BAGAIMANA pentingnya arti perkara Nyonya Kartika Thahir di pengadilan tinggi Singapura itu bagi Pemerintah bisa dilihat dari peristiwa yang terjadi pekan lalu. Ketika itu, Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani hadir memberi keterangan sebagai saksi pihak Pertamina. Banyak pihak terutama para pengacara menyatakan salut pada L.B. Moerdani atas kehadirannya itu. Ia memang ketua tim yang mengusut kasus "harta karun" almarhum Haji Thahir di Bank Sumitomo Singapura, sebesar US$ 78 juta, yang kini jadi rebutan antara Pertamina dan Nyonya Kartika Thahir. Karena itu, ia memang banyak tahu. Karena itu, keterangannya dibutuhkan pihak Pertamina, untuk bisa mengalahkan Nyonya Kartika di pengadilan. Tapi sudah disadari pula, agaknya adanya risiko: Menteri Hankam itu akan dipermainkan pengacara lawan, Bernard Eder, di depan sidang. Tapi rupanya jenderal purnawirawan yang bekas Panglima ABRI ini tak gentar. Ia tampaknya all out untuk mengembalikan uang komisi itu kepada Pemerintah. Di sini agaknya belum pernah seorang menteri harus memberi kesaksian di pengadilan. Apalagi ini sebuah perkara perdata yang tak punya hak memaksa orang secara hukum untuk hadir menjadi saksi di pengadilan. Ini lebih jelas kelihatan ketika Ibnu Sutowo dinyatakan tak bakal hadir ke Singapura. Hal itu sudah ditegaskan pengacara Pertamina David Hunt kepada pengadilan: Ibnu sudah mereka hubungi tapi keberatan untuk datang ke Singapura. Absennya Ibnu diduga akan merepotkan pihak Pertamina. Sebab, Kartika sudah menyatakan bahwa suaminya cuma anak buah Ibnu, yang melakukan perintah atasannya itu. Jadi, rekening suaminya yang ada di Bank Sumitomo itu diperoleh suaminya atas restu sang atasan. Dalam wawancara dengan TEMPO di Jenewa beberapa waktu yang lalu, Kartika menyebutkan komisi yang diperoleh suaminya kecil sekali dibanding dengan yang diterima Ibnu. Nyonya Kartika Thahir mengatakan, suaminya cuma kambing hitam. Di bank yang sama memang diketahui bahwa Ibnu Sutowo mempunyai rekening US$ 8 juta, yang nomornya berurutan dengan rekening almarhum Haji Thahir. Terlepas dari siapa yang akan memenangkan perkara ini kelak, apa yang terungkap dalam sidangsidang di pengadilan tinggi Singapura itu memang bukan lagi soal kecil. Wajah bangsa ini pun tercoreng, ketika di pengadilan itu dibicarakan bahwa komisi merupakan soal lumrah di sini. Dari perkara ini, luka lama pun seakan terbuka kembali: kenapa Ibnu Sutowo tak diadili? Ibnu memang dicopot dari jabatannya sebagai direktur utama Pertamina. Tapi banyak orang melihatnya, pencopotan itu lebih karena "bangkrutnya" Pertamina yang ia pimpin. Pada tahun 1975 terungkap bahwa perusahaan minyak negara itu punya utang US$ 10,5 milyar, suatu jumlah yang besarnya tak kepalang tanggung. Coba, pada tahun itu, penerimaan dalam negeri pemerintah cuma US$ 6 milyar, dan cadangan devisa US$ 400 juta. Karena Ibnu tak mungkin bisa melunasinya, terpaksa utang itu ditanggung dan diselesaikan Pemerintah. Dengan berbagai cerita menarik itu, akhirnya kami memutuskan untuk mengangkat kembali soal Pertamina versus Kartika Thahir ini sebagai Laporan Utama. Dalam nomor lalu, Nyonya Kartika menjadi fokus cerita karena kami berhasil mewawancarainya, sedangkan untuk nomor ini: Ibnu Sutowo. Bagian pertama bercerita soal ketidakhadiran Ibnu Sutowo ke Singapura. Mengapa kesaksiannya amat diperlukan Pertamina? Bagaimana perannya dalam komisi yang kini menjadi sengketa? Apa akibat ketidakhadirannya itu bagi Pertamina? Di bagian ini ada pula cerita tentang kesaksian Menteri Moerdani tadi. Lalu di bagian berikutnya, cerita tentang Ibnu Sutowo dan manajemen Pertamina dulu. Bagian ini berkisah tentang betapa berkuasanya Ibnu dulu di perusahaan itu, dan bagaimana perusahaan itu dijalankan, sampai harus menanggung utang raksasa. Ada pula kisah komisi dalam pembangunan Krakatau Steel, pabrik baja di Cilegon, Jawa Barat, yang kemudian berekor menjadi perkara. Siapa saja sebenarnya yang kecipratan komisi itu? Lantas, di bagian lain, ada cerita tentang profil Ibnu Sutowo. Apa saja kegiatannya sekarang, bagaimana bisnisnya, dan bagaimana ia dulu berperan dalam percaturan negeri ini. Sayang, Ibnu tak bersedia kami wawancarai. Amran Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini