HARI-HARI ini, tamu K.H. As'ad Syamsul Arifin, 92 tahun, bukan sekadar para wali dari 9.000 santrinya. Puluhan ulama sepuh berdatangan dari berbagai daerah, ke Pondok Pesantren Salafiyah, Situbondo, Jawa Timur. Umumnya mereka meminta petunjuk guna menghadapi Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta yang segera menjelang. Tampaknya, Kiai As'ad tetap menjadi rujukan orang, agar tak bimbang bersikap dalam muktamar. Misalnya, soal memilih kembali Abdurrahman Wahid -- biasa dipanggil Gus Dur -- sebagai Ketua Tanfidziah NU atau tidak. Di tengah kesibukan menerima tamu, Kiai As'ad menerima wartawan TEMPO M. Baharun tiga kali berturut-turut, selama dua pekan terakhir. Dengan suguhan kue opak dan buah-buahan, Rais Mustasyar Aam NU itu berbicara lepas dan bebas. Petikan wawancara itu: Apakah Kiai akan hadir dalam muktamar di Yogya nanti? Insya Allah, kalau badan ini sehat walafiat. Saya merasa semakin uzur, siap-siap akan mati. Saya bersyukur dikaruniai usia panjang, sehingga dapat menyampaikan titipan Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Chalil untuk kembali ke khittah asli 1926. Setua saya terkadang masih dibutuhkan umat untuk menyelesaikan masalah. Apakah berarti NU telah beres, kembali ke khittah asli? Belum. Masih banyak nahdli (pengikut NU), meskipun tak semua, yang belum menghayati makna kembali ke khittah. Ini sangat disayangkan. Yang kiai, terutama yang aktif di pesantren, sudah banyak yang paham dan mengamalkan khittah 26. Bagaimana penilaian Kiai terhadap kepengurusan PB NU periode lalu? Mengecewakan. Itu memalukan saya sebagai ahl al-halli wa al-'aqdi (ketua tim formatur) waktu itu. Saya memilih mereka dengan harapan NU semakin baik, bercermin pada para pendirinya. Tapi kenyataannya saya dibuat kecewa. Saya tak menyangka, ulama sesepuh NU diadu-domba, difitnah. Ini bukan pengamalan kembali ke khittah. Kegagalan pengurus seperti dinyatakan Kiai, apakah bukan karena faktor kesulitan berkomunikasi? Misalnya, Rais Aam Syuriah ada di Jember, dan lainnya di Jakarta? Saya kira itu bukan soal. Yang jelas, musyawarah dengan para kiai sepuh kurang. Sejak periode kepengurusan yang lalu, saya tak pernah menerima laporan selembar pun. Menurut Kiai, bagaimana pengamalan khittah itu semestinya? Perilaku para pendiri NU itulah cerminan khittah 26. Untuk Gus Dur, itu tak sulit. Yang harus ditiru adalah embah (kakek)-nya, Kiai Hasyim Asy'ari, yang berjuang untuk umat Islam. Apa langkah-langkah Gus Dur itu salah? Ente lebih tahu, bagaimana assalamu'alaikum mau diganti good morgen (diucapkan dengan mencibir). Itu prinsip, itu menyangkut akidah. Ia juga ikut menjelek-jelekkan pemerintah di luar negeri, dan hadir di (sidang raya) PGI yang tak seharusnya. Itu bukan pengamalan khittah, tapi Gus Dur sebagai pribadi. Bukan sebagai nahdli (penganut NU). Seorang bukanlah nahdli kalau mengurus kesenian, jadi bintang film, melakukan penggembosan, dan berperilaku aneh. Kalau misalnya Gus Dur minta maaf? Minta maaf saja sama warga NU. Sebab, merekalah yang punya NU. Gus Dur kini ke Mekah. Kalau, misalnya, ia minta ampun di sana? Tobat ada syaratnya. (Kiai As'ad lalu masuk ke kamar, mengambil kitab kuning Sullam al-Tawfiq. Ia membukanya, dan menudingkan telunjuknya ke bab tobat. Ia menderesnya kepada TEMPO). "Syarat tobat ialah rasa sesal yang dalam dan takkan mengulangi perbuatannya lagi." Inilah syarat tobat. Cukup berat. Apakah Gus Dur masih bisa diperbaiki? Yang bilang ente. Ini urusan NU, bukan pribadi. Menjelang muktamar, biasanya Kiai salat istikharah (mohon petunjuk). Bagaimana menjelang muktamar di Yogya yang akan datang? Ya, saya istikharah. Pilihannya, pemerintah harus jadi pengawas muktamar, agar lancar. Sudah saya sampaikan itu pada Mendagri. Kiai telah bertemu dengan Menteri Rudini. Apakah dalam pertemuan itu juga dibicarakan perihal Gus Dur? Tanya saja sama Mendagri. Saya sampaikan padanya laporan soal muktamar dan mengundangnya ke pondok. Tentu saya juga bicara soal Gus Dur. Terutama kesalahannya mengecam pemerintah lewat LSM itu. Bagaimana kalau Gus Dur naik lagi, terpilih lagi dalam muktamar? Ndak, ndak mungkin itu. Bagaimana pendapat Kiai tentang Syuriah NU saat ini? Mestinya Tanfidziyah itu pelaksana. Selama ini yang terjadi sebaliknya. Syuriah sama saja halnya. Lalu apa rencana Kiai untuk muktamar di Yogya nanti? Rencananya, saya akan mundur dari Rais Mustasyar. Saya tak mau dipilih lagi. Tugas saya selesai: mengembalikan NU ke khittah 26, sesuai dengan titipan dan pesan para pendiri NU. Kini tanggung jawab saya serahkan kepada para kiai NU di pondok-pondok, terutama yang sepuh, untuk mengurusi NU. Agar mereka menjadi tuntunan umatnya dalam mengamankan khittah asli. Adakah calon yang Kiai jagokan? Itu terserah para peserta muktamar. Menurut Kiai, betulkah pemerintah tak akan mencampuri urusan muktamar? Pemerintah kan pengawas semua ormas yang ada. Bagaimana disuruh tidak ikut campur? Itu kan sama saja disuruh tak acuh. Jadi, benarkah laporan bahwa di beberapa daerah para bupati mengarahkan pengurus cabang agar tak memilih Gus Dur? Saya tidak tahu. Kalau betul, itu bukan urusan saya. Banyak warga NU saat ini ada di Golkar. Pendapat Kiai? Sekali lagi, kembali ke khittah 26 tidak begitu. Tapi harus mengurusi umat. Dalam hal ini, NU banyak ketinggalan dibanding Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah itu bukan dua pelari yang berlomba. Keduanya umat Islam, jadi ummatan wahidat (umat yang satu). Jadi, tak ada kalah atau menang. Kalau maju, yang maju ya Islam. Begitu pula kalau mundur, yang mundur Islam. Jika ada kemunduran di NU, itu karena faktor manusianya. Bukan NU-nya. Kalau bisa orangnya yang timpang harus diluruskan. Kalau tak bisa, ya digantikan pelari lain agar bisa maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini