PERMUKAAN air di Waduk KeduJ ngombo meninggi. Sejak bendungan raksasa itu diresmikan Menteri PU Radinal Mochtar, 14 Januari yang lalu, air naik 25 sampai 50 senti setiap hari. Sejumlah desa yang berada di daerah rendah seperti Desa Wonoharjo sudah tenggelam. Tapi sampai Senin pekan ini, air itu seakan-akan tak menakutkan bagi 1.900 jiwa penduduk setempat. Mereka masih tetap tinggal di desa-desa yang akan ditenggelamkan air itu. Berbagai upaya sudah dicoba petugas Pemda Jawa Tengah, dibantu polisi dan militer, tapi 700-an keluarga ini masih bertahan. "Keinginan teman-teman memang seperti ini. Kami belum mau dipaksa," kata Djaswadi, pemuka masyarakat setempat. Tentu saja mereka yang bertahan itu tak punya insang. Maka, untuk menghadapi air yang naik perlahan-lahan, mereka bersiap dengan perahu maupun rakit bambu atau batang pisang. Begitu lidah air mulai menjilat dukuh, penduduk segera mengangkut pakaian, kursi, lemari, dan perkakas rumah tangga lainnya dengan perahu, mencari tempat yang lebih tinggi. Dengan gotong royong mereka membongkar rumah-rumah yang mulai direndam air, dan bahan bangunan itu mereka angkut ke tempat yang lebih tinggi. Di sinilah rumah-rumah itu kembali mereka dirikan, untuk tempat tinggal yang baru. Padahal, pertapakan rumah yang itu pun masih tetap berlokasi di daerah genangan, dan satu waktu akan dapat giliran diterkam air. "Cara ini tidak efektif. Kenapa tak pindah saja ke tempat yang bebas air yang sudah disediakan pemerintah," kata Dai Bachtiar Kapolres Boyolali, kepada penduduk Sabtu lalu. "Inilah pilihan kami yang baik di antara yang terbaik," kata Djaswadi, tokoh tadi. Kegigihan penduduk di Kedungombo itu menarik perhatian banyak pihak. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Senin pekan ini, Menteri Dalam Negeri Rudini mendapat pertanyaan tentang itu dari para anggota DPR. Menurut Menteri, berbagai pendekatan sudah dilakukan. Tapi sulitnya, kata Rudini "Ada sebagian rakyat yang sangat dipengaruhi pesan sesepuhnya bahwa daerah itu tak akan mungkin digenangi air." Itu menyebabkan mereka bertahan sampai melihat sendiri bahwa air sampai juga ke desanya. Ada pula yang percaya bahwa pada penggantian abad ini akan ada bader mangan manggar (ikan bader makan kembang kelapa). Menurut keyakinan sebagian penduduk, kemakmuran yang mereka idam-idamkan akan datang ke desa mereka. Boleh jadi, daerah itu akan makmur. Sebab, waduk itu, yang mulai dibangun 1982, meliputi 37 desa, di tiga kabupaten: Boyolali, Sragen, dan Grobogan. Sawah 60.000 ha akan diairi, dan listrik 22 megawatt akan dihasilkan. Kawasan itu kelak akan jadi danau buatan seluas 6.000 ha yang bisa dijadikan daerah wisata, selain tempat pemeliharaan ikan. Tapi itulah, pembangunan waduk berbiaya Rp 130 milyar lebih itu mengakibatkan lebih dari 5.000 kk (kepala keluarga) harus tergusur. Mereka tak bakal bisa menikmati surga bader yang dijanjikan. Pemda Jawa Tengah cuma memberikan ganti rugi Rp 290 sampai Rp 730 per meter untuk sawah dan Rp 700 untuk tanah pekarangan. Tanaman yang ada di atasnya dibayar Rp 30 sampai Rp 2.410 tiap pohon. Dan penduduk disarankan bertransmigrasi ke luar Jawa. Belakangan Pemda memberi sebuah tempat penampungan seluas 100 ha di Desa Kayen dan Jeruk, berjarak 15 km dari waduk. Di sana tiap keluarga diperbolehkan memperoleh tanah paling luas 1.000 meter persegi, dengan harga Rp 60 setiap meter. Toh Djaswadi menolak. "Di sini kami ada yang punya tanah dua hektar," katanya. Tapi yang terutama mereka persoalkan.ialah rendahnya nilai ganti rugi. Apalagi bila dibandingkan dengan harga tanah di sekitar waduk yang kini jadi Rp 8.000 per meter. Sekalipun masih banyak penduduk tetap bertahan, toh proyek ini jadi juga diresmikan. Air yang bersumber dari beberapa sungai itu, di antaranya Sungai Serang diharapkan akan memenuhi waduk pada 1992. Ketika itu muka air mencapai ketinggian puncak, dengan elevasi 95. Kini, setelah tiga minggu waduk ditutup, ketinggian ai baru mencapai elevasi 64,36. Melihat begitu perlahan naiknya permukaan air waduk, agaknya penduduk yang masih bertahan akan bisa mengungsi perlahan-lahan, seperti yang mereka lakukan sekarang. Tapi harap dicatat, tujuh tahun yang lalu Sungai Serang pernah banjir besar. Saat itu debit air melonjak jadi 1.200 meter kubik tiap detik. Bencana besar terjadi di Kabupaten Demak dan Purwodadi. Maka, Pemda juga cukup berhati-hati. "Bahaya yang mungkin menimpa rakyat itu tetap diperhatikan, sebab itu persiapan untuk penyelamatan disediakan," kata Rudini di depan DPR tadi. Maka, semacam satuan SAR disiapkan di puncak-puncak bukit, seperti di Desa Klewor dan Kemusu. Tim yang dipimpin oleh Komandan Kodim Boyolali Letkol. Drajat B.S. itu dilengkapi dengan perahuperahu karet, perahu bermesin, dan obat-obatan. Di Dukuh Ngrapah, misalnya, ada 25 KK yang sudah tergolong rawan. Rumah mereka yang berada di ketinggian memang belum terjamah air. Tapi air sudah merendam areal di sekeliling dukuh yang agak rendah. Untunlah, pekan lalu akhirnya mereka memutuskan pindah ke Desa Kayen yang disediakan Pemda. Anggota Kodim segera menyediakan dua buah truk. "Kalau ada bencana, kami menyelamatkan penduduk. Kalau ada gejolak seperti demonstrasi, kami juga akan mengamankann. Tapi tindakan diusahakan harus luwes," kata Letkol. Drajat kepada TEMPO. Mendagri Rudini malah menjanjikan, bila penduduk sudah pindah tapi ternyata tanahnya tak tergenang air, tanah itu bisa ditanami. "Tak jadi masalah kalau penduduk memanfaatkan tanah itu, asal dia jangan tinggal di situ," katanya. Sebab itu, agaknya Rudini tak bisa membenarkan aksi protes yang ramai dari mahasiswa, misalnya. "Generasi muda ini bagaimana. Penduduk di sana sudah tenang-tenang, tapi kalau dengar begini nanti terus ramai lagi." Ia menyilakan datang delegasi, "Kalau ada yang mau disampaikan, mbok datang saja pada saya." Tapi pemerintah agaknya tak akan mengubah pendirian.Amran Nasution, Diah Purnomowati, Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini