Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO edisi 9 Mei 1987
Pemilu 1987 berakhir dan pendukung partai Islam terpukul untuk kesekian kalinya. Perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP)—satu-satunya partai berbendera hijau dalam sistem politik Orde Baru—kalah telak, bahkan di kandangnya sendiri. Di Sumatera Barat dan Aceh, partai berlambang bintang itu keok. Secara keseluruhan PPP hanya mendapat 16,01 persen suara—anjlok dari 27,78 persen pada pemilu sebelumnya.
Ada apa? Kuat dugaan, PPP remuk karena penetrasi kuat Golkar hingga ke sel-sel terkecil birokrasi. Penggebosan NU dipercaya juga menjadi salah satu faktor. Tapi sejumlah pakar memperkirakan PPP kalah karena partai Islam tak pernah memperjuangkan kebutuhan riil konstituen Islam: negara dan konstitusi Islam.
Nurcholish Madjid mengulangi lagi kredo politik yang pernah disampaikannya pada awal 1970-an: Islam Yes, Partai Islam No. Bahwa Islam bisa diwujudkan oleh partai mana pun. Bisa PPP, Golkar, atau bahkan PDI. ”Islam itu suatu nilai etik yang bisa menyebar ke mana-mana,” kata Nurcholish. ”Bahkan Golkar sudah lama menampilkan politik yang dijiwai aspirasi Islam.”
Setelah reformasi, partai Islam tak juga menang pemilu. Yang menarik, kini elite politik yang memegang bendera Islam yang berkibar. Bekas Ketua NU Abdurrahman Wahid menjadi presiden meski partainya bukan pemenang mutlak pemilu. Belakangan, Gus Dur dijatuhkan oleh ”poros Islam” yang dikomandani bekas ketua Muhammadiyah, Amien Rais.
Pekan lalu poros itu kembali digelar. Kasak-kusuk menyebut pertemuan itu untuk menggoyang Megawati. Betulkah? Wallahualam. Yang pasti, di panggung itu, Amien Rais lagi-lagi jadi bintang utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo