BANYAK joki ikut Sipenmaru. Mereka tak mencari menang, tapi upah. Joki? Mereka umumnya mahasiswa perguruan tinggi negeri, yang menyediakan diri dijadikan sumber sontekan bagi calon mahasiswa dalam tes Sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru). Kini, pasaran seorang joki adalah sebesar uang pangkal masuk perguruan tinggi swasta yang baik, atau sekitar Rp 1-2 juta. "Kecuali untuk kenalan, boleh, deh, kurang," ujar seorang joki. Joki (atau ada juga yang menyebutnya pilot, maskot, pemandu) bukan barang baru. Begitulah yang disinyalir Rektor Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Soedarso Djojonegoro. Dan di saat tes Sipenmaru Juni lalu, berdasarkan pelacakan wartawan TEMPO Yopie Hidayat, joki-joki bayaran itu antara lain buka praktek di Unair dan Universitas Jember. Tawa Timur. Juga di Yogyakarta, meski modusnya berbeda. Atas jasa mereka, puluhan calon mahasiswa kini bisa mengikuti kuliah di PTN, yang diperebutkan oleh begitu banyak lulusan SMTA. Tahun ini tercatat hampir 700.000 lulusan yang bersaing memperebutkan sekitar 84 ribu tempat di 43 PTN. "Dari 32 peserta yang kami pandu, 30 lulus tes," ujar Hadi (bukan nama sebenarnya), yang bertindak sebagai koordinator para joki, dengan nada bangga. Untuk memandu para peserta itu, mahasiswa Unair itu merekrut 11 orang joki. Artinya, mereka diminta ikut mendaftarkan diri sebagai peserta Sipenmaru. Mereka ditugasi memberi sontekan terhadap 21 calon mahasiswa IPS dan 11 calon mahasiswa IPA. Hadi itulah yang mengatur, bagaimana persontekan bisa dijalankan. Mula-mula, ia menghubungi beberapa peserta tes yang mempunyai nomor urut dengan si Joki atau pilot. Tak usah kelewat dibujuk rayu, sebab calon mahasiswa itu juga banyak yang kasak-kusuk mencari tahu bagaimana caranya bisa lulus tes. Klop, 'kan? Nah, karena nomornya berurutan, tentunya mereka duduk berdekatan di satu ruangan. Bila perlu, membayar Rp 10.000-Rp 20.000 per orang kepada panitia Sipenmaru, agar bisa mendapat nomor berurutan. Tinggallah mengatur bagaimana sontekan didistribusikan. Si joki akan menuliskan jawaban tes, yang berupa pilihan ganda, di pinggiran kertas soal. Jawaban itu diperlihatkan setiap 5 atau 10 menit sekali, sesuai dengan pembicaraan. Kalau tidak, jawaban itu dituliskan pada karet penghapus yang dibelah sedemikian rupa hingga mudah dipautkan kembali. Peserta tes yang melihat jawaban itu bertugas memperlihatkannya kepada peserta yang lain. 'Kan ada pengawas ? "Mereka umumnya hanya melotot pada menit-menit pertama. Lagi pula, kami latihan dulu untuk mensimulasikan berbagai teknik menyebar sontekan, tergantung situasi dan kondisi," ujar salah seorang joki. Tapi diakui, dibandingkan tahun lampau, pengawasan di Surabaya tahun ini bertambah ketat. Itu makanya, tahun ini banyak joki yang praktek di Jember yang, konon, pengawasan tes Sipenmarunya lebih longgar. Menurut Hadi, ia bukan satu-satunya yang mengkoordinasikan para joki. Ada, katanya, sedikitnya tiga kelompok lain yang melakukan hal yang sama. "Saya kenal mereka, yah, kami sama-sama tahulah," katanya tertawa. Tina (nama samaran), yang kini menjadi mahasiswa negeri di Surabaya, terus terang mengakui telah menggunakan jasa joki. Tapi dia keberatan menyebut nama jokinya, juga soal tarif. "Pokoknya, saya senang bisa menjadi mahasiswa negeri, meski di beberapa tempat saya kok merasa disindir. Terutama kalau ada yang bicara soal mahasiswa yang bisa diterima secara tidak sah," katanya. Hadi, koordinator joki itu, mengaku agak apes tahun ini. Beberapa di antara peserta yang lulus tes, katanya, ternyata mengundurkan diri karena hanya diterima di fakultas yang tidak begitu diidamkan. Lainnya lagi hanya mau membayar Rp 100 ribuan. Bagi Prof. Soedarso, Rektor Unair itu, praktek perjokian sebenarnya bukan rahasia lagi, meski sulit menemukan buktinya. "Tidak mungkin untuk mengatakan bahwa hal seperti itu tidak ada," katanya kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Pada Sipenmaru Juni lalu, katanya, ada 5 peserta di Surabaya yang ketahuan nyontek. Nama mereka langsung dicoret, hingga tak mungkin lulus tes. Sayangnya, tak bisa dipastikan, mereka itu sekadar nyontek biasa atau menyontek kepada joki. Kalau saja ketahuan, "Si mahasiswa PTN yang menjadi joki bisa dipecat." Kalaupun tidak dipecat, mereka bisa diskors selama setahun, seperti terjadi di UGM, Yogyakarta. Juni lalu ketika tes Sipenmaru, seperti diceritakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM, seorang mahasiswa UGM kepergok menjadi joki. Caranya agak berbeda dengan yang di Jawa Timur. Dia, mahasiswa fakultas eksakta, mengerjakan soal tes atas nama orang lain nama calon mahasiswa yang kebetulan familinya sendiri. Sementara itu, si calon mahasiswa mengerjakan lembaran soal yang nomor serinya untuk si joki, sebenarnya. Hal itu ketahuan, karena saat harus menandatangani formulir, rupanya, keduanya lupa membubuhkan tanda tangan palsu, tapi tanda tangan asli. "Kami terpaksa menjatuhkan skorsing sctahun bagi si mahasiswa, sedang si calon mahasiswa tak dibolehkan lagi ikut tes di hari kedua," kata Koesnadi. Tahun ini, katanya, hanya satu kasus itulah yang terjadi. Entah kalau yang lain bisa lolos. Sedangkan pada 1984, saat sistem Sipenmaru diterapkan, dipergoki 6 orang peserta. Ketika itu, mereka mengaku mendapat uang jasa sekitar Rp 250 ribu per orang. Selama masuk PTN masih harus berebutan karena tempatnya terbatas, sulit kiranya mengharap praktek perjokian -- meskipun hal itu penuh risiko -- bisa hapus. Juga risiko "kuda" mereka gagal mencapai finish gara-gara, misalnya, nomor meja tak disusun secara urut. Dan para joki itulah, rupanya, yang menyebabkan sementara bangku di PTN menjadi lowong (lihat Menyelidiki Bangku Kosong) Sementara upaya mencegah Joki, tampaknya, belum sungguh-sungguh dibicarakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini