UPACARA serah terima itu berjalan singkat dan sederhana, cuma satu menit. Pimpinan Proyek Javanologi yang lama Dr. Darusuprapto menyerahkan jabatan kepada penggantinya Dr. Sudarsono. Setelah itu, atas permintaan sendiri, ketua Pelaksana Proyek Dr. Suroso menyatakan pengunduran dirinya. Agaknya, dengan upacara pada 28 Januari yang dilangsungkan di kantor proyek itu di Yogyakarta, berakhirlah debat berkepanjangan mengenai proyek yang dihebohkan. Pergantian itu dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri P & K Nugroho Notosusanto tertanggal 13 Desember 1983. Pad hari yang sama, keluar Instruksi Menteri P & K yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Soetanto Wirjoprasonto. Isinya, selair menciutkan kegiatan proyek Javanologi, juga memindahkan semua perlengkapan proyek, termasuk arsip dan kendaraan, ke gedung Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Disebutkan juga kegiatan proyek akan disinkronkan dengan kegiatan museum tersebut di atas. Tanda-tanda bahwa Nugroho akan "memangkas" Proyek Javanologi sebetulnya sudah lama terlihat. Beberapa bulan setelah ia diangkat sebagai menteri, Nugroho pernah mengecam proyek ini, yang dianggapnya "bisa membahayakan persatuan bangsa." Di depan Komisi IX DPR, Juli 1983, Nugroho juga menegaskan "Proyek Javanologi tidak boleh berdiri sendiri, tapi akan dilengkapi dengan studi budaya laim dari seluruh suku bangsa, sehingga terangkum dalam Proyek Indonesianologi" Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Jawa, yang kemudian lebih beken dengan nama Javanologi dibentuk pada Juni 1982 oleh Menteri Daoed Joesoef, dan berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaar (BP3K) yang waktu itu dipimpim Suroso. Idenya, menurut Suroso, datang dari Daoed Joesoef. "Sebagai menteri, beliau terlebih dahulu berkonsultasi dengan Presiden, dan Pak Harto merestui," ujar Suroso. Daoed Joesoef membenarkan. "Jelas, sebagai menteri, tentu saya tak berani melakukan sesuatu tanpa izin Presiden," ujarnya dalam suatu wawancara pekan lalu. Tujuan membentuk proyek Javanologi: guna mencari nilai-nilai yang tercantum dalam GBHN, terutama budi pekerti, kepribadian, dan kebangsaan. "Itulah maksud Javanologi. Karena maksudnya mencari konsep dengan menggali yang ada, tak pernah saya berkeinginan sampai pada Javanologi saja. Dalam pidato peresmian, dua tahun lalu, telah saya katakan bahwa proyek Javanologi akan diteruskan dengan proyek lain: Batakologi, Sundanologi, dan sebagainya," katanya. Dipilihnya Jawa lebih dulu, kata Daoed Joesoef yang berasal dari Aceh, karena kebudayaan Jawa sudah banyak dipelajari dan banyak ahlinya. "Dl sampimg itu, dalam banyak hal, lebih maju. Sayang, kalau hilang," katanya. Tapi rupanya penggantinya, Nugroho, berpendapat lain. "Sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan yang orang Jawa, tentu saja saya merasa rikuh (sungkan). Kok saya hanya menonjolkan suku saya sendiri. Apa kata orang nanti," kata Nugroho pekan lalu. Pada TEMPO NUgroho menjelaskan lebih lanjut, "Kalau Javanologi saja agak aneh. Tapi kalau juga ada Sundanologi, Baliologi, itu normal," katanya. Dari kumpulan studi itu, tujuan kemudian diarahkan ke Indonesianologi. Bila benar begitu, sebetulnya tidak ada perbedaan pokok antara Daoed Joesoef dan Nugroho. Keduanya menginginkan studi tentang kebudayaan berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Penelitian seperti itu sebetulnya sudah dilakukan LIPI (lihat box). Di Yogyakarta, keputusan Nugroho, yang baru terungkap sebulan setelah dikeluarkan, memang sempat menimbulkan keributan. Suroso sendiri menilai, pergantian pimpinan proyek yang berlangsung sebelum tahun anggaran berakhir "pasti ada yang luar biasa". Dua dari 12 staf ahli Proyek Javanologi, Soedarisman Poerwokoesoemo dan Karkono Partokusumo juga merasakan keganjilan keputusan Nugroho. Karkono menilai, dimasukkannya Javanologi ke Museum Sono Budoyo akan membuat gerak Javanologi sempit. "Dari segi pembiayaan, proyek ini tidak boros," ujarnya. Sebagai contoh ia menunjukkan: penceramah cuma dibayar Rp 30.000 dengan hak penerbitan berada di tangan proyek. Selama satu setengah tahun, Proyek Javanologi telah membukukan sebagian ceramah yang telah berlangsung dua puluh kali lebih. Selain itu, telah diinventarisasikan naskah dan kebudayaan Jawa kuno. Selama itu, prbyek ini juga sering dikecam. Antara lain karena kegiatannya dianggap mengarah ke kebatinan lantaran acaranya - misalnya macapat - diselenggarakan tiap malam Selasa Kliwon. "Itu tidak betul," bantah Suroso. "Lihat saja publikasi kami. Apa di situ ada unsur klenik. Itu semua ilmiah. Namanya saja Javanologi. Artinya logos atau ilmu tentang kebudayaan Jawa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini