Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah dari Lingkaran Istana

Sebuah refleksi pribadi dari Wimar Witoelar tentang aneka kejadian seputar mantan presiden Abdurrahman Wahid semasa Wimar menjadi juru bicara presiden.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

No Regrets. Reflections of a Presidential Spokesman
Penulis :Wimar Witoelar
Penerbit :Equinox Publishing, Jakarta, 2002

Wimar Witoelar memerlukan delapan bulan untuk berkisah tentang sepuluh bulan masa hidupnya, yang terselip di antara 57 tahun rentang usianya. Masa itu (Oktober 2000-Agustus 2001) mestinya sebuah "mosaik" pribadi yang menarik—ketika ia bekerja sebagai juru bicara mantan presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid—sehingga Wimar bisa menghasilkan sebuah buku 200 halaman paperback. Judulnya, No Regrets. Reflections of a Presidential Spokesman. Ditulis dalam bahasa Inggris dengan gaya jurnalistik yang enak dibaca dan humoris, buku ini memuat berbagai pengamatan tajam dan sindiran—ciri khas Wimar selama ini.

Judul buku ini cukup tepat untuk menjelaskan bahwa Wimar sama sekali tak merasa menyesal menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid beberapa saat sebelum Abdurrahman diberhentikan oleh MPR. Sebagian pihak mungkin menganggap posisi tersebut merugikan citra Wimar, yang dikenal sebagai komentator media yang kritis.

Namun, secara meyakinkan Wimar menjelaskan bahwa dia merasa telah melakukan yang terbaik untuk membantu Abdurrahman, yang amat dia kagumi, pada saat-saat yang sulit. Buku ini adalah refleksi pribadi yang subyektif. Kejadian-kejadian yang ditampilkan Wimar seputar Presiden terbatas pada hal-hal yang dia ketahui secara langsung. Buku ini juga bukan memoar serius yang dapat dijadikan referensi atau sumber primer bagi para mahasiswa yang ingin menulis tentang kepresidenan Abdurrahman Wahid.

Presiden Abdurrahman memutuskan menunjuk juru bicara kepresidenan karena desakan dari luar, guna mengurangi pernyataan kontroversial yang sering keluar dari mulut Presiden. Sebagai orang yang berpengalaman dalam komunikasi massa, Wimar diharapkan dapat mengelola dengan baik informasi dari Istana sehingga tidak merugikan citra Presiden ataupun menimbulkan keresahan di masyarakat.

Apa yang membuat Wimar menerima tawaran itu? Kagum pada Presiden Abdurrahman dan ingin membantu Presiden, yang semakin terisolasi dalam kesulitan—itulah alasannya.

Komentator media ini juga mengakui bahwa ia bersedia menjadi juru bicara—kendati honornya hanya Rp 2 juta—karena ia merasa senang bisa masuk ke lingkaran kekuasaan dengan akses langsung kepada Presiden. Tapi dia juga memandang kehadirannya di Istana dengan cara bersahaja: sebagai "anjing peliharaan" atau "pet dog" yang dekat dengan "first family"—yang disayang tapi sama sekali tak berpengaruh.

Kesan kita dari membaca buku ini adalah bahwa semua kontroversi seputar Presiden merupakan rekayasa dari musuh-musuh politiknya. Sementara itu, Abdurrahman Wahid sendiri adalah sosok yang bersih. Wimar juga melihat Presiden sebagai pembaharu sejati yang ingin membangun demokrasi dan memberantas KKN tapi dijatuhkan oleh kekuatan status quo Orde Baru yang takut dengan berbagai gebrakan si Presiden.

Apa yang ditulis Wimar tentu sah saja. Namun, pembaca bisa bertanya apakah lingkungan Istana—di masa-masa kritis tersebut—begitu terisolasi sehingga ada pihak yang tidak mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi atas kepresidenan Abdurrahman Wahid. Kesan lain yang juga kuat dari buku ini adalah kita sama sekali tidak menemukan adanya "sense of crisis" ketika kecaman terhadap Abdurrahman datang bertubi-tubi.

Misalnya, pada hari pertama Wimar bertugas—8 Oktober 2000—100 anggota DPR menemui Presiden Abdurrahman dan kabinetnya di Istana Negara. Pada kesempatan itu, Wakil DPR dari PAN, A.M. Fatwa, melontarkan kritik tajam dan personal terhadap Presiden. Malam harinya, materi diskusi beralih ke soal otak-otak dari Banten. Wimar mengatakan bahwa Presiden lebih terganggu oleh habisnya hidangan kesukaannya itu ketimbang oleh kritik si Fatwa.

Tak mengherankan bahwa, sampai saat terakhir, baik Presiden Abdurrahman maupun Wimar tidak percaya dan tidak siap menghadapi eskalasi de-legitimasi terhadap Presiden. Menarik untuk dicatat bahwa Wimar menganggap pembubaran DPR oleh Presiden Abdurrahman sebagai tindakan yang tepat untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi. Padahal, justru tindakan inilah yang mengakhiri pemerintahan Abdurrahman. Dia dianggap secara nyata telah melanggar UUD 1945 oleh MPR dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dewi Fortuna Anwar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus