ORANG bisa saja melupakan beberapa nama, meskipun nama itu pernah berperan dalam sejarah. Berbicara mengenai PKI, misalnya, orang biasanya hanya hafal nama-nama Aidit, Nyoto, Lukman, dan seterusnya. Tapi siapa, terutama generasi sekarang, yang menduga bahwa Sudibyo, misalnya, tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia itu, dan bekas Menteri Penerangan, adalah "teman dekat" PKI ? Tokoh-tokoh seperti itu, di masa lalu, biasanya tak kalah "progresif revolusioner" dalam "jor-joran manipolis" dibanding tokoh-tokoh PKI. Tapi cukup sulit menuduh mereka sebagai kader PKI. Ada pula yang berhasil menjadi tokoh partai lain. Misalnya Ir. Surachman, yang berhasil melejit sebagai Sekjen DPP PNI di zaman kepemimpinan Ali Sastroamidjojo, yang kemudian disebut PNI A-Su. Orang-orang macam itu, termasuk Prof. Prijono bekas Menteri P dan K, misalnya, oleh Sejarawan Nugroho Notosusanto disebut sebagai "satelit PKI", sementara Arnold Brackman menyebutnya crypto communist. Setingkat di bawah mereka adalah orang-orang "progresif" bekas aktivis PNI A-Su atau Partindo. Menghadapi peta bumi seperti itu, bisa dimaklumi bila generasi sekarang kebingungan. Terutama bila mereka mengaitkannya dengan isu "bersih lingkungan", apalagi "bersih diri". Sebab, tidak semua orang menyimpan dokumen atau kliping koran lama sekitar tokoh-tokoh yang berada "di atas angin" di masa Orde Lama. Tapi ketika buku Siapa Menahur Angin Akan Menuai Badai tulisan Soegiarso Soerojo terbit, banyak orang kaget. Termasuk para mahasiswa Universitas 17 Agustus (Untag) Jakarta. Dalam buku yang kontroverslal itu, antara lain disebut nama Sadjarwo, S.H., kini 70 tahun, sebagai bekas pimpinan Barisan Tani Indonesia (BTI), salah satu organisasi mantel PKI. Soegiarso, bekas perwira intelijen itu, juga menyebut Sadjarwo yang kini jadi rektor Untag sejak 1986 itu sebagaifello traveller PKI. Untag selama ini dikenal sebagai perguruan tinggi yang didirikan bekas tokoh-tokoh PNI. Konon, banyak mahasiswa yang lantas bertanya-tanya, dalam hal ini kepada dosen mereka: Ruben Nalenan, 46 tahun, sarjana sejarah lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, yang pada 1964 menyusun skripsi Pemherontakan PKI di Madiun. "Ketika menyusun skripsi, saya tidak begitu memperhatikan nama Sadjarwo," katanya kepada Ardian T. G . dari TEMPO. Tapi ketika buku Soegiarso terbit, dan para mahasiswa bertanya kepadanya, ia jadi penasaran. Maka, dibukalah beberapa buku. Dalam Pejuang dan Prajurit karya Nugroho Notosusanto, disebut bahwa Sadjarwo adalah "tokoh satelit PKI". Dalam Indonesian Communism, A History, Arnold Brackman antara lain menulis: "Demikian pula, ketika petani diorganisir dalam BTI, kaum komunis secara rahasia menguasainya Sadjarwo adalah pemimpin utamanya." Dalam In the Spirit of the Red Banteng, Anthonie Dake menulis, Sadjarwo "sebagai teman paling dekat dengan PKI". Dalam otobiografi dedengkot PNI sendiri, Ali Sastroamidjojo, Tongggak-tonggak di Perjaananku, Sadjarwo disebut sebagai "simpatisan atau berbau komunis". Dalam buku kumpulan tulisan Pak Natsir 80 Tahun malah ditulis ". . . namun PKI memasukkan orang-orangnya dalam kabinet, seperti Sadjarwo, Prijono, dan A.M. Hanafi". Celakanya, D.N. Aidit sendiri, dalam Pllihan Tulisan (1959) menyebut Sadjarwo yang ketika itu mewakili BTI dan duduk sebagai salah seorang menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo 1, sebagai "seorang menteri wakil BTI yang dipimpin oleh PKI". Itulah penemuan Ruben Nalenan. Dan itu semua ia laporkan kepada Koordinator Kopertis III, dengan tembusan kepada Menteri P dan K serta Dirjen Pendidikan Tinggi. Tuduhan tentang masa lampau Sadjarwo itu belakangan juga diungkap di harian Jayakarta, 1 dan 2 Februari lalu. Dua hari kemudian, Sadjarwo, S.H., yang menilai berita itu "menjurus kepada fitnah dan pencemaran nama baik", menggunakan hak jawabnya di harian yang sama. Ia membantah semua tuduhan. Sadjarwo mengungkapkan tiga hal yang cukup kuat: Soegiarso Soerojo, dalam Siapa Menabur Angin edisi ketiga, November 1988, sudah meralat bahwa BTI pada 1948 belum berafiliasi dengan PKI, masih jadi rebutan antara PKI dan PNI. Ketika Sadjarwo mengundurkan diri dari BTI karena berpihak pada PNI pada 1956, BTI lantas jadi ormas PKI di bawah pimpinan Asmu. Pada 1958 ia terpilih sebagai ketua II Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani) di bawah naungan PNI. Dan pada periode berikutnya, ia terpilih sebagai ketua umum DPP Petani. Dalam Siapa Menabur Angin edisi ketiga juga disebut bahwa pada 1964 Menteri Pertanian Sadjarwo mengutuk "aksi sepihak" PKI sebagai anarki dan kontrarevolusi, dan sebaliknya PKI menuntut agar Sadjarwo diturunkan dari jabatan menteri. Sadjarwo sendiri, dan salah seorang anaknya yang menjadi anggota DPR-RI, enggan berkomentar, kecuali menunjuk hak jawab di Jayakarta. Sebaliknya Ruben -- katanya pernah menjadi salah seorang tokoh organisasi mahasiswa kiri di zaman Orde Lama dituduh mau mendongkel Sadjarwo sebagai Rektor Untag. Sebuah sumber TEMO juga menyebut, Ruben "memang agak kekiri-kirian". Nah, siapa yang "kiri" atau "lebih kiri?'? Entahlah. Yang jelas, Ruben sendiri masih mempertahankan pendapatnya. Ia menyodorkan fakta terinci mengenai sejarah BTI dan posisi Sadjarwo. BTI, yang berdiri 25 November 1945 di Yogyakarta dan dipimpin Sadjarwo, sudah dikuasai kaum komunis. Setelah kongres pertama di Jember pada 1947, setahun kemudian BTI bergabung dalam Front Demokrasi Rakyat/PKI yang kemudian memberontak di Madiun. "Seandainya ia menentang pemberontakan PKI, pasti ia keluar dari BTI dan masuk Petani/PNI yang berdiri pada 28 Agustus 1948. Tapi ia tetap di BTI yang pada 25 September 1953 berabung dengan Rukun Tani Indonesia, ormas tani PKI yang resmi. Dan sementara ia tetap di BTI, orang-orang nonkomunis kelompok Sutan Sjahrir dalam BTI keluar mendirikan Gerakan Tani Indonesia/PSI. Sadjarwo kemudian berturut-turut jadi Menteri Pertanian dalam Kabinet Halim (1950), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), dan Kabinet Juanda (1957-1959). Semuanya sebagai wakil BTI," tutur Ruben. Sadjarwo juga bertahan. Menurut salah seorang anaknya yang juga sarjana hukum, ayahnya akan menuntut Ruben ke pengadilan. Kapan? "Waktunya belum ditentukan." Untunglah, aparat keamanan cukup tenang menghadapi soal ini. Sadjarwo, 1 Februari lalu, melaporkan kasus ini ke Kodim 501 Jakarta Pusat. Dan 3 hari kemudian, Pasintel Kodim 501, Kapten Basiroen S., menjenguk kampus Untag. "Ternyata tidak ada keresahan di sana, kuliah berlangsung seperti biasa," katanya. "Masalahnya sudah beres. Pak Sadjarwo sendiri sudah memberikan jawabannya di koran. Jadi, sudah clear," tambahnya.Budiman S. Hartoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini