Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Berharap Garam Selalu Asin

Kemarau panjang tidak otomatis membuat petani garam senang. Impor jadi kambing hitam.

22 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panas adalah berkah bagi petani garam. Semakin lama panas menyengat, semakin melimpah produksi garam. Ketika kemarau mencapai puncaknya pada Agustus-September lalu, rata-rata produksi garam di Pamekasan bahkan bisa mencapai 70 ton per hektare. Musim kemarau tahun ini pun sedang bagus-bagusnya.

Tapi banyak garam belum tentu banyak uang. Inilah yang justru dialami banyak petani garam di Madura. Saat panen melimpah, harga garam justru anjlok ke titik terendah. Pada 2011, kualitas garam nomor satu (KW1) dihargai Rp 750 per kilogram. Saat ini hanya Rp 490. Adapun garam KW2, yang biasanya Rp 550 per kilogram, kini hanya Rp 360. Padahal, dari penggarapan hingga panen, rata-rata biaya produksi garam KW2 Rp 305 per kilogram. ”Ada untungnya, tapi kecil sekali,” kata Samsul Huda, 35 tahun, petani garam asal Pademawu, Pamekasan, Selasa pekan lalu.

Petani garam menuding tidak terkendalinya impor sebagai penyebab anjloknya harga garam rakyat. Yang diawasi pemerintah selama ini hanya produsen garam impor. Sedangkan importir terbatas justru leluasa mendatangkan garam dari India dan Australia.

Pemerintah memang sudah mengatur larangan impor garam. Mengikuti siklus ”tanam”, mulai 30 Juli, atau sebulan sebelum panen raya September-November, impor ditutup. Setelah itu, keran impor dibuka lagi. Tapi, yang terjadi, importir sudah memesan sejak Juni, sedangkan barangnya baru dikirim saat panen. ”Ini tidak dilarang dengan alasan pesannya sudah sejak Juni. Maka banjirlah garam impor,” kata Yoyok R. Efendi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia. Pabrikan lantas tak mau beli banyak dengan dalih stok melimpah. Akibatnya, harga garam rakyat pun terjun bebas.

Gonjang-ganjing harga paling dirasakan oleh sentra garam nasional, Jawa Timur. Menurut Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam Jawa Timur M. Hasan, Jawa Timur penyumbang 60 persen dari 1,1 juta ton garam konsumsi nasional. Terbanyak di Madura, mencapai 400 ribu ton. Di sini jumlah petani garam 35 ribu. Di Kabupaten Sampang total lahan 4.200 hektare, Sumenep 2.200, dan Pamekasan 1.200 hektare.

Namun anggota Presidium Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia, Faisol Baidowi, melihat rontoknya harga garam tidak melulu karena impor. Menurut dia, disparitas harga garam impor dengan garam lokal sudah cukup tinggi. Di pasar, harga garam impor Rp 900 per kilogram atau Rp 200-300 lebih mahal daripada garam lokal. Tapi dia mengatakan fenomena harga tahun ini membuatnya bingung. Setahun lalu, ketika harga garam impor di kisaran Rp 650 per kilogram, harga garam lokal menguat hingga Rp 500. Kini, saat harga garam impor Rp 900 per kilogram, harga garam lokal malah nyungsep ke Rp 460. Apa yang salah?

Faisol menduga rontoknya harga garam disebabkan adanya perang harga di antara perusahaan garam besar di wilayah Sumatera, yakni PT Garam, PT Budiono, dan PT Garindo. Perang harga tidak sehat untuk mendapatkan konsumen membuat harga garam di Sumatera hanya di kisaran Rp 840 per kilogram. Jika harga garam di Sumatera hanya Rp 840, jangan heran bila harga garam di Madura ada yang anjlok di bawah Rp 400. Harga itu jauh dari ketetapan pemerintah, Rp 750 per kilogram. Harga tinggi di Sumatera karena masih dipotong biaya kirim (Rp 300 per kilogram), biaya pengepakan (Rp 50 per kilogram), dan biaya cuci garam (Rp 200 per kilogram). ”Harga garam di Sumatera sangat berpengaruh terhadap harga garam nasional karena 30 persen produksi garam terserap di Sumatera,” kata Faisol.

Pemerintah didesak menekan para pengusaha garam agar bersaing secara sehat. Intervensi ini harus diikuti dengan pengaturan harga eceran terendah, bukan tertinggi. Menurut Faisol, jika ingin ketetapan harga garam Rp 750 bisa berjalan dengan benar, harga eceran terendah di Sumatera seharusnya Rp 1.200-1.500 per kilogram. ”Tapi saya tidak melihat upaya pemerintah untuk menstabilkan harga garam,” katanya.

Direktur Utama PT Garam Yulian Lintang mengatakan harga garam rakyat pada musim ini di bawah ketentuan pemerintah. PT Garam sendiri membeli garam rakyat kualitas terbaik dengan harga Rp 675 per kilogram. Padahal pemerintah menetapkan harga Rp 750 per kilogram.

Ia berdalih turunnya harga petani karena mengikuti hukum pasar. Saat pasokan melimpah, harga penawaran pasti turun. Karena itu, Yulian ikut-ikutan mendesak pemerintah mulai menutup keran impor garam konsumsi mulai tahun depan. ”Kalau impor ditutup, pasti garam rakyat akan terserap seluruhnya, dan harga jadi tinggi. Kami juga senang dan akan meningkatkan produksi,” katanya di kantornya, Kamis pekan lalu.

Meski begitu, menurut dia, selama ini produksi garam nasional memang tidak pernah mencukupi untuk kebutuhan sendiri. Keperluan garam Indonesia mencapai 3,4 juta ton per tahun. Sebanyak 1,4 juta ton garam untuk konsumsi dan 2 juta ton garam industri. Sedangkan produksinya baru 1,2 juta ton garam konsumsi.

Menurut dia, garis pantai di Indonesia memang terpanjang di dunia, tapi tak semua cocok untuk tambak garam. Ada beberapa syarat pembuatan garam, antara lain kadar garam air laut, tidak boleh ada muara sungai besar, minimal tiga setengah bulan tidak ada gangguan hujan, dan struktur tanah tidak poros atau menyerupai tanah liat. Kontur tanahnya juga harus landai.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo meminta importir produsen garam menepati target penyerapan garam rakyat sebesar 965 ribu ton tahun ini. Importir juga diminta menahan stok garamnya di gudang. ”Bila produksi garam rakyat terserap seluruhnya, harga garam akan tetap stabil mengikuti harga patokan pemerintah,” kata Sharif di Jakarta, dua pekan lalu.

Untuk melindungi petani, kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, kini sedang disiapkan regulasi agar komoditas garam bisa masuk sistem resi gudang. Dengan begitu, petani garam tak perlu buru-buru menjual garamnya sehabis panen. Mereka dapat ”menitipkan” garamnya ke resi gudang ini dengan harga yang disepakati.

”Kami siap ditunjuk menjadi pelaksana resi gudang itu,” kata Yulian. Ia mengatakan telah menyiapkan gudang berstandar nasional. Begitu garam masuk gudang, petani menerima pinjaman dari bank senilai 70 persen harga garamnya, dengan bunga 0,5 persen per bulan. Setelah garam terjual, sisanya dilunasi produsen beserta pembagian keuntungannya.

Agus Supriyanto, Musthofa Bisri,Dewi Suci Rahayu, Rosalina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus