi umat Islam Indonesia. Namun, muktamar kali ini lebih banyak memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan model dakwah yang selama ini memang menjadi garapan Persis sejak didirikan pada 1923.

Salah satu rekomendasi yang mendapat sambutan hangat ialah dukungan kepada Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama—hal ini sempat ramai diperdebatkan belakangan ini. Muktamar menganggap aliran-aliran itu merupakan ancaman bagi dakwah Persis karena bisa melunturkan akidah. ”Aliran-aliran itu merupakan kemungkaran yang dahsyat,” kata Shiddiq Amien, Ketua Umum Persis, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Persis di Kecamatan Benda, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Soal liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama juga muncul sebagai isu yang populer dan hangat dalam muktamar. Sambutan gegap-gempita marak dalam sidang Komisi Bayan maupun dalam penutupan muktamar, Senin malam pekan lalu, ketika rekomendasi mengenai hal itu dibacakan.

Isu liberalisme, pluralisme, dan sekularisme sama hangatnya dengan isu ”kristenisasi”. Menurut Shiddiq, dua isu itu merupakan harakah irtidad alias pemurtadan, karena itu merupakan tantangan bagi dakwah Persis.

Ia menengarai maraknya upaya pemurtadan yang kini berkembang subur di Jawa Barat. ”Sasarannya ialah keterbelakangan ekonomi dan pendidikan di kalangan umat Islam,” katanya. Karena itu, selain dengan da’wah bil lisan (verbal), Persis mencoba menghadang ”kristenisasi” dengan da’wah bil hal, dakwah dengan tindakan nyata. ”Kami akan mencoba mengimbanginya dengan cara serupa, terutama dalam hal perbaikan ekonomi dan pendidikan,” ia menambahkan.

Maka, Persis merasa perlu bergabung dengan Front Anti-Pemurtadan di Bandung yang melakukan investigasi atas korban pemurtadan dan menyerahkan hasilnya kepada aparat keamanan. ”Jika Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan menutup gereja, kami tidak bisa menyalahkan, karena gereja tersebut didirikan tanpa izin,” katanya.

Langkah Persis seperti itu memang terkait dengan perjalanan sejarahnya yang sering mengedepankan semangat pemurnian syariat Islam. Persis didirikan pada 12 September l923 di Bandung oleh H. Zamzam, alumni Pesantren Darul Ulum, Mekah, dan H. Muhammad Yunus, seorang pedagang asal Palembang.

Jika Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 terpengaruh oleh gerakan Wahabi di Mekah, Persis didirikan setelah Zamzam dan Yunus mengkaji pemikiran Muhammad Abduh, pembaharu pemikiran Islam dari Mesir. Dalam tulisannya di majalah Al-Manar, Abduh berpendapat perlunya memperbarui cara berpikir dan bersikap di kalangan kaum muslimin dengan tetap merujuk kepada Al-Quran dan Sunah.

Setahun setelah berdiri, Persis mengalami puncak dakwahnya setelah Ahmad Hasan bergabung. Ia adalah pemuda kelahiran Singapura keturunan Tamil-Jawa yang bersemangat dalam berdakwah dan memiliki pengetahuan agama yang luas. Lewat Persis, Hasan tampil sebagai tokoh kritis, terutama menghadapi apa yang ia populerkan sebagai ”penyakit TBC”: takhayul, bidah, khurafat, tiga hal yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam.

Pada 1930-an, ia terlibat dalam debat soal kebiasaan membaca ushalli (niat salat) dan talqin, menuntun mayit mengenai apa yang harus dijawab ketika menghadapi malaikat di alam kubur. Tak tanggung-tanggung, lawan debatnya ialah tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama seperti KH Wahab Hasbullah. Bagi Hasan, niat salat cukup dalam hati, sementara talqin lebih tepat diucapkan sebelum seseorang meninggal. Ia juga pernah berdebat secara terbuka selama tiga hari dengan dua tokoh Ahmadiyah di Jakarta. Sejak awal Hasan memang berpendapat Ahmadiyah adalah aliran sesat, tapi tak pernah menganjurkan umat Islam memusuhinya.

Di luar persoalan akidah dan fikih, Hasan juga pernah berdebat dengan Ir Soekarno tentang dasar negara. Soekarno menyatakan nasionalisme, sementara Hasan berpendirian Islam lebih tepat sebagai dasar negara. Alasannya, Islam adalah agama rahmat untuk segenap umat, sementara mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.

Pemikiran tokoh-tokoh Persis, khususnya A. Hasan, kala itu berkembang luas berkat dukungan media yang diterbitkannya. Pada l929-l933, misalnya, Persis menerbitkan majalah Pembela Islam, yang tersebar sampai Singapura, Malaysia, dan Thailand Selatan. Persis juga menerbitkan majalah Al-Fatawa (1931-1935) dengan huruf Arab-Melayu yang lazim disebut huruf Arab pegon atau Arab gundul. Majalah ini banyak peminatnya di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.

Tradisi penerbitan sebagai ujung tombak dakwah, menurut Badri Khaeruman dalam Perspektif Pemikiran dan Peran Pembaharuan Persis, mulai surut sejak Jepang melakukan invasi ke Indonesia yang berlanjut dengan pergolakan revolusi kemerdekaan. Apalagi pada 1941, menjelang invasi Jepang, Hasan pindah dari Bandung ke Bangil, Jawa Timur. Menurut Atip Latifulhayat, mantan Ketua Pemuda Persis, kepindahan Hasan bukan penyebab kemunduran Persis. ”Kemunduran Persis terjadi pada l970-l990 akibat kebijakan represif Orde Baru terhadap gerakan Islam,” katanya.

Untuk menyelamatkan jaringan organisasi, Persis mengubah haluan dengan menitikberatkan dakwah kepada lingkungan sendiri, yang berarti membatasi perluasan jaringan.

Elim Muslim, pengurus Persis Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, berpendapat, Orde Baru bukan satu-satunya penyebab Persis seret menggaet anggota baru. ”Persis tidak bisa memiliki anggota sebanyak Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah karena terkesan sebagai organisasi Islam bergaris keras. Persis memang keras dalam menjalankan syariat Islam,” katanya. Itu sebabnya, barangkali, Persis lebih banyak berkutat di Jawa Barat.

Pada 1950-an, kesan sebagai organisasi garis keras sangat terasa ketika tokohnya, KH Isa Anshary, ulama dan orator ulung, tampil sebagai juru kampanye Masyumi menjelang pemilu pertama 1955. Kesan itu agak mencair sejak l990 ketika Persis dipimpin oleh Abdul Latif Muchtar. Setidaknya, perubahan itu menandai muktamar yang digelar secara terbuka setelah Masyumi, partai politik tempat Persis bergabung, dibubarkan oleh Soekarno. Salah satu program Latif ketika itu ialah mengembangkan jaringan keluar Jawa Barat, seperti Pulau Sepekan di Madura sampai Gorontalo, Sulawesi.

Kebijakan Latif diteruskan oleh Shiddiq Amien sehingga jumlah anggota berkembang dari 15 ribu orang pada 1990 berangsur-angsur meningkat hingga 300 ribu pada 2005. ”Jadi, tak benar kalau dikatakan Persis mandek. Sekarang saja kami punya 197 pesantren,” kata Shiddiq Amien, yang Senin lalu terpilih kembali sebagai ketua umum. Pendeknya, Persis bukan lagi organisasi gurem.

Manfaat Persis tentu tidak hanya diukur dari jumlah anggota. Bagi Atip Latifulhayat, Persis harus bisa menjawab persoalan umat. Pemberantasan kemiskinan dan korupsi adalah dua dari beberapa agenda penting yang mestinya menjadi garapan dakwah. Pendeknya, kata Atif yang tengah menempuh program doktor di Monash University, Australia, ini, ”Ikon Persis sebagai pembaharu harus direvitalisasi.”

Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus