HAMPIR semua warga NU tahu bahwa Rais Am K.H. Ahmad Siddiq, 63 tahun, menurun kesehatannya belakangan ini. Karena itu, mengejutkan bila Kamis malam pekan lalu, ia melepaskan tongkat penyangga yang selalu dipakainya, dan berjalan gagah menghadiri suatu perhelatan. Usai perhelatan, Wahyu Muryadi dari TEMPO mewawancarainya di pondoknya, Pesantren Asshidiqiyah Putra, Jember, Ja-Tim. Nukilannya: Adakah masalah paling berat yang kiai hadapi saat menjadi Rais Am? Di NU ada angkatan tua dan angkatan muda. Antara kedua dunia ini tak boleh ada gap, kesenjangan. Lalu saya ingat sabda Nabi, "Tidak termasuk orang kita, yang tak menghormati orangtua dan tidak kasih sayang pada orang muda." Ini mutiara besar, yang saya jadikan pegangan pokok. Kita harus menghormati kaum tua, yang disebut tradisional itu. Sedangkan yang muda kita beri kebebasan berkembang. Sebagai pimpinan, saya wajib menjaga keseimbangan itu. Jika kaum muda terlalu maju, orang tua marah. Bagaimana memberikan pengertian supaya jangan marah, itulah yang paling berat buat saya. Bagaimana kontrol Syuriyah terhadap kaum muda yang diwakili Gus Dur. Ada yang menilai dia suka berpendapat yang aneh-aneh? Seperti bapak mengawasi anak. Ibarat nakhoda, saya melihat cuaca. Kalau keliru, kita peringatkan. Tapi, ini tidak harus formil. Saya sering kontak dengannya, lewat surat, telepon, atau kurir. Atau dia yang kemari. Saya bisa memahami pemikiran Gus Dur. Sebagai budayawan, wawasannya luas. Saya bangga. Memang, ada ulama yang menyayangkan, Ketua Ketoprak kok mimpin NU. Saya katakan, dilihat dari sudut NU, memang, begitu. Tapi, secara nasional, ini menguntungkan. Jadi? Sebagai Rais Am, saya usulkan Gus Dur tetap dipertahankan. Meski hati ini kesal, saya bangga. Gus Dur tetap lebih banyak positifnya daripada negatif. Dia kan dalam proses mencari identitas diri. Bagaimana kalau kiai nanti dicalonkan lagi? Terserah Muktamar. Prinsipnya, saya ingin memberikan kesempatan kepada yang lebih tegar dan lebih meresapi kesinambungan ide-ide kita. Ini harus dijamin jangan bergeser di tengah jalan. Tapi, kalau alternatifnya tak ada yang lain, ya, saya bersedia. Soal teknis pekerjaan, kita atur nanti. Tampaknya, kiai punya kans kuat untuk terpilih lagi. Pengurus Wilayah Jawa Timur sudah kelihatan mendukung. Mereka memang menghendaki saya dan Abdurrahman tetap berpasangan. Tapi, fisik saya menurun terus. Kencing manis ini sudah bertahun-tahun, sampai memukul keseimbangan. Kalau berjalan, sempoyongan. Pendengaran juga berkurang. Fisik saya sangat terbatas. Tapi, secara pikiran, ide saya masih tetap wajar. Kalau harus terus, ya, apa boleh buat. Asalkan, kata saya, Tuan-Tuan tahu kelemahan saya. Kalau tak terpilih? Ya, tidak apa-apa. Saya siap, apa pun keputusan Muktamar. Saya akan tetap membantu NU, met of zonder pangkat. Cuma, saya kasihan kalau ketuanya bukan Gus Dur. Sebab, ide-idenya belum bisa terealisir. Padahal, ia cerdas, briliyan. Bagaimana dengan anggapan buhwa Syuriyah yang kiai pimpin mengalami kemandekan? Saya tidak merasakan itu. Bidang Syuriah kan mengawasi perkembangan NU. Apakah sesuai dengan AD/ART, Kepemimpinan Muhammad, dan ajaran Islam. Itu bisa diawasi secara pasif, bukan ofensif. Jadi, tak benar adanga dualisme antara Sguriah dan Tanfidziyah? Memang, ada penilaian begitu. Padahal, masing-masing ada pembidangannya. Syuriah jadi pengawas, Tanfidziyah pelaksana. Ini sesuai dengan yang terjadi di pondok. Ada kiai, dan lurah pondok. Kalau kiai tidak setuju pada lurahnya, ya, tidak jadi. NU itu kan merupakan penghubung pesantren. Pesantren besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini