DESA Airnaningan bagaikan dijarah topan berlidah api. Sebagian rumah penduduk hangus, sebagian lainnya roboh. Anak-anak dan wanita menangis menjerit-jerit. "Tangisnya memilukan, tapi tak ada yang berani mencegahnya," tutur Asdi, 52 tahun, penduduk desa yang rumahnya ikut hancur terbakar. Api itu berkobar sampai jauh malam. Kebakaran itu tak cuma di situ. Hari-hari berikutnya, Desa Airbakoman dan Datar Lebuai, bertetangga dengan Desa Airnaningan -- di Kecamatan Pulau Panggung, Lampung, sekitar 250 km dari Bandar Lampung -- juga kena. Api yang bermula pada 19 November lalu itu setiap kali terulang. Sampai pekan lalu, 469 rumah hancur, dan 500 lainnya roboh. Bencana alam? Tidak. Adalah Camat Pulau Panggung sendiri, Hasdidi Thoib, bersama sekitar 70 petugas, yang datang ke desa-desa itu untuk mengosongkan daerah itu dari permukiman penduduk. Alasan: wilayah itu bagian dari hutan lindung, dan telah ditetapkan sebagai daerah tangkapan hujan untuk daerah aliran sungai (DAS) Waysekampung. Semena-mena? Selasa pekan lalu, dengan didampingi Wakil Ketua DPRD I Lampung Kol.(Inf) Soewardi, Gubernur Poedjono Pranjoto mengadakan konperensi pers. Ia menjelaskan. Ia menolak tuduhan bahwa aparatnya telah mengambil tindakan yang tak manusiawi. "Justru Pemda lebih tidak manusiawi kalau membiarkan mereka tetap berada di kawasan hutan," ujarnya. Dalam musim hujan, kata Gubernur Poedjono pula, pemukiman dalam hutan lindung itu bisa mengakibatkan banjir di hilir, atau tanah longsor, "Yang akhirnya bisa membawa korban yang lebih banyak," tambahnya. Upaya pemindahan penduduk dari sana telah dilakukan Pemda sejak beberapa tahun silam. Menurut rencana, penduduk ketiga desa itu -- jumlahnya sekitar 2.370 kepala keluarga -- akan dihijrahkan lewat transmigrasi lokal, atau diikutsertakan dalam program transmigrasi PIR-Perkebunan di Riau Daratan. Tapi hanya sebagian kecil yang mau. Sebagian besar tetap mencoba bertahan atau mengulur waktu, sembari terus mengusahakan kebun kopi ataupun cengkihnya. Akhirnya Pemda -- dengan bantuan aparat kehutanan, kejaksaan, dan polisi -- membakarnya. Bagi penghuni, seperti Asdi yang mengaku bahwa rumahnya dan isinya habis terbakar, sungguh menyakitkan. "Harta saya kini tinggal pakaian yang melekat," ujarnya. Petani kopi ini mengaku tak hendak menentang program penghutanan kembali kawasan itu. "Tapi kami minta diberi kesempatan sampai musim panen berakhir, April 1989 nanti," ujarnya. Asdi datang ke Airnaningan 13 tahun silam, ia membeli 5 hektar ladang yang kemudian ditanaminya dengan kopi. Desa itu sendiri tumbuh berkat kedatangan transmigran dari Jawa pada 1953. Belakangan, sesuai dengan rencana pengembangan wilayah baru, kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung. Mau tak mau, penduduk harus hijrah. Bahwa pihak Pemda sampai berang, memang ada ceritanya. Kabarnya, beberapa tahun lalu telah dicapai kesepakatan, dan penduduk minta tenggang waktu dua tahun untuk persiapan hijrah. Tapi hingga batas waktu itu lewat, mereka masih juga menunda. Rupanya Pemda kehabisan kesabaran. "Kami belum bisa memberikan batas waktu yang pasti. Yang jelas, cepat atau lambat daerah itu harus dikosongkan," ujar Wakil Gubernur Lampung Subekti Harun. Kepastiannya, kata Subekti, harus menunggu lampu hijau dan pembiayaan dari Departemen Transmigrasi. Memang perintah pembakaran datang dari kantor gubernur. Tapi, menurut Subekti yang boleh dibakar atau dirobohkan hanyalah rumah yang telah ditinggalkan penghuninya bertransmigrasi. Sementara itu, awal pekan lalu, Camat Hasdidi Thoib tetap menginstruksikan agar pembakaran dilanjutkan terus. Laporan Effendi Saat (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini