Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Membangkitkan Wakaf Uang

Bank Muamalat Indonesia mulai menerima wakaf uang. Bisakah mengefektifkan wakaf yang selama ini carut-marut?

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI mungkin terobosan untuk menggairahkan ekonomi umat Islam. Bank Muamalat Indonesia belum lama ini membuka pundi baru berupa wakaf uang tunai dari nasabahnya. Selama ini, sumber dana untuk kesejahteraan umat Islam bisa berasal dari lembaga zakat, infak, shadaqah, hibah, dan wakaf. Namun, wakaf di Indonesia kebanyakan berbentuk barang tak bergerak, baik tanah hak milik maupun bangunan seperti masjid, madrasah, dan gedung tempat kegiatan badan sosial. Padahal, di banyak negara, misalnya Mesir, wakaf uang sudah biasa (lihat Yang Sukses Mengelola Wakaf).

Jenis usaha wakaf uang yang dibuka Bank Muamalat Indonesia sejak awal Mei 2002 itu diperkirakan pada pertengahan Juni 2002 bisa dikukuhkan melalui fatwa Dewan Syariah Nasional, organ di bawah Majelis Ulama Indonesia. Menurut Sekretaris Dewan Syariah Nasional, Din Syamsudin, tinggal persoalan teknis untuk menelurkan fatwa dimaksud. Soalnya, dari segi fikih Islam, wakaf uang tak lagi dipermasalahkan dengan wakaf natura seperti tanah.

Dari sisi aturan hukum pun demikian, kendati sampai kini pemerintah masih sibuk menggarap Rancangan Undang-Undang Wakaf, yang diharapkan bisa makin memperkuat lembaga wakaf, sebagaimana lahirnya Undang-undang Zakat pada 1999. Kata Wakil Direktur Biro Syariah Bank Indonesia, Mulya Siregar, berdasarkan Pasal 28 dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 32 dan 34 Tahun 1999, bank syariah boleh menerima dan menyalurkan zakat, infak, shadaqah, hibah, wakaf, dan sumbangan lain yang bersifat sosial.

Persoalannya: mungkinkah terobosan wakaf uang tunai bisa mendongkrak citra praktek wakaf yang tidak efektif selama ini? Di Indonesia, wakaf, selain berbentuk tanah milik atau bangunan, juga bersifat konsumtif, tidak produktif. Selain itu, aset wakaf yang bisa disalurkan dan dikelola oleh nazir (pengurus wakaf) hanya secuil dari potensi wakaf yang sesungguhnya. Tak terbayangkan betapa besarnya dana wakaf yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat Islam. Dan dari tanah wakaf yang tercatat itu pun, seluas 81 ribu hektare, menurut Tulus, Direktur Pengembangan Wakaf dan Zakat di Departemen Agama, baru 75 persen yang sudah besertifikat tanah wakaf.

Sudah begitu, berbagai tanah wakaf selalu diwarnai kasus. Contohnya kasus tanah wakaf seluas 119 hektare milik Masjid Besar Kauman, Semarang, Jawa Tengah. Tanah wakaf ini di-ruilslag (tukar-menukar) oleh nazirnya dengan tanah, uang, dan bangunan dari pengusaha properti di sana. Ternyata, proses ruilslag itu bernuansa korupsi.

Lain lagi kisah tanah wakaf di Masjid Sunan Ampel, Surabaya. Tanah masjid ini makin lama kian menyusut karena di atasnya berdiri rumah-rumah kaum pendatang.

Nasib buruk pernah pula menimpa Pondok Pesantren An-Nahdlah di Sundiang, 16 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Para santrinya terpaksa menghentikan kegiatan belajar gara-gara wakif—pemberi tanah wakaf untuk pesantren tersebut—menggugat pemimpin pondok pesantren itu ke Pengadilan Agama Makassar. Rupanya, sang wakif ingin mencabut kembali tanah wakaf seluas 7,4 hektare itu. Padahal, menurut ajaran Islam, begitu tanah diwakafkan, hubungan hukum tanah itu dengan wakifnya putus sudah dan tanah kembali menjadi milik Allah, yang diurus oleh nazir untuk kemaslahatan umat Islam.

Di Jakarta, pada 1988, juga terjadi kasus tanah wakaf Masjid Baitul Mukhlisin di kawasan Karet, Semanggi. Sekitar 300 orang jemaah mesjid itu menggugat Gubernur Jakarta dengan tuntutan ganti rugi Rp 2,5 miliar. Gubernur dituduh mengubah status hukum tanah wakaf menjadi tanah milik negara. Tapi Gubernur menampik tuntutan itu dengan alasan tanah tersebut tak punya akta ikrar wakaf.

Kasus-kasus itu cuma sekadar contoh dari segerobak masalah tanah wakaf. Sepintas kasus itu mencuat lantaran proses wakaf hanya dilakukan berdasarkan keikhlasan wakif dan rasa saling percaya dengan nazir. Selain itu, aturan hukum tentang wakaf tanah juga baru dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.

Yang jelas, berbagai tanah wakaf ternyata tak dimanfaatkan secara optimal. Malah banyak tanah wakaf yang cuma digunakan untuk tempat pemakaman umum atau masjid. Padahal, selain untuk keperluan sosial, wakaf mestinya bisa dikelola secara produktif untuk menghasilkan keuntungan. Hasil keuntungan inilah yang kemudian digunakan untuk kegiatan di jalan Allah (fisabilillah), seperti pembuatan dan pengelolaan sekolah, masjid, rumah sakit, pesantren, panti asuhan, ataupun pendidikan yatim piatu.

Menanggapi gejala seperti itu, Tulus punya argumentasi. Katanya, wakaf tak bisa produktif lantaran nazir kurang kreatif atau tak memiliki pengetahuan untuk mendayagunakan aset wakaf. Tambahan lagi banyak tanah wakaf berlokasi di tempat yang sulit dijangkau, atau bisa juga lahannya memang kurang produktif.

Yang pasti, menurut salah seorang penggagas wakaf uang tunai, Adiwarman Azwar Karim, 39 tahun, wakaf uang tunai diharapkan bisa menjadi antitesis untuk menanggulangi ketidakefektifan pengelolaan wakaf tanah. Wakaf uang tunai bersifat fleksibel sehingga bisa lebih produktif daripada wakaf tanah.

Selain itu, wakaf uang tunai bisa lebih menyerap potensi perolehan wakaf. "Orang akan mewakafkan duitnya dari yang sekecil-kecilnya hingga yang besar," kata Adiwarman, mantan Direktur Utama Bank Mualamat. Diduga calon wakif uang tunai lebih banyak ketimbang calon pewakaf tanah.

Keyakinan Adiwarman dibuktikan oleh Dompet Dhuafa Republika sejak setahun lalu. Dana wakaf uang yang terkumpul sampai saat ini mencapai Rp 400 juta. Jumlah itu, kata Direktur Dompet Dhuafa, Ery Sudewo, menunjukkan antusiasme pewakaf uang yang menggembirakan. Dari dana sebanyak itu, sebagian besar diinvestasikan untuk kegiatan produktif berupa pemberian modal usaha kaum duafa. Sebagian lagi untuk biaya pembangunan rumah sakit gratis di Ciputat, Tangerang.

Agar wakaf uang tunai bisa efektif, Adiwarman berpendapat sebaiknya wakaf dikelola oleh lembaga semacam Dompet Dhuafa sebagai nazir. Sedangkan perbankan syariah, seperti Bank Muamalat, cukup berperan sebagai penerima dan pengurus administrasi dana. Sebab, cabang-cabang bank dimaksud yang tersebar hingga ke berbagai pelosok dapat memudahkan para wakif menyetor uang wakafnya.

Namun, Mulya Siregar dari Bank Indonesia dan Syamsul Falah, Corporate Secretary Bank Muamalat, menganggap Bank Muamalat bisa bertindak selaku nazir. Bagaimanapun, perbankan syariah sudah berpengalaman mengelola dana investasi. "Bila itu dibolehkan pemerintah, Bank Indonesia akan mendukungnya dengan regulasi," ujar Mulya Siregar.

Memang saat ini Bank Muamalat masih membatasi perannya hanya sebagai penerima dana wakaf tunai dan meng-administrasikannya. Pengelolaan dana wakaf tetap dilakukan oleh Baitul Mal Muamalat, organ sosial independen yang diawasi Bank Mualamat.

Entah bagaimana akhirnya struktur dan wewenang lembaga pengelola wakaf yang akan muncul. Sebab, Undang-Undang Wakaf belum jadi. Buat Adiwarman, bila perangkat hukum ini lahir, sebaiknya pemerintah melalui lembaga dimaksud diberi wewenang mengalihkan harta wakaf dari satu nazir ke nazir lain yang dianggap lebih kredibel. Selain itu, pemerintah diperkenankan menjual harta wakaf sepanjang hasilnya tetap di-gunakan untuk tujuan semula wakaf itu.

Jadi, bisakah terobosan wakaf uang tunai memperbaiki ekonomi umat Islam?

Agus Hidayat, Ucok Ritonga (Tempo News Room)


UNTUK menyejahterakan masyarakat dan mengurangi penderitaan si miskin, umat Islam bisa menyalurkan harta kekayaannya melalui lembaga ekonomi sebagai berikut.

Zakat: kewajiban mengeluarkan harta bagi umat Islam dan merupakan rukun Islam ketiga. Ada dua jenis zakat, yakni zakat harta (mal) dan zakat fitrah. Belakangan mengemuka zakat profesi. Zakat mal merupakan bagian dari harta kekayaan seorang muslim atau badan hukum muslim yang wajib dikeluarkan untuk golongan tertentu setelah dimiliki dalam jumlah dan jangka waktu tertentu. Adapun zakat fitrah merupakan pengeluaran yang wajib dilakukan setiap muslim pada malam dan sebelum Idul Fitri. Zakat ini jumlahnya 2,5 kilogram atau 3,5 liter beras per muslim dan dapat dibayarkan dengan uang sesuai dengan takaran.

Wakaf: berasal dari pengertian menahan suatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan umum sesuai dengan aturan Islam. Wakaf merupakan perbuatan hukum seorang muslim atau badan hukum muslim yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa benda atau uang untuk kepentingan Islam selamanya. Orang yang telah mewakafkan hartanya tak berhak lagi atas harta tersebut. Harta wakaf tak bisa lagi dialihkan kepada pihak lain, baik melalui jual-beli, waris, maupun wasiat dan hibah. Peman-faatan hasil harta untuk kepen-tingan umat diurus oleh nazir.

Infak: pengeluaran seseorang secara sukarela setiap kali ia memperoleh rezeki.

Shadaqah: pemberian barang atau jasa dari seseorang secara sukarela pada setiap kesempatan yang tak ditentukan jenis, jumlah, dan waktunya.

Hibah: pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang, tanpa mengharapkan balasan, kepada seseorang, ahli waris, ataupun sebuah lembaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus