SEORANG mahasiswi ITB pekan lalu melayangkan surat protes setelah membaca iklan TEMPO yang mencari 10 calon reporter pria: "TEMPO tidak memberi kesempatan sama kepada wanita - diskriminasi." TEMPO anti semangat Kartini? Nanti dulu. Sejak awal terbitnya, 1971, cuma ada dua wartawan wanita yang mau bergabung denan TEMPO: Toeti Kakiailatu dan Isma Sawitri. Baru di tahun 1981 ketika majalah ini mencari 10 calon reporter, ternyata banyak juga wanita yang melamar. Empat di antaranya lulus tes. Dua tahun kemudian, masuk puia tiga wanita di antara 12 calon reporter. Pertimbangan ketika itu bukan didasarkan pada faktor perimbangan jenis, tapi melulu pada kemampuan untuk lulus seleksi. Baru belakangan ini, setelah TEMPO memasuki lima tahunnya yang kedua, soal perimbanan itu terasa tak terelakkan juga. Badan Pengembangan Manajemen PT Grafiti Pers, yang antara lain bertugas merencanakan penerimaan karyawan, mengalami kesulitan untuk menentukan perencanaan ketenagaan lima tahun mendatang. Salah satu sebabnya: keterbatasan untuk memutasikan dan menuntut wartawati TEMPO bekerja seperti rekan prianya. Setiap wartawan TEMPO, sesuai dengan perencanaan ketenagaan, - dan juga jenjang karier - diharuskan, antara lain, bertugas sebagai koresponden di daerah dan, sekali waktu, siap untuk menjadi kepala biro. Bagi wartawan wamita, apalagi yang sudah menikah, mutasi seperti itu - dalam kondisi Indonesia - tidak mudah. Dia misalnya tentu tak bisa meminta suaminya ikut menyertainya .... Beban yang lebih "biasa" juga cukup merepotkan seorang wartawati. Semua wartawan TEMPO secara periodik wajib untuk piket dari malam sampai pagi, di hari-hari deadllne majalah. Orang memang masih sering menghubungkan profesi kewartawanan dengan suatu kehidupan yang penuh glamour: mudah bertemu orang penting, bintang film, dikirim ke luar negeri, dan bertugas menyelidik di lapangan, bagaikan detektif partikelir. Tapi, di sisi lain, kehidupan wartawan sesungguhnya adalah suatu kehidupan yang rutin, yang prosais, yang harus mengejar-ngejar sumber untuk memperoleh sepotong berita, dan bisa dihinggapi frustrasi kalau berlta yang dibawa pulang itu ternyata hanya "sampah." Banyak pula di antara wartawan yang terpaksa menulis sampai subuh, di hari-hari "gawat" seperti sering dilakukan isma Sawitri, ibu tiga anak. Untung, ibu ini dapat pengertian dari suami. "Apa boleh buat, profesi kita di TEMPO memang mengharuskan saya bekerja demikian," kata Isma. Mungkinkah sikap seperti itu bisa merata ke tiap wartawan wanita? Kemantapan pada profesi itu, yang pasti, masih harus dipupuk. Kami sungguh merasa kehilangan bila, misalnya, seorang wartawati yang berbakat dan baru bekerja dua tahun tiba-tiba harus mengucapkan selamat tinggal, karena menikah. Tapi itu tak berarti kami menutup pintu bagi wanita. Tahun depan, menurut rencana, TEMPO akan memasukkan lagi calon reporter wanita. Mudah-mudahan masih banyak yang ingin bergabung dengan kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini