TAK lama setelah dilantik sebagai menteri April lalu, Soesilo Soedarman berseloroh membekali dirinya dengan sepatu lars dan bedil Winchester untuk memasuki "rimba raya" Departemen Parpostel. Ternyata, ia tak bergurau. "Senapan" Pak Menteri itu benar-benar menyalak. Senin pekan lalu, dalam jumpa pers akhir 1988, di Departemen Parpostel, Soesilo menggelar hasil "buruan"-nya selama sembilan bulan: 1.118 karyawan di lingkungan Parpostel. Tapi Soesilo tak sembarang "menembak". Dari 1.118 karyawan yang jadi sasaran, hanya enam orang -- lima dari Perum Pos dan Giro, dan satu lagi dari PT Inti direncanakannya untuk dipidanakan. Keenam karyawan itu dinilai Soesilo telah melakukan pelanggaran disiplin yang cukup berat. Di antaranya, yang disebut Soesilo, adalah pengantar surat pada Kantor Pos Palembang, yang dilaporkan telah menggerayangi amplop surat yang harus disampaikannya, dan mengambil uang yang sering dimasukkan si pengirim di dalamnya. Korban lainnya cuma diberi Soesilo "tembakan" peringatan: berupa pengenaan sanksi administratif. Mereka: 466 karyawan Perum Pos dan Giro, 464 orang dari Perumtel, 93 orang dari PT Hotel Indonesia Internasional, 10 orang dari PT Natour, 43 orang dari PT Inti, dan satu orang dari Direktorat Jenderal Postel. Kesalahan mereka yang terkena sanksi administratif, ujar Soesilo, karena bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Departemen Parpostel. "Mereka ada yang membolos kerja, dan ada pula yang melakukan penyelewengan," tambahnya. Tentang hukuman untuk mereka, kata Soesilo, pelanggar kesalahan ringan ada yang diganjar dengan peringatan lisan, dan ada pula yang tertulis. Untuk pelaku tindak pelanggaran lebih berat, hukuman bisa berupa penundaan kenaikan gaji berkala, dimutasikan, penurunan pangkat, sampai pemecatan. Di antara mereka yang terkena penurunan pangkat dan pemecatan selama 1988 yang diketahui baru 132 dan 52 orang semuanya karyawan Perum Pos dan Giro. Besarnya angka pelanggaran disiplin itu di Perum Pos dan Giro yang terungkap, menurut Direktur Utama Marsoedi, mungkin karena mereka gencar melakukan inspeksi mendadak. "Bagi kami, persoalan ngeletek prangko saja kami laporkan. Bagi yang lain, mungkin hanya batu besar saja yang disampaikan," tambahnya. Alat penjaring lain, seperti informasi yang disampaikan lewat Tromol Pos 5000, kotak pengaduan yang disediakan Wakil Presiden Sudharmono tak begitu saja dipercaya Marsoedi untuk dijadikan sebagai bahan penindak. "Pengaduan tersebut kami proses lagi," kata Marsoedi. "Takut kalau itu hanya fitnah." Perumtel juga termasuk instansi yang sibuk membersihkan diri. Bahan penindakan yang dipergunakan terhadap pelanggaran disiplin karyawan ada berupa pengaduan langsung dari masyarakat, ada lewat Tromol Pos 5000, dan ada pula melalui surat kaleng, yang disebut Direktur Utama Perumtel Cacuk Sudarijanto, love letter. Semua masukan itu, meski kadang tidak 100% benar dinilai Cacuk banyak membantunya dalam membersihkan instansi yang dibawahkannya dari pelanggar-pelanggar disiplin kerja. Cacuk menambahkan, pelanggaran terbesar di lingkungan Perumtel, 236 kasus (50%), adalah tindakan indisipliner, termasuk mangkir kerja. Peringkat berikutnya, 75 kasus, berupa penyimpangan prosedur kerja, seperti "menggorok" calon pelanggan telepon dengan pembayaran tambahan yang dimasukkan ke kantung sendiri. Lalu soal manipulasi kepegawaian dan keuangan 50 kasus, dan perbuatan asusila 39 kasus. Kemudian pelanggaran PP 10/ 83, larangan anggota Korpri beristri dua, 14 oknum. Gebrakan Soesilo tak hanya untuk pelanggar-pelanggar disiplin. Ia juga melakukannya untuk mereka yang bekerja baik -- bagi yang terakhir ini yang diberikan tentu saja bukan hukuman, tapi penghargaan. Tahun ini, 36 karyawan Parpostel dianugerahi predikat teladan, dan 55 lainnya memperoleh berbagai tanda Jasa dan Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini