BERHASILKAH Abdurrahman Wahid mengurus NU? Pertanyaan ini belakangan sering dilontarkan menjelang berakhirnya kepengurusan NU sekarang. Sepintas, tanda tanya ini hanya menyangkut pribadi Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid. Namun, sebenarnya ini adalah bagian dari pertanyaan besar: bagaimana keadaan NU dalam lima tahun terakhir? Apa yang telah dilakukan organisasi raksasa dengan anggota sekitar 20 juta ini? Bagaimana mereka mengantisipasi masa depan? Dan peran apa yang kira-kira dapat dimainkannya? Bagi NU, kurun lima tahun terakhir memang harus digarisbawahi dengan tinta tebal. Betapa tidak. Lima tahun lalu organisasi ini menempuh langkah balik bagi arah perjalanannya. Pada 1984, pada muktamar ke-27 di Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, NU mengukuhkan sikapnya untuk "mundur dari panggung politik". Sebuah sikap yang sebenarnya telah tercetus dalam muktamar Semarang 1979. Juga telah dipertegas dalam musyawarah nasional, setahun sebelum muktamar Situbondo berlangsung. Semua pihak dalam NU agaknya setuju akan langkah bersejarah yang terkenal dengan istilah "kembali ke khittah 1926" itu. Yang masih simpang-siur hingga sekarang adalah bagaimana menjalankannya. Padahal, langkah "kembali ke khittah 1926" mempunyai konsekuensi tak sedikit. Juga, mau tidak mau, memaksa NU mengubah organisasinya. Sedangkan sekarang ini komposisi dalam tubuh NU, juga tantangan yang harus dihadapinya dalam masyarakat, sudah sangat berbeda dengan keadaan pada 1926 yang mereka rujuk. Keluar, pengaruh "kembali ke khittah" yang paling tampak adalah dalam hal politik. Tiba-tiba saja NU mundur dari kancah politik. Padahal, sudah puluhan tahun organisasi ini berkecimpung di sana. Setidaknya sejak 1952, sewaktu NU mundur dari Masyumi untuk menjadi partai sendiri. Sejak saat itu kehadiran politikus NU -- kiai maupun bukan kiai -- menjadi warna tersendiri dalam pentas politik Indonesia. Langkah politik mereka sering dicap sangat akomodatif. Walapun sesekali mereka tampil menyentak. Misalnya ketika melakukan walk-over di DPR saat menghadapi RUU Perkawinan. NU lalu meninggalkan dunia itu. NU lalu menarik para kiainya kembali mengurus pesantren. Bahkan sejumlah tokoh NU memotori "penggembosan" PPP -- partai tempat mereka semula bergabung. Banyak pengamat beranggapan, alasan penarikan diri NU dari politik adalah lantaran NU tak mendapat konsesi yang cukup dari PPP. Karena itu, seperti dikutip K.H. Ali Yafie, Rais Syuriah NU, di masyarakat berkembang pertanyaan: "Kembali ke khittah 1926 merupakan langkah pengabdian atau pelarian?" Ke dalam, putusan muktamar Situbondo membawa perubahan mendasar pada kepengurusan NU. Peran ulama yang selama ini hampir sederajat dengan politikus, ditinggikan kembali. Ini diwujudkan dengan memperkukuh kedudukan lembaga Syuriah. Muktamar Situbondo menjadikan Syuriah -- lembaga para kiai -- dapat memerahbirukan NU. Mereka, dipimpin oleh Rais Aam K.H. Ahmad Siddiq, yang menentukan arah dan gerak NU. Sedang pengurus Tanfidziyah sekarang diketuai Gus Dur -- hanya pelaksananya. Dalam istilah dosen UI Mahrus Irsam, NU menerapkan struktur manajemen "Kiai Siddiq sebagai the owner, dan Abdurrahman Wahid sebagai manajer." Pada saat awal, semua kalangan NU tampak optimistis. Mereka mengharapkan NU dapat berkonsentrasi menjadi lembaga keagamaan, mengurus pendidikan, dan membina masyarakat -- hal yang dilakukan para kiai pada awal berdirinya NU dahulu. Sedang untuk menjalani masa lima tahun jabatan, para pengurus NU menyusun program yang diharapkan mengacu pada gagasan khittah. Empat belas bidang mereka programkan: syuriah, pendidikan (ma'arif), dakwah dan penerbitan, sosial (mabarrat), perekonomian, pertanian dan nelayan, tenaga kerja, kebudayaan, kewanitaan, kepemudaan, kaderisasi, organisasi, serta pembentukan kepribadian. Dengan mundur dari kancah politik, NU seperti hendak mengejar ketertinggalannya dari organisasi Islam lain, terutama Muhammadiyah. NU kepengurusan Gus Dur mengancarkan pendirian sekolah-sekolah, bengkel rintisan, rumah sakit, poliklinik dan BKIA, koperasi, balai latihan kerja, serta darul muallafin -- lembaga yang dapat menampung kaum muallaf, kalangan yang baru masuk Islam, untuk mengarahkan akidah serta membantu "kehidupan sosial ekonomi yang mereka butuhkan". NU juga hendak menyokong program transmigrasi, "membantu meningkatkan penghasilan petani kecil", di antaranya dengan home industry, mengelola teknis pengajian secara teratur dan sistematis "melalui radio, rekaman, buku-buku, surat-surat kabar, brosur, TV, dan sebagainya". Untuk mewujudkan taawun dalam masyarakat, NU merasa perlu menata dana atau infaq secara teratur buat membantu mereka yang terkena bencana alam, kematian, musibah, dan beasiswa bagi mereka yang tak mampu. Kini masa lima tahun kepengurusan berakhir. Sudahkah arah NU sesuai dengan yang direncanakan semula? Betulkah programnya yang tampak hebat telah terlaksana? Secara organisatoris, hanya muktamar yang bisa menjawab. Namun, sejumlah tokoh NU telah mengemukakan pendapatnya. Misalnya H. Karmani, tokoh NU yang menjadi Ketua DPW-PPP Jawa Tengah. "Semua program hasil muktamar Situbondo kok belum kami rasakan manfaatnya," ujarnya terus terang. Sebagai politikus, ia mengambil contoh soal pengkaderan. Menurut Karmani, NU berencana merekrut 15 ribu kader. Namun, sampai sekarang para kader itu belum juga muncul. Tentu tak semua setuju pada anggapan itu. Tapi bahwa langkah NU masih jauh dari yang diharapkan, agaknya semua sependapat. K.H. Sahal Mahfudz dari Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, yang disebut sebagai salah satu calon Rais Aam, mengakui bahwa program NU, "hanya sebagian kecil yang berjalan." Tapi, setidaknya di Jawa Tengah, greget berbenah diri mulai terasa. Selama lima tahun, ini kata Kiai Ahmad Buchori, Ketua PW NU Jawa Tengah, di provinsi itu berdiri sekitar 500 sekolah di bawah naungan ma'arif NU. Sekitar 200 di antaranya, sekolah umum: SMP, SMEA, SMA, dan SLB. Yang lain adalah madrasah. Di Jepara dan Tegal NU berhasil mendirikan perguruan tinggi. Yang masih dalam perintisan adalah penguruan tinggi di Kebumen, Purworejo, Solo, dan Temanggung. Buchori juga membanggakan kaderisasi kiai muda. Itu, kata Buchori, dilakukan lewat Bahtsul Masail Diniah di Pondok Pesantren Al-Muayyat, Solo, dua tahun terakhir. "Sudah ada sekitar 70 kiai muda mengikuti pengkaderan itu," ujarnya. Mereka dipersiapkan menjadi ahli fiqih, ahli pikir, dan apa yang oleh Kiai Sahal disebut "ulama fasilitator." Hal lain yang disebut-sebut sebagai keberhasilan NU adalah penataan tanah di 30 ribu lokasi, berdirinya tiga balai pengobatan dan rumah bersalin, sekolah dan akademi perawat di Surabaya, serta perintisan pesantren tinggi untuk melahirkan "para ahli fiqih" di Situbondo. Yang membedakan dengan Muhammadiyah, kebanyakan lembaga itu berdiri atas nama pribadi atau pesantren setempat. Bukan atas nama -- dan memang agak di luar koordinasi -- NU. Dalam pendapat Kiai Sahal, menggunakan nama NU atau tidak bukan persoalan. "Sebab, kiai-kiai itu punya komitmen pada NU." Namun, kalau proyek yang menjadi ukuran, apalagi bila disangkut-pautkan dengan kualitas, agaknya NU memang belum mengimbangi Muhammadiyah. Dalam data tahun 1988, Muhammadiyah mengelola 6.915 lembaga pendidikan dengan kualitas -- yang oleh umum dikenal -- relatif rata dan memadai. Di antara angka itu, tersebut 63 perguruan tinggi. Muhammadiyah juga mengelola 341 badan yang mereka sebut sebagai "amal usaha bidang kesehatan", yang semua tertangani dengan baik. Beberapa di antaranya malah mengesankan elite dan menjadi favorit masyarakat. Di antara lembaga itu terdapat 11 rumah sakit umum serta 14 sekolah dan akademi perawat. Adapun "amal usaha bidang sosial" tercatat 412 buah yang meliputi panti asuhan, santunan keluarga, santunan wreda, pusat keterampilan, dan lain-lain. Berapa jumlah lembaga semacam itu yang dimiliki NU? Tak ada angka pasti. Yang ada hanya taksiran sangat kasar. Sepintas, ketertinggalan NU dari Muhammadiyah tampak pada kantor kedua organisasi itu. Di saat Pengurus Besar NU masih harus berkantor di gedungnya yang mulai tampak kumuh -- dan bertahun-tahun tak berubah wajah -- di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Muhammadiyah membangun kantor pusat senilai Rp 2 milyar di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Gedung itu 90 persen dibiayai oleh anggota Muhammadiyah. Di bidang perekonomian, Muhammadiyah telah melangkah pada perbankan, dengan mendirikan bank di Ciputat. Belum lagi aktivitas para anggotanya secara perorangan. Betulkah NU tertinggal? Rais Aam K.H. Ahmad Sidiq berkata terbuka. "Ya, memang begitu." Para kiai NU, juga H. Djarnawi Hadikusumo dari pimpinan pusat Muhammadiyah, menunjuk satu alasan sebagai penyebabnya. "Dulu, waktu Muhammadiyah masih berpolitik, sekolah tidak maju. Amal sosial juga dianggap kuno," kata Djarnawi. Ketika orang NU sibuk berpolitik, pesantren juga telantar. "Syukurlah, NU rupanya sudah menyadari dan akan memperbanyak kegiatan amal sosial," tambah Djarnawi. Tapi, yang disesali banyak orang tampaknya NU belum juga beranjak maju. Politik sudah ditinggalkan, sedang kegiatannya di bidang sosial dan keagamaan belum terlihat lebih baik dibanding ketika masih berpolitik. NU sepertinya menjadi semakin beku dan tak peduli terhadap berbagai persoalan penting, seperti RUU Pendidikan maupun RUU Peradilan Agama. Padahal, Muhammadiyah tampak sibuk melobi kiri-kanan. Tentang ini, Ali Yafie membantah. "Langkah NU sewaktu masih aktif berpolitik dan sekarang tentu berbeda pola." Memang, sejumlah tokoh NU juga mendekati -- dan didekati -- berbagai pihak menyangkut masalah tadi. Hanya saja, langkah itu terlihat lebih merupakan langkah perorangan daripada terkoordinasi oleh pengurus besar. Bahwa NU, sejak muktamar Situbondo hingga sekarang, belum berbuat banyak, memang sulit dipungkiri. Kiai Sahal mengungkapkan: program pengurus selama ini "masih dalam tahap merintis." Secara halus, Ali Yafie malah membela. Waktu lima tahun, menurut dia, masih sangat singkat untuk menilai perubahan sosial. "Ini adalah masa transisi," ujarnya. Yang terpenting apakah arah perjalanan NU sudah sesuai dengan gagasan "kembali ke khittah 1926" atau belum. Secara pribadi, ia menilai "arahnya sudah benar". Bahwa program masih jauh dari terlaksana, baginya itu bukan hal yang terlalu penting. Alasan transisi memang masuk akal. Sudah puluhan tahun berpolitik, tentu canggung bagi sebagian warga NU untuk lebih banyak mengurus pesantren. Kenyataannya, penilaian terhadap "khittah" belum sepenuhnya bulat. Mahbub Djunaidi, misalnya, masih berkeras pada gagasan "khittah plus". Sebuah konsep yang mendorong NU terang-terangan berpolitik. Tapi transisi tentu bukan alasan yang baik untuk menutupi kegagalan pengurus menjalankan program yang telah ditetapkan. Di permukaan, apa yang terjadi pada NU memang tampak jelas: Abdurrahman Wahid dinilai kurang berhasil menjalankan program yang telah disepakati. Namun, yang sesungguhnya terjadi tak sesederhana itu. Pada kepengurusan yang baru lewat, terdapat dua hal yang sama sekali bertolak belakang. Di satu sisi terdapat kepengurusan yang tak efektif, hampir tanpa kerja jelas, dan semata mempertahankan warna kulturnya. Sebuah NU yang "sangat menggantungkan diri pada kiai tradisional", tak menarik bagi kalangan muda dan intelektual, serta cenderung dipandang sebelah mata oleh Muhammadiyah. Di sisi lain -- pada saat yang sama -- terlihat langkah NU yang sangat modern, efisien, menarik hati kalangan muda, dan dapat menjadikan Muhammadiyah "tergusur". Inilah yang terlihat pada sejumlah badan otonom NU. Di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), misalnya, juga di Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK). Lembaga tersebut membuat citra baru bagi NU. Kantor mereka di Jalan Supomo, Jakarta Selatan, rapi, berkomputer, dikelola para sarjana secara full-time, serta memiliki program kerja yang jelas, padat, dan terlaksana. Uang? Bagi NU memang persoalan yang mencekik. Namun, bukan hal sulit bagi badan otonom itu. Sebagai lembaga swadaya masyarakat, mereka bekerja sama dengan yayasan asing. Misalnya dengan The Pathfinder Fund, UNFPA, FISKA, atau Asia Foundation. Dua sisi kontras inilah yang agaknya mencerminkan peta NU saat ini. Sebelah adalah NU lama yang terwakili figur Kiai As'ad. Sebelah lain NU baru, generasi Abdurrahman Wahid ke bawah. Mereka mencoba mengubah NU menjadi sebuah organisasi yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini. Bukan lagi asal kiai yang mereka patuhi. Melainkan kiai yang sungguh cendekia. Maka, apa yang oleh Ali Yafie disebut sebagai "masa transisi" mempunyai pengertian yang berkembang. Periode yang baru lewat, dan bahkan mendatang, bukan transisi dari berpolitik menjadi tak berpolitik. Melainkan lebih merupakan transisi antargenerasi. Hanya saja, dalam membawa pembaruan ini, Abdurrahman Wahid dan kalangan muda lain tak lupa pada tradisi NU: menghormati orang tua dan menghindari konflik terbuka. Maka, sejumlah program NU "digarap" di luar kepengurusan Tanfidziah. Kegiatan Lakpesdam, misalnya, tak ubahnya dengan usaha pengkaderan bagi NU. Tahun ini lajnah tersebut menyelenggarakan 15 kali latihan kepemimpinan, manajemen, motivator, keterampilan wanita, di 12 kota seluruh Indonesia, dengan peserta 511 orang. Seluruh peserta berusia muda -- tak boleh lebih dari 40 tahun. Sekitar 80 persen di antaranya sarjana. Merekalah yang dipersiapkan menjadi pemimpin masyarakat pedesaan. Betapapun, semua itu belum menjamin NU bakal lebih baik dibanding Muhammadiyah. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid, ada kelemahan Muhammadiyah selama ini. Yakni terlepas dari tradisi intelektual yang menyebabkan terjadi "pemiskinan intelektualisme beragama". Kalau diamati lebih lanjut, kebanyakan ulama Muhammadiyah adalah produk pesantren NU. Sedangkan kelemahan NU adalah dalam metodologi. NU kalah dalam pemikiran rasional dan dalam mengenali masalah aktual di masyarakat. Secara karikaturis, Nurcholish menggambarkan "NU punya gudang berisi kitab yang lengkap, tapi tak punya katalog. Jadi, bingung menggunakannya. Sedang Muhammadiyah punya katalog, tapi tak punya kitab." Zaim Uchrowi, Ahmadie Thaha, Diah Purnomowati (Jakarta), I Made Suarjana dan Aries Margono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini