Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memecat Anggota Tak Berkartu

GMP & AMPI protes, Slamet Effendy Yusuf tak sah duduk di DPP Golkar, karena masih anggota PPP.Ia menjadi warga bintang akibat NU berfusi ke PPP. Namun wahono tetap mempercayai tokoh pemuda Anshor itu.

7 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TONJOKAN terhadap Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar, Slamet Effendy Yusuf, masih belum berakhir. Pekan lalu, Generasi Muda Persatuan (GMP) menulis surat kepada PPP, minta Slamet dipecat dari keanggotaan partai berlambang bintang tersebut. Langkah itu diambil GMP, menurut Hussein Naro, yang menandatangani surat tersebut, karena setiap kali dia berkunjung ke daerah, selalu saja ada anggotanya mempersoalkan status keanggotaan Slamet dalam PPP. Mengapa? Slamet, tambah Hussein, yang menjabat Ketua Umum GMP itu, masih anggota PPP. Tindasan surat yang mempersoalkan Slamet itu, tertanggal 23 Desember juga dikirimkan GMP ke DPP AMPI dan Golkar. Pengiriman tembusan kepada AMPI diduga karena organisasi pemuda yang dekat dengan Golkar itu, 24 November lalu memprotes pengangkatan Slamet. Tapi protes AMPI itu tak digubris Golkar. Bahkan Ketua Umum Golkar, Wahono, mengatakan bahwa AMPI tak berhak mempersoalkan terpilihnya Slamet dalam kepengurusan Golkar, apalagi sampai mengultimatum DPP Golkar. Secara organisasi, katanya lagi, AMPI tak punya hubungan dengan Golkar. Lalu, apa pula hak GMP mempersoalkan Slamet? "Slamet itu bukan cuma kader PPP tapi pernah dicalonkan PPP dalam Pemilu 1982. Kalau dia mau masuk Golkar, mestinya pamit," kata Hussein. Ia menambahkan langkah yang dilakukan GMP terhadap Slamet, "untuk tidak memperbesar budaya kutu loncat dalam pembangunan politik nasional." Pada Pemilu 1982, Slamet, 40 tahun, lulusan IAIN Yogyakarta, memang calon PPP untuk memperebutkan kursi DPR di daerah pemilihan Yogyakarta. Tapi dia, calon urutan ke-7, tak terpilih karena PPP cuma meraih satu kursi di Yogyakarta. Sejak itu, aktivitasnya di PPP tak banyak terdengar, dan ia bahkan seperti terlupakan. Orang baru terkesima, termasuk orang PPP ketika formatir pilihan Munas Golkar di Jakarta, Oktober lalu, mendudukkan Slamet sebagai anggota pengurus pusat keluarga Beringin itu. Betulkah Slamet masih terikat dengan PPP? Slamet, yang menjabat Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor, merasa tak pernah mendaftarkan diri sebagai anggota PPP. Ia, katanya, menjadi warga Bintang secara kolektif, karena NU berfusi ke PPP. "Keanggotaan PPP itu kan stelsel aktif. Coba tanya mereka, kapan saya pernah mendaftarkan diri jadi anggota, dan nomor berapa kartu anggota saya," ujar Slamet. Maka, ketika NU menyatakan keluar dari PPP, Slamet juga merasa sudah turut keluar dari partai itu. "Keterikatan saya dengan PPP karena kebijaksanaan politik NU saja," katanya. Sekjen PPP Mardinsyah mengakui, Slamet memang tidak mendaftarkan diri sewaktu partai itu melakukan pendaftaran anggota pada 1986. Tapi ia tetap menganggap Slamet sebagai anggota, dengan dalih Muktamar PPP di Ancol, Jakarta, 1984, memutuskan bahwa anggota partai yang, berfusi masih tetap anggota PPP. Kalau keputusan Muktamar PPP diikuti, NU, lewat muktamar mereka di Situbondo pada tahun yang sama, sebenarnya telah menyatakan diri keluar dari PPP. Lalu, apa lagi hak PPP mengakui anggota NU juga sebagai anggota partai itu? Dan mengapa PPP tak mempersoalkan keanggotaan Abdurrahman Wahid, ketika Ketua Umum NU itu diangkat menjadi anggota MPR Fraksi Karya Pembangunan? Pertanyaan yang tak gampang dijawab PPP. Bagaimana kalau Slamet tak memenuhi tuntutan itu? "Kami tak akan memecat dia karena itu tidak mendidik," jawab Mardinsyah. Apakah tetap bersikeras mengatakan Slamet anggota PPP, sedangkan ia diakui tidak mendaftarkan diri pada 1986, sebagai hal mendidik? Hanya orang PPP yang tahu. Tapi heboh tuntutan pengunduran diri Slamet dari PPP sama sekali tak mempengaruhi kepercayaan Wahono kepada tokoh pemuda Anshor itu. "Slamet menganggap dirinya sudah keluar dari PPP. Saya percaya dia," katanya. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus