BELUM setahun menjadi menteri, Azwar Anas telah harus menghadapi SOA besar: sejumlah pelabuhan yang ternyata tak berfungsi. Belum lagi berbaga pemborosan dalam membangun pelabuhan pelabuhan itu. Ini diketahui dari temuan BPK seperti diungkapkan ketuanya, M Jusuf, kepada wartawan, setelah ia menerim. Azwar di kantornya, Jumat dua pekan lalu Azwar sudah mengatakan, semua ketidakberesan itu menjadi tanggungjawabnya. Maksudnya, dalam kapasitasnya selaku Menteri Perhubungan. Betapapun begitu, berbagai ketidakberesan itu terjadi di saat Azwar belum masuk ke Departemen Perhubungan. Tapi siapa sebetulnya yang langsung tersangkut dalam ketidakberesan itu ? Ini yang ditunggu orang. "Kita lihatlah nanti. Itu semua nanti akan diperiksa," kata Azwar. Sekjen Departemen Perhubungan Dr. Djunaedi Hadisumarto menyatakan, temuan itu memang sedang diteliti oleh Departemen Perhubungan. Hasil penelitian departemennya dan temuan BPK itu nanti akan diumumkan sebagai apa yang disebut "pemutakhiran temuan BPK". "Saya kira, sebcntar lagi BPK akan mengumumkan hasil pemutakhiran itu." kata D junaedi. Ambillah kasus pinjaman luar negeri yang kemudian tak dipergunakan itu, sebagai contoh. Betul bahwa hal itu menimbulkan kerugian. Pemerintah terkena commitment charge US$ 43.789, atau lebih kurang Rp 74 juta. Tapi menurut Djunaedi, bukan tak mungkin, tersisanya dana pinjaman itu justru dilakukan dalam upaya penghematan. Lho? "Semua proyek itu kan kami monitor setiap bulan. Jadi, tentu saja denda akibat pinjaman itu tak dicairkan sudah diperhitungkan," ujar pengajar di FE-UI itu. Ia belum menjelaskan secara detail maksud pernyataan itu, sebab semuanya sedang diteliti departemennya. Tapi, katanya, bisa saja dana itu akan digunakan dalam proyek lain yang dihitung akan lebih menguntungkan, sekalipun sudah terkena denda tadi. Memang direksi Perum Pelabuhan II yng membawahkan sejumlah pelabuhan yang jadi persoalan itu, pada tanggal 7 dan 19 Februari 1987, telah mengirimkan laporan kepada Sekjen Departemen Perhubungan dan Departemen Keuangan, tentang posisi hasil tender proyek dan posisi sisa dana pinjaman luar negeri, setelah tender dilakukan. Djunaedi tak juga merasa aneh adanya klaim dari rekanan, seperti yang disebutkan dalam laporan BPK. "Itu kan soal biasa antara bouwheer dan rekanan. Memang kalau ada klaim seperti itu kan mesti diperiksa BPK dulu," ujarnya. Begitu pula berbagai keganjilan lainnya yang ditemukan BPK. Katanya, "Kami mengikuti semua prosedur yang berlaku." Kalaupun ternyata menurut pemeriksaan nanti memang ada yang tak beres, menurut Djunaedi, sudah akan jelas siapa yang bertanggungjawab. Ia lalu menunjuk SK Menteri Perhubungan Nomor 237/1985, yang diperbaiki dengan SK Nomor 56/1988, tentang tata cara pelaksanaan Pelita di Departemen Perhubungan. Di situ jelas kalau pengawasan semua proyek pembangunan adalah tanggung jawab pimpro (pemimpin proyek) yang ditunjuk menteri. Biasanya mereka adalah para pejabat Kanwil Departemen Perhubungan di daerah. Merekalah yang sekarang diperiksa untuk memperjelas berbagai hal yang ditemukan BPK itu. Lalu sebagai pembina dan pengendali teknis agar pembangunan berJalan sesuai rencana menjadi tanggung jawab Dirjen atau pejabat setingkat. Tapi bila tingkat kemajuan proyek -- baik fisik maupun keuangan ternyata rendah, atau ada hambatan yang secara teknis sulit diatasi, penentuan revisi atau realokasi dana proyek dilakukan oleh Sckjen Departemen Perhubungan. Ketentuan inilah tampaknya yang akan dijadikan dasar untuk mencari siapa yang berperan bila ternyata temuan BPK itu kelak menjadi soal yang serius. "Kalau ternyata ada yang salah dalam soal ini, sesuai dengan janji Menteri, pasti akan diambil tindakan," ujar Djunaedi. Dirjen Perhubungan Laut J.E. Habibie, selaku pejabat yang membawahkan pelabuhan, juga menghendaki agar siapa yang bersalah dalam soal ini segera ditemukan. "Kalau lahir si anak haram, buru-burulah cari siapa bapaknya. Bukankah begitu ?" katanya sambil tertawa lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini