SETELAH berusia dua puluh tiga tahun, akhirnya Kopkamtib dihapuskan. Berita besar ini diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, di Bina Graha, Jakarta, Selasa siang pekan lalu. Tugas-tugas yang selama ini dipegang oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), seperti dikatakan Moerdiono, dianggap telah selesai. Maka, keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) nomor 25, tertanggal 5 September 1988. Isinya: mencabut Keppres nomor 9 tahun 1974, yang mengatur pokok-pokok organisasi dan prosedur Kopkamtib. Tapi bukankah pembangunan membutuhkan stabilitas dan Kopkamtib selama ini bertugas menopang stabilitas tersebut? Menurut Moerdiono, dengan keputusan baru ini, pemantapan stabilitas nasional itu dapat dilakukan instansi atau departemen yang ada. "Tugas-tugas Kopkamtib, yang sudah dilaksanakan dengan baik itu, sudah dapat diakhiri," ujar Moerdiono. Guna mengoordinasikan upaya instansi dan departemen dalam pemulihan, pemeliharaan, dan pemantapan stabilitas nasional, maka di hari yang sama, melalui keputusan nomor 29 tahun 1988, Presiden Soeharto membentuk lembaga baru yang disebut Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, disingkat Bakorstanas. Badan baru nonstruktural ini -- seperti halnya Kopkamtib -- berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden menunjuk Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno sebagai ketuanya. Ia dibantu anggota tetap yang terdiri atas sekretaris para Menteri Koordinator, wakil dari Markas Besar ABRI, kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Bakin. Ketua badan ini bisa menetapkan sejumlah anggota tidak tetap yang ditunjuk dari instansi atau departemen yang berkaitan dengan problem yang sedang dihadapi. Secara ringkas, Moerdiono menjelaskan bahwa Bakorstanas akan mengemban tugas untuk menjaga stabilitas nasional. Misalnya, Bakorstanas bertugas mengumpulkan dan mengolah data serta informasi mengenai berbagai kemungkinan timbulnya hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan pada stabilitas nasional. Selanjutnya instansi ini akan memberikan usul kebijaksanaan atau saran tindakan kepada Presiden, sebagai bahan Presiden mengambil keputusan atau memberikan petunjuk bagi terselenggaranya pemulihan, pemeliharaan, atau pemantapan stabilitas tadi. Keputusan atau petunjuk Presiden tadi akan dioperasionalkan secara fungsional. Artinya, yang akan bergerak melaksanakannya adalah departemen yang bersangkutan. Berbeda dengan Kopkamtib yang punya wewenang komando, badan baru itu bersifat koordinatif. "Pekerjaannya berdasarkan peraturan dan undang-undang yang ada," kata Moerdiono. Misalnya, dan ini penting, lembaga ini, dalam tugas rutin, tidak punya wewenang menangkap orang. "Sesuai dengan KUHAP, penangkapan harus melalui polisi, atau melalui Jaksa Agung kalau itu perbuatan subversi," kata Menko Polkam Sudomo. Meskipun demikian, dalam keadaan kritis, seperti pemberontakan, Presiden/ Mandataris MPR bisa saja memerintahkan Panglima ABRI untuk melakukan tindakan yang keras. "Kalau sudah diperintahkan seperti itu, Pangab punya hak untuk menangkap orang," kata Sudomo. Badan ini dibantu oleh sekretariat yang konon akan dipimpin seorang perwira tinggi ABRI. Di daerah-daerah akan dibentuk Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional di Daerah (Bakorstanasda), dengan para Panglima Kodam sebagai ketuanya. ungsinya akan menjadi perpanjangan tangan Bakorstanas. Sehubungan dengan berakhirnya tugas Kopkamtib,, Jenderal L.B. Moerdani diberhentikan dengan hormat sebagai Panglima Kopkamtib. Itu tertuang di dalam Keputusan Presiden 6 September 1988. Masih berkaitan dengan ini, pada 7 September 1988, keluar pula Keppres nomor 30/1988, yang isinya mencabut Instruksi Presiden nomor 9/1977, tentang pembentukan Opstib (Operasi Tertib). Artinya, bersama Kopkamtib, Opstib juga dihapuskan karena tugasnya dianggap selesai. Tapi mengapa Kopkamtib dibubarkan? Menhankam Jenderal L.B. Moerdani menyebutkan bahwa setelah 20 tahun lebih keadaan sudah berubah, masyarakat sudah kian sadar bahwa bertengkar dan bersilang pendapat tak berguna. Dengan kata lain, stabilitas sudah kian mantap. Lembaga khusus ini, yang tugasnya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, dengan demikian, tidak diperlukan lagi. "Secara perlahan kebebasan harus diperbesar dan dilonggarkan," kata Jenderal (Purn.) Soemitro, bekas Pangkopkamtib. Ada bisik-bisik likuidasi lembaga itu ingin mengurangi kekuasaan dan wewenang Menhankam L.B. Moerdani. Tapi segera dibantah Mensesneg Moerdiono. "Kok soal Pak Benny to? Wong kita berbicara soal institusi, bukan orang," katanya. Yang jelas, sudah lama keberadaan Kopkamtib dipersoalkan. Banyak yang menganggap wewenang yang dimilikinya terlalu luas. Bermula dari mengawasi kegiatan eks PKI. Lalu berkembang menjadi menangkal berbagai gerakan ekstrem, memberantas korupsi dan pungli, membredel pers, menertibkan sertifikat tanah, sampai mengamankan calo di terminal bis. Bekas Direktur Lembaga Bantuan Hukum Adnan Buyung Nasution menyebut Kopkamtib sebagai tongkat pemukul yang digunakan secara berlebihan. "Seperti sudah sering saya bilang dulu, Kopkamtib itu ibarat menembak nyamuk dengan meriam," kata advokat itu mengambil perumpamaan. Karena itu, kehadiran Kopkamtib sering ditentang. Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) dalam kongresnya di Yogyakarta, Oktober 1977, misalnya, pernah meminta agar pemerintah membubarkan Kopkamtib. Memang kebanyakan penantang lembaga ekstrastruktural itu adalah kaum pengacara yang melihat eksistensi Kopkamtib itu berada di luar konstitusi. Kopkamtib berdiri 3 Oktober 1965, saat negeri ini dalam keadaan kacau dan "gawat darurat" setelah pemberontakan G-30-S/PKI. Dalam pidato radio, tiga hari setelah gerakan yang gagal itu, Presiden Soekarno menunjuk Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto, untuk memulihkan keamanan dan ketertiban yang amat terganggu setelah peristiwa G-30-S. Sesuai dengan tugasnya, lembaga ini semata ditujukan pada penumpasan PKI. Tapi, setelah sukses besar menumpas pemberontakan itu, tugas pokok lembaga ini kemudian dirumuskan oleh Keppres nomor 9 di tahun 1974, lebih dari sekadar menangani G-30-S/PKI. Misalnya, Kopkamtib bertugas pula menangkal gerakan ekstrem atau berbagai kegiatan subversi lainnya. Lembaga ini ditugasi pula menjaga kewibawaan pemerintah dan aparatnya dari pusat sampai daerah, dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Rentang tugasnya memang jadi meluas dengan wewenang yang begitu besar seperti menangkap orang tanpa melalui prosedur biasa, menggerakkan kekuatan militer, bila perlu. Kopkamtib memang menjadi "jagoan" yang berhasil menangkal setiap gerakan yang bisa mengganggu stabilitas. Misalnya berbagai kerusuhan rasial teror dari kelompok ekstrem kanan dan juga gerakan-gerakan protes, dari soal yang kecil seperti penggusuran tanah sampai kerusuhan akibat keharusan memakai helm. Namun, menurut Menko Polkam Sudomo, yang pernah menjadi Kepala Staf dan Panglima Kopkamtib, 1973-1983, pada masanya Kopkamtib sebetulnya lebih banyak melakukan tindakan persuasif. "Karena itu, motto kita: kekuatan sebagai persuasi, dan persuasi sebagai kekuatan," katanya. Itu bisa juga dilihat dari pendekatan dan dialog-dialog yang dilakukan Panglima Kopkamtib 1971-1974, Jenderal Soemitro, dalam menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Tapi dalam kasus ini, upaya itu sia-sia, dan terjadilah malapetaka 15 Januari 1974. "Karena gagal dalam meredam aksi Malari itulah saya mengajukan pengunduran diri sebagai Panglima Kopkamtib," ujar Soemitro, yang kini menjadi pengusaha itu, kepada TEMPO. Sebagai Kastaf Kopkamtib 1980-82, Jenderal Widjojo Soejono, misalnya, melakukan studi intensif tentang stabilitas nasional. Rumusan studi itu kemudian ia sebarkan dalam bentuk berbagai ceramah. Di Yogyakarta, ia mendekati kalangan Islam. "Umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas dan bisa menjadi pendukung stabilitas nasional," kata Widjojo, kini pengusaha perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Memang, menurut Widjojo, Kopkamtib memiliki falsafah dasar sebagai pengayom masyarakat. Kopkamtib, kata Widjojo, tak mau mengambil rlsiko, bila menghadapi situasi yang membuat pembangunan terancam, Pancasila dan UUD 1945 dalam bahaya. Di sini, tongkat pemukul akan digunakan sebagai alat represif dan preventif. Sebetulnya, lembaga ini, menurut Widjojo, adalah alat pemerintah untuk menghadapi berbagai ancaman terhadap pembangunan, dalam keadaan tertib sipil. Dalam kondisi ketika instansi dan lembaga pemerintah belum bisa berperan semestinya, padahal pembangunan mesti dilaksanakan. Presiden sebetulnya mempunyai hak untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya berdasarkan pasal 12 UUD 45. "Tapi itu 'kan justru akan mengurangi hak warga negara," ujar Widjojo. Selain itu, dalam tiap Sidang Umum MPR, ada ketetapan MPR tentang pelimpahan tugas dan wewenang kepada Presiden dalam rangka menyukseskan dan mengamankan pembangunan. Dengan modal ketetapan MPR ini Presiden sewaktu-waktu bisa memerintahkan Panglima ABRI untuk mengambil tindakan drastis bila diperlukan. Sejak semula, seakan sudah disadari bahwa Kopkamtib hanya bersifat sementara. Dalam rapat kerja para bupati, wali kota, dan gubernur se-Indonesia, di Jakarta, akhir Februari 1981, Panglima Kopkamtib Sudomo menyebutkan bahwa Kopkamtib dan Opstib itu mengemban misi "self liquidation". Artinya, lembaga ini bertugas memulihkan keadaan sampai sedemikian rupa, hingga akhirnya eksistensinya sendiri berakhir. Sepanjang lima tahun Jenderal L.B. Moerdani menjabat Panglima Kopkamtib, misalnya, kegiatan lembaga ekstrastruktural itu kian berkurang saja. "Itu karena, selain tidak ada masalah yang timbul, juga, banyak soal yang sudah saya tangani di masa saya itu," ujar Menko Polkam Sudomo. Jenderal L.B. Moerdani sendiri sejak memegang lembaga itu sudah merasa bahwa Kopkamtib semestinya diganti. Keyakinan itu katanya, "Karena pengalaman saya menjadi Asisten Intelijen Hankam selama sembilan tahun." Artinya, kepercayaan pada kemampuan diri sendiri makin kuat, hingga Kopkamtib tidak diperlukan lagi. Akhirnya tanda-tanda lembaga itu akan dihapuskan terungkap kepada masyarakat dari pernyataan Jenderal L.B. Moerdani menjelang saat-saat menyerahkan jabatan Panglima ABRI kepada Jenderal Try Sutrisno, akhir Februari yang lalu. Jabatan Panglima Kopkamtib yang sebelumnya dirangkap Jenderal Benny tak turut diserahkan kepada Pangab baru, ketika itu. Kabarnya, setelah Sidang Umum MPR, pertengahan Maret 1988, Menhankam L.B. Moerdani sudah menyerahkan konsep lembaga baru itu kepada Presiden. Konsep ini digodok di Sekneg, sampai kemudian diumumkan Mensesneg Moerdiono, pekan lalu. Kini Ketua Bakorstanas Try Sutrisno sedang menyusun struktur organisasi dan mekanisme kerja lembaga baru ini dengan berpedoman pada Keputusan Presiden tadi. Semua direncanakan sudah akan selesai paling lambat dalam dua bulan. Yang menarik, Kopkamtib yang begitu ampuh menangkal berbagai kerusuhan dan keresahan itu dihapuskan di saat pembangunan mendekati saat tinggal landas. "Itu suatu intuisi atau instink Presiden yang mengatakan bahwa ia berani lepas landas tanpa Kopkamtib. Ini menunjukkan bahwa pembangunan kita bukan dilakukan dengan tidak terpuji," kata Jenderal Benny. Amran Nasution, Diah Purnomowati, Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini