Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memperjelas Jenis Kelamin

Istana akhirnya ikut menggulirkan rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Ditengarai berkepentingan memperkuat posisi eksekutif.

11 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR itu terdengar bak tepuk bersambut bagi Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Seusai rapat konsultasi dengan rombongan Dewan Perwakilan Daerah di Istana Negara pada pekan ketiga Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan rencananya membentuk komisi nasional untuk mempersiapkan amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945.

Pernyataan ini ditanggapi beragam. Sebagian anggota DPD, misalnya, menyambut gembira dan menilainya sebagai upaya konkret merealisasi amendemen. Apalagi, tahun lalu, upaya mengamendemen pasal 22-D, yang memberi DPD wewenang membuat undang-undang, kandas di tengah jalan. Namun tak kurang pula yang menganggap langkah ini kebablasan.

Sebagai pelaksana konstitusi, Presiden dinilai tak seharusnya memposisikan diri aktif terlibat mengkaji konstitusi. ”Prakarsa perubahan seharusnya tidak melalui eksekutif,” kata Slamet Effendy Yusuf, anggota Fraksi Golkar di DPR. Sejak terbentuk pada April tahun lalu, menurut Adnan Buyung Nasution, Dewan Pertimbangan diminta Presiden berkonsentrasi pada isu amendemen ini.

”Ini isu primadona kami,” kata pengacara sohor berambut perak itu kepada Tempo di kantornya, yang bersisian dengan kompleks Istana, Selasa pekan lalu. Dewan Pertimbangan, yang beranggotakan sembilan orang, lantas menggelar rapat demi rapat di kantornya, bekas Gedung Dewan Pertimbangan Agung.

Pertengahan tahun lalu, Dewan Pertimbangan menyerahkan rekomendasi tertulisnya kepada Presiden. Intinya: pembentukan komisi nasional ini mustahak adanya. Dalam rapat di kantor Presiden, Yudhoyono mengisyaratkan setuju akan rekomendasi itu. Pada akhir Agustus tahun lalu, selama dua hari Dewan Pertimbangan kembali mengkaji isu ini di Istana Tampak Siring, Bali. ”Ketika itu, Presiden kembali mengulangi isyarat yang sama,” kata Adnan Buyung.

Kabar soal ini baru bergaung kembali setelah rapat konsultasi Presiden dengan para anggota DPD itu. Untuk membentuk komisi nasional ini, kata Adnan Buyung, perlu diatur prosedur pemilihan dan persyaratan orang-orang terpilih yang layak duduk di dalamnya. ”Ada juga opsi merevitalisasi Komisi Hukum Nasional untuk menghindari pembentukan komisi baru.”

Hasil kajian komisi ini lalu akan diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai sumbangan pemikiran. ”Jadi, bukan ingin mengambil alih kewenangan MPR,” kata Adnan Buyung. Presiden sendiri tidak pernah mengarahkan seperti apa nanti hasil amendemen itu.

Selain Dewan Pertimbangan Presiden, ternyata Dewan Ketahanan Nasional juga ”ketiban pulung” menggarap proyek ini. Lembaga itu menggelar seminar tertutup dua hari di Ballroom Puri Agung, Hotel Sahid, Jakarta, pekan lalu. Pesertanya dari birokrat, militer, akademisi, pengamat, hingga politikus. Mereka mendapat jatah menginap semalam di hotel bintang lima itu.

Satu di antara temanya membahas ”Konsep Strategik Amandemen UUD 1945 Sesuai dengan Nilai-nilai Dasar Pancasila dan Amanat Pendiri Negara”. Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Muhammad Yasin enggan berkomentar banyak soal isi seminar.

Anggota staf ahli pada masa Yudhoyono menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ini mengatakan seminar itu memang menyiapkan kajian amendemen UUD 1945. Namun sifatnya untuk konsumsi ke dalam, alias diberikan kepada Yudhoyono selaku Ketua Dewan Ketahanan Nasional. ”Jadi, mohon maaf, bukannya saya tidak mau menjelaskan,” katanya ketika dihubungi lewat telepon, Rabu pekan lalu.

Menurut Nursyahbani Katjasungkana, politikus Partai Kebangkitan Bangsa yang ikut acara itu, seminar mencoba menjawab sejumlah pertanyaan mendasar terkait dengan konstitusi. Misalnya apa saja amanat pendiri bangsa yang tidak lagi tercantum dalam naskah konstitusi sekarang. Lalu apa saja butir-butir konstitusi saat ini yang berbeda dengan versi awal. ”Diskusi soal ini nanti akan menjadi naskah akademik,” katanya.

Pengamat politik yang ikut diundang, J. Kristiadi, membenarkan hal ini. Ia menambahkan, diskusi juga membahas konsep kedaulatan rakyat dan pola hubungan antarlembaga negara. Ada juga butir yang cukup menarik, yaitu cara penguatan institusi pemerintah tapi tetap demokratis. ”Ini muncul di akhir diskusi,” katanya.

Selain mereka berdua, dalam Kelompok Kerja Khusus C1 dan C2 itu ikut beberapa anggota dan mantan anggota DPR, seperti Aisyah Amini, Dimyati Hartono, Permadi, dan Ishak Latuconsina. Kelompok yang disebut ”Pokjasus” ini masing-masing beranggotakan 15 orang.

Semangat Istana mengusung ”proyek amendemen” yang sempat mati angin ini menimbulkan dugaan sebagian politikus: Presiden mencoba memperkuat posisinya dalam hubungan antarlembaga negara. Wakil Ketua DPD Laode Ida menyatakan kepada Tempo, Yudhoyono memang mengalami keresahan sejak awal menduduki jabatan presiden, khususnya ketika berhubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang terkesan dominan.

Ia mencontohkan pengangkatan duta besar dan penerimaan duta besar asing, yang memerlukan persetujuan DPR. Juga pengisian sejumlah posisi eksekutif seperti Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI. Untuk mengisi kabinet pun, Presiden menunggu anggukan politikus Senayan. Menyadari kegundahan ini, DPD kerap mengangkatnya dalam beberapa rapat konsultasi. ”Kami memunculkan, beliau merespons,” kata Laode.

Dalam rapat konsultasi kemarin, DPD juga menyerahkan draf berjudul ”Isu-isu Strategis Perubahan UUD 1945”. Isinya tidak melulu mengenai penguatan DPD, tapi juga menyangkut isu yang lebih besar, seperti penguatan sistem presidensial dan otonomi daerah.

Wakil Ketua Partai Demokrat Ahmad Mubarok menyatakan kesepakatannya. ”Sekarang presiden tidak boleh ini-itu, tapi DPR boleh melarang ini-itu,” katanya. Ini akibat konstitusi saat ini tidak jelas mengatur soal sistem pemerintahan, apakah presidensial atau parlementer. Dalam sistem presidensial, ia menambahkan, seharusnya posisi presiden itu kuat.

Menurut Adnan Buyung Nasution, penguatan posisi eksekutif ini akan terjadi dengan sendirinya jika sistem presidensial murni yang digunakan. ”Sekarang presiden terperangkap berbagi kekuasaan dengan DPR, misalnya ketika memberikan abolisi atau amnesti,” katanya. Ada opsi yang juga perlu dikaji, yaitu pembentukan posisi perdana menteri, yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. ”Namun presiden tetap diberi kewenangan luas seperti menyatakan perang atau damai.”

Kepada Tempo di ruang kerjanya, Gedung Nusantara II Lantai 9, Kompleks DPR/MPR, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid mengatakan ide mengamendemen konstitusi sebagai hal yang sah karena dimungkinkan oleh konstitusi itu sendiri. Ia juga melihat proses amendemen ini masih terkejar sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ”Dengan syarat tidak terkait hal-hal yang diatur dalam paket undang-undang politik,” katanya. ”Jika terkait, tidak mungkin karena harus merombak semua.”

Hidayat juga meminta isu penting seperti ini tidak sekadar dijadikan wacana. ”Sudah terlalu banyak wacana,” katanya. ”Apalagi jika sekadar mengalihkan perhatian masyarakat dari kenaikan harga.” Ia meminta eksekutif memberikan usul resmi yang nantinya bisa dibahas fraksi-fraksi di MPR.

Menurut Adnan Buyung, DPD sempat berharap kepada Presiden agar draf amendemen hasil komisi nasional bisa rampung dalam lima bulan. ”Sehingga bisa dibahas dalam Sidang Umum MPR pada akhir tahun ini,” katanya. Presiden sendiri, saat itu, menyatakan hasil amendemen ini diproyeksikan berlaku pada pemerintahan hasil pemilihan 2009. ”Ya, artinya rampung tahun ini,” kata Laode Ida.

Jika melihat berbagai jajak pendapat akhir-akhir ini, peluang Yudhoyono untuk kembali menduduki kursi nomor satu di Republik masih terbilang paling moncer. Lalu apakah ini yang mendorong proses amendemen? ”Bukan,” kata Ahmad Mubarok, yang kerap ikut rapat terbatas partainya dengan Presiden. Menurut dia, siapa pun yang menjadi presiden akan mengalami kesulitan jika konstitusinya seperti ini. ”Konstitusi sekarang ini tidak jelas jenis kelaminnya.”

Budi Riza, Kurniasih Budi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus