Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lahirnya Komando Gawat Darurat

Kopkamtib lahir pada 3 oktober 1965 karena desakan keadaan yang memerlukan pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat akibat G30s/PKI. Sejarah Kopkamtib selama 23 tahun menghadapi gejolak massa.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMANDO Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban alias Kopkamtib lahir dari situasi "gawat darurat" ketika 23 tahun silam PKI melancarkan kudeta, dikenal sebagai G-30-S/PKI. Sementara Presiden Soekarno lebih berpihak kepada pemberontak, pihak militer berusaha mengamankan dan menguasai keadaan. Meski organisasi dan personalia Kopkamtib kemudian berubah, tugas pokoknya tetap, sesuai dengan Keppres No.9/74: pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat akibat G-30-S/PKI, kegiatan subversi dan ekstrem lainnya mengamankan kewibawaan pemerintah beserta aparatnya dan mengamankan pembangunan. Sejarah lembaga ini bermula pada 1 Oktober 1965, sehari setelah G-30-S/PKI meletus. Soekarno yang kala itu berada di Pangkalan AU Halim Perdanakusuma mendapat laporan mengenai "penindakan" terhadap beberapa jenderal, termasuk Menteri/ Panglima AD Jenderal A. Yani. Mendengar Yani dibunuh PKI, Soekarno mengambil alih pimpinan AD dan mengangkat Ass III Men/Pangad Mayjen. Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Pangad. Di markas besar Komando Strategis AD (Kostrad), Pangkostrad Mayjen. Soeharto mendapat informasi mengenai penculikan dan pembunuhan beberapa pimpinan teras AD. Ia segera mengambil alih pimpinan AD berdasarkan hierarki: perintah terap Men/ Pangad. Ketika itu ia berkesimpulan, PKIlah dalang G-30-S. Ia baru tahu Bung Karno di Halim, dari laporan ajudan Presiden Kolonel KKO Bambang Widjanarko, yang hari itu ke Kostrad. Bambang sebenarnya bermaksud menemui Mayjen. Pranoto (tapi tidak bertemu) untuk menyampaikan pesan Bung Karno agar menemuinya di Halim. Soeharto melapor kepada Bung Karno, melalui Bambang Widjanarko, bahwa ia untuk sementara mengambil alih pimpinan AD. Ia juga menyarankan agar selanjutnya perintah Presiden disampaikan melalui Mayjen. Soeharto. Presiden mulai bingung sementara kewibawaannya harus dijaga. Maka, pada 2 Oktober, ia menunjuk Soeharto untuk "melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban". Keputusan Presiden diumumkan melalui RRI pada 01.30 dinihari, 3 Oktober. Presiden antara lain menguraikan organisasi dan tugas pokok Kopkamtib. Berdasarkan pengangkatan itulah -- dan setelah menganalisa situasi -- Soeharto membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban guna menumpas pemberontak. Itulah asal-muasal terbentuknya Kopkamtib. Kini Soeharto mempunyai legalitas untuk bergerak. Ia mengonsolidasikan kesatuan yang masih loyal, sementara kesatuan yang berpihak pada pemberontak, antara lain karena kurang tahu, diinsafkannya. Imbangan kekuatan semakin tak menguntungkan pemberontak, terutama setelah Yon 454/Diponegoro dan Yon 530/Brawijaya, yang ketika itu di Jakarta, bergabung dengan Kostrad. Alkisah, Komandan RPKAD (kini Kopassus AD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo bergerak merebut gedung Telkom dan RRI Pusat. Dan setelah Soeharto mengirim pesan agar Bung Karno menyingkir dari Halim, pasukan baret merah itu membebaskan pangkalan udara yang ketika itu menjadi basis pemberontak. Halim dapat dikuasai. Malamnya, 1 Oktober pukul 20.00, melalui RRT Mayjen. Soeharto menyatakan bahwa G-30-S/PKI adalah gerakan kontrarevolusi. Pidato itu berpengaruh luas. Para pendukung pemberontak mulai blingsatan, sementara nyali masyarakat nonkomunis mulai berani. Dan ketika kuburan para jenderal ditemukan di Lubang Buaya pada 3 Oktober petang disusul upacara pemakaman dan show of force -- situasi berbalik 180 derajat. Sejarah berjalan terus, sampai ketika Presiden Soekarno menandatangani SP 11 Maret. Intinya memberi wewenang kepada Soeharto "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi". Dengan legalitas yang lebih kuat itu -- dan sementara operasi militer jalan terus -- pengamanan politik dilancarkannya. Hanya sehari setelah lahirnya SP 11 Maret, Soeharto membubarkan PKI. Ketika itu, salah satu di antara "tritura" (trituntutan rakyat) yang dilancarkan para demonstran KAMI dan KAPPI, memang pembubaran PKI. Pusat pemerintahan yang menjadi sumber penyelewengan Orla dibenahi: pada 18 Maret 1966, 18, menteri diamankan. Itu berarti melaksanakan satu lagi di antara "tritura", yaitu membubarkan Kabinet Dwikora, lalu membentuk Kabinet Dwikora "yang lebih disempurnakan", dan Soeharto tampil sebagai Ketua Presidium Kabinet. Dalam pidatonya 27 Maret 1966, Letjen. Soeharto selaku Pengemban Super Semar berkata: "Rakyat perlu menyadari, memperjuangkan prinsip-prinsip demi pengamanan revolusi berdasarkan kebenaran dan keadilan, merupakan perjuangan tersendiri. Susunan kabinet baru adalah tahap pertama yang secara maksimal dapat dicapai, tapi hendaknya merupakan satu dari rangkaian tahap kemenangan perjuangan yang akan datang". Dan kemenangan itu memang beruntun. Pada 21 Juni 1966, kemenangan konstitusional tercapai dengan dikukuhkannya SP 11 Maret sebagai Tap MPRS IX/ MPRS/1966. Setahun kemudian, Sidang Istimewa MPRS mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pj. Presiden. Dan akhir Maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto sebagai presiden penuh. Pada 31 Maret 1970, jabatan Pangkopkamtib dipercayakan kepada Jenderal M. Panggabean. Di masa itu hampir tak ada gejolak politik dan keamanan yang menonjol, kecuali penyelesaian sisa-sisa G-30-S/ PKI. Tapi ketika Pangkopkamtib dijabat Jenderal Soemitro, dari 1971 sampai 1974, lembaga ini pernah digugat karena dinilai inskonstitusional. Sikap keras itu muncul dalam Apel Kebulatan Tekad mahasiswa pada 18 Desember 1973 di halaman UI. Mereka menuntut agar lembaga Kopkamtib, juga Asisten Pribadi Presiden, dibubarkan. Sebelumnya sejumlah Dewan Mahasiswa (DM) di Bandung mengeluarkan "Ikrar 10 November" yang antara lain mensinyalir penyimpangan di kalangan pemerintah. Ketika mendarat di Kemayoran pada 11 November 1973, Ketua IGGI J.P.Pronk disambut sekelompok demonstran mahasiswa. Seorang mahasiswi, Yayang Pamontjak, menyampaikan karangan bunga dan surat terbuka mengenai utang-utang Indonesia. Tampak pula beberapa spanduk antimodal asing. Dalam pertemuan para mahasiswa dan cendekiawan pada 9 Desember 1973 di Bandung, Buyung Nasution antara lain mempersoalkan kedudukan Kopkamtib dan Aspri Presiden. Gelombang protes dan diskusi mahasiswa susul-menyusul. Pada akhir Desember 1973, sejumlah DM menunggu jawaban atas memorandum mengenai "memburuknya keadaan ekonomi" yang sebelumnya mereka sampaikan kepada Presiden. Di malam tahun baru 1974, 17 DM (Jakarta, Bandung, Bogor) menyelenggarakan tirakatan di halaman FK UI, Salemba 4, Jakarta. Pertemuan itu menghasilkan imbauan kepada pemerintah agar menanggulangi "kepincangan ekonomi, sosial, dan politik." Paginya Pangkopkamtib Soemitro menyatakan, tirakatan harus dilakukan dalam rangka berdoa kepada Tuhan, bukan membicarakan politik dan ekonomi. Pada 10 Januari 1974, sejumlah DM bertemu di Puncak dan menghasilkan "Tuntutan Mahasiswa Indonesia" yang akan disampaikan kepada Presiden. Isinya hampir sama dengan "deklarasi" 15 DM se-Jakarta di Cibogo akhir Desember 1973. Mereka menuntut pemerintahan yang bersih, kepastian hukum, refungsionalisasi lembaga konstitusional dan pembubaran lembaga inskonstitusional Kopkamtib. Mereka juga menolak kedatangan PM Jepang Tanaka yang akan berkunjung pada 14 Januari 1974, karena Jepang dianggap terlalu mendominasi perekonomian kita. Akhirnya Presiden menerima 35 DM pada 11 Januari di Bina Graha. Presiden antara lain menyatakan, "aksi-aksi mahasiswa merupakan rangkaian melatiyang indah". Tapi karena PM Tanaka tetap akan datang, para mahasiswa memutuskan berdemonstrasi menyambutnya. Itulah yang kemudian disebut Peristiwa 15 Januari alias "Malari". Pada 15 Januari itu, para mahasiswa berkumpul di UI, Salemba, lalu berjalan kaki ke Trisaksi. Dari sana mereka bergerak melewati jalan-jalan protokol. Ketika itu Tanaka lagi berunding dengan Soeharto di Istana Negara. Puncak peristiwa itu adalah dibakarnya sejumlah kendaraan bermotor bikinan Jepang. Yang paling dramatis,ialah pembakaran pusat perbelanjaan Senen. Sejak penstlwa yang menggegerkan itu, Pangkopkamtib dipegang Presiden Soeharto, dan operasionalnya oleh Laksamana Sudomo sebagai Kaskopkamtib. Beberapa hari setelah Malari, tujuh media massa diberangus, a.l. Abadi, Indonesia Raya, Pedoman, dan Harian Kami. Peristiwa penting lainnya ialah serangkaian demonstrasi hampir di setiap "kota mahasiswa" sejak akhir 1977 sampai Maret 1978. Sekali lagi, Januari 1978, tujuh surat kabar dilarang terbit sementara karena dianggap membesar-besarkan aksi mahasiswa. Antara lain Kompas, Sinar Harapan, Pelita, Indonesia Times. Kegiatan DM di seluruh Indonesia disetop. ABRI mengamankan kampus ITB yang sebelumnya memasang spanduk "tidak menginginkan Soeharto kembali sebagai presiden". Kemudian, mulai 1980, muncul beberapa peristiwa: Komando Jihad, aksi rasialis anti-Cina di Ujungpandang dan Jawa Tengah, pembunuhan tukang santet dan bromocorah di Jawa Timur, sampai Petisi 50. Muncul pula "Dewan Revolusi Islam" pimpinan Imran dkk. yang menyerang Pos Polisi Cicendo di Bandung, kemudian membajak pesawat Garuda Woyla, Maret 1981. Lalu, Oktober dan Desember 1981 muncul lagi peristiwa anti-Cina di Pakanbaru. Tapi yang ramai ialah "Peristiwa Banteng" di masa kampanye Pemilu 1982. Kampanye Golkar di Lapangan Banteng Jakarta, ingar-bingar. Beberapa kendaraan dibakar, toko-toko rusak. Tapi yang bikin Pangkopkamtib Sudomo beken ialah Operasi Tertib alias Opstib yang dibentuk pada 16 Juni 1977 (lihat Mengenang PO Box 999). Sejak 1983 Jenderal L.B. Moerdani menjabat Pangkopkamtib. Selama hampir setahun, tenang-tenang saja. Tapi pada September 1984, muncul "Peristiwa Tanjungpriok". Massa menyerbu Kores Jakarta Utara, menuntut empat rekan mereka yang sebelumnya ditahan. Petugas keamanan melepaskan tembakan, sejumlah orang tewas. Hanya sebulan kemudian, Oktober, tiga ledakan menghancurkan kantor cabang BCA Jalan Gajah Mada dan Pecenongan dan pertokoan Metro, Glodok, Jakarta. Peristiwa lain adalah ledakan di Candi Borobudur pada Januari 1985. Sembilan stupa dan empat patung hancur. Pelakunya ketika itu belum tertangkap. Belakangan, Maret, bis Pemudi Express meledak di Jawa Timur, dan terungkaplah peristiwa Borobudur. Tiga tertuduh ditangkap. Banyak soal telah ditangani lembaga Kopkamtib. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, gebrakan komando pengamanan krisis itu perlahan-lahan dikurangi. Dan tuntutan mahasiswa 14 tahun silam seakan terpenuhi, ketika Presiden pekan lalu mengganti lembaga itu dengan Bakorstanas. Budiman S. Hartoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus