DARI Kuala Lumpur, Ahad 5 November lalu, Ketua Tanfidziyah NU H. Abdurrahman Wahid langsung menuju Jember, Ja-Tim. Di rumah Rais Aam K.H. Ahmad Shiddiq tengah berlangsung Ulang Tahun II Jamaah Sema'an Quran dan resepsi pernikahan cucu keponakannya. Rebana bertalu-talu. Dengan khusyuk, mengalun pula dzikr al-ghafilin (zikir para pelupa), warisan almarhum Kiai Hamid Pasuruan. Wartawan TEMPO Wahyu Muryadi menyeruak ratusan jemaah. Lalu mewawancarai Gus Dur, yang duduk lesehan di samping Kiai Ahmad Shiddiq. Berikut petikannya: Sejumlah ulama kabarnya marah pada Anda, karena berpendapat yang aneh-aneh. Tak ada (yang aneh). Kalau pun ada, ya, wajar saja. Sebab, kalau tidak, bukan organisasi namanya. Tapi sejauh saya lihat, di antara Syuriah tak ada yang berbeda pendapat. Tapi banyak yang menyayangkan Anda. Biar saja. Saya berterima kasih masih disayang. Tandanya masih dieman. Kadang yang begitu perlu. Operasi, kalau tak perlu, masak dilakukan. Jadi, NU ibarat sedang dioperasi? NU ini kayak kena kanker. Kanker kesalahpahaman yang sudah meluas. Barangkali Anda paling merasakan akibatnya. Misalnya, Anda disesalkan karena memaparkan kemiskinan umat Islam di forum PGI. Kalau mau dialog, yang jujur. Ini, lho, penyakitku. Penyakitmu mana. Kalau ada pihak tak mau mengeluarkan penyakitnya, maka yang kerdil siapa? Mustahil Ketua PB NU mau melecehkan umat Islam. Dalam dialog, seharusnya kita belajar. Dan karena kita mayoritas, maka kita beri lebih dulu, ini lho problema umat Islam. Tapi Anda sendiri punya sejumlah program menarik dari Muktamar Situbondo. Pelaksanaannya sejauh ini? Tentu masih banyak persoalan. Namanya mengurus orang banyak. Tapi tak berarti secara keseluruhan tak ada kemajuan atau hasilnya tidak baik. Apakah Anda yakin akan terpilih kembali? Kita lihat nanti. Kalau boleh, saya lebih senang kalau ndak (menjabat lagi). Saya bisa bebas. Bebas ngomong, bebas kerja. Mengikuti Jemaah Sema'an kayak begini kan enak. Enak, ndak mikir. Kalau pulang ke Jakarta, nanti pusing lagi. Apa saja soal penting yang akan dibahas Muktamar? Ada tiga. Antara lain struktur organisasi. Fungsi-fungsi jabatan kepengurusan akan dimekarkan, tidak rancu seperti sekarang. Juga tentang ukhuwah dan berbagai masalah bangsa. Dimekarkan? Bukankah jelas, pilar NU tiga: Mustasyar, Syuriah, dan Tanfidziyah? Cuma dua, Tanfidziyah dan Syuriah. Mustasyar sebenarnya penasihat. Hanya karena ketokohan mereka, otoritasnya jadi tinggi. Padahal, secara organisatoris hanya pelengkap. Karena itukah Mustasyar dikeluhkan bertindak terlalu jauh? Tidak. Dari dulu juga begitu. Sama saja. Tanfidziyah mengeluh pada Syuriah. Syuriah mengeluh pada Mustasyar. Mustasyar mengeluh pada Tanfidziyah. Mubeng wae (muter saja). Bukankah hubungan Syuriah dan Tanfidziyah sudah jelas? Ya. Syuriah pengambil keputusan. Tanfidziyah pelaksana. Dengan kata lain, Syuriah semacam komisaris di perusahaan. Sedangkan Tanfidziyah direksinya. Nah, direksi kan harus bertanggung jawab pada komisaris. Lalu kedua-duanya bertanggung jawab pada rapat anggota. Tapi kenyataannya bagaimana? Campur aduk. Ada dualisme. Syuriah rapat mengenai pelaksanaan. Lha, Tanfidziyahnya mengambil keputusan tanpa tanya ke Syuriah. Kenapa bisa terjadi begitu? Karena organisasi belum berjalan baik. Ini yang mau kita tata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini