LAGU-lagu populer kini sedang disorot. Lirik lagu yang bernada pasrah dan cengeng dianggap tidak sesuai dengan degup pembangunan. Kejadian serupa pernah juga muncul pada tahun 1960-an. Ini tidak berarti lirik lagi-lagu populer kita saat ini sama atau mirip dua puluhan tahun yang lalu. Cukup banyak perubahan yang berarti selama kurun waktu itu. Dalam lagu-lagu populer kita sekarang misalnya, semakin banyak dikatakan "kepada dirimu", bukan "kepadamu" "mencintai diriku", bukan "mencintaiku". Untuk menyatakan orang, bentuk dasar "aku", "kamu", dan "dia", serta bentuk ringkas "ku", "mu", dan "nya", cenderung digantikan oleh bentuk milik: "diriku", "dirimu", dan "dirinya". Tentu, ini karena tuntutan melodi. Terdengar pas atau merdu terang dan indah, apabila orang dinyatakan sebagai diri yang dipunyai: sebagai sejenis milik. Dalam lagu-lagu lama, termasuk lagu-lagu daerah, kekasih adalah pujaan atau junjungan. Tidak jarang kita mendengar seorang pencinta memanggil kekasihnya "dewi" atau "tuan", dan menyebut dirinya sendiri "hamba". Kekasih, dalam lagu-lagu lama, juga dipahami sebagai teman seiring dan setujuan, yang diinginkan selalu berada di sisi. Maka, dua orang yang saling mencintai digambarkan sebagai dua sejoli atau sepasang merpati. Lagu-lagu lama juga mengajarkan kekasih sebagai bagian penting dan diri sendiri: kekasih sebagai biJi mata, tambatan hati, buah hati, jantung hati. Tersirat di situ: dilindungi dan dirawat, sebagaimana orang melindungi dan merawat diri sendiri. Lagu-lagu populer kira sekarang menemukan paham baru: kekasih sebagai barang milik. Setiap hari terdengar seruan "dia milikku" dan keluh kesah "engkau miliknya". Mencintai bukan perkara menghormati, menemani, melindungi, dan merawat, melainkan perkara memiliki. Cinta dialami sebagai hasrat untuk mempunyai. Sebagai sejenis kekurangan: cinta itu meminta. Bukan kelebihan yang memberi. Memberi, tanpa kepastian memperoleh pembayaran lunas kembali, terasa sebagai kehilangan gengsi. Tidak heran jika dalam sebuah lagu kita mendengar seorang pemuda jatuh cinta kepada gadis yang keibuan. Seorang ibu, setidak-tidaknya bagi balita, ialah pelindung dan perawat, sumber yang menyediakan segala apa yang diperlukan, segala apa yang dirasa kurang. Maka, krisis cinta berarti tuntutan untuk pulang kepada ibu -- atau orangtua -- dalam arti harfiah dan terutama dalam arti simbolis: kembali kepada keadaan ketika terberi semua yang diminta. Di luar rangkuhan tokoh yang dicintai, hanya ada ancaman dan keadaan merana. Kehilangan obyek yang dicintai, sama halnya dengan kehilangan orangtua, dialami sebagai kebinasaan. Orang kehilangan lindungan, tidak punya apa-apa lagi. Maka, kehilangan segala daya, kecuali untuk membelai-belai diri sendiri, meratapi diri sendiri. Umumnya orang menganggap, orang dewasa mampu melindungi, merawat, dan menolong dirinya sendiri. Maka, keadaan yatim atau keadaan piatu dianggap bukan soal untuk orang dewasa. Namun, banyak lagu mempersoalkan keyatiman atau kepiatuan sedemikian rupa, seolah-olah perlu dipikirkan berdirinya rumah yatim atau rumah piatu untuk orang-orang dewasa. Orang bukanlah apa dan bagaimana yang ia perbuat, melainkan apa dan berapa yang ia punya. Anda tinggi, mulia, dan kuat, jika Anda punya banyak. Rendah dan lemah, jika punya sedikit. Dan bukan apa-apa sama sekali jika tak punya apa-apa. Simaklah lagu-lagu tentang orang miskin. Cinta batal semata-mata karena ternyata engkau anak orang kaya, sedangkan aku anak orang miskin, seperti dinyanyikan oleh sebuah lagu. Bukan hanya orang, alam pun memandang rendah orang tak punya, seperti diutarakan sebuah lagu lainnya. Orang miskin minder, keder, dan selama-lamanya sedih. Mereka hanya mampu bertanya, seperti dinyanyikan dalam sebuah lagu: "Oh, di mana akan kudapat kesenangan hidup?" Dalam lagu tentang orang miskin, kegembiraan dipahami sebagai barang yang dibeli, dipunyai, dan dinikmati. Dalam kenyataan, tentu saja orang miskin tidak menunggu jadi kaya untuk bisa gembira. Setiap hari mereka menghasilkan kegembiraan dengan kegiatan mereka sendiri: melucu, bermain, berolah raga, apa saja. Tentu, lagu-lagu tentang orang tak punya itu dikarang dan dinyanyikin oleh orang berpunya, yang dalam lagu-lagu itu mengungkapkan pandangan dan sikap hidup mereka sendiri. Tidak punya itu tidak mampu, tidak berdaya, sebab daya datang dari kepunyaan. Dalam sebuah lagu yang sedih dan dramatis, "orang tak punya" dibayangkan sebagai sampah hanyut di sungai, dengan pasifnya menanti saat dibantingkan oleh air terjun. *** Derita, dalam lagu-lagu populer, dipahami sebagai datang dan menimpa dari luar, dan bukan sebagai hasil yang si penderita sendiri ikut memegang hak ciptanya. Karena itu, terhadap derita, pertanyaan yang khas ialah: "Mengapa?" Dalam hukum, anggapan tidak bersalah datang dari harkat manusia. Dalam lagu populer, dari hilangnya harkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini