TRAGEDI ini berawal pada 17 Juli lalu. Waktu itu, Lusiem, 35 tahun, menceritakan bahwa ia telah memberi klerat butiran beras yang digunakan untuk racun tikus -- pada ayamnya dan ternyata tidak mati. "Kupikir, tidak apa-apa dimakan, asal direndam dulu," kata warga transmigran di Desa Mekar Jaya, Tamhusai, Kabupaten Kampar, Riau, itu kepada 3 ibu tetangganya yang sama-sama berasal dari Wonosari, Yogyakarta. Tiga hari kemudian Lusiem, yang punya 5 anak itu, malah bercerita, klerat itu seenak beras juga. Tapi sebelum dimasak harus direndam dulu dengan air panas dan dingin selama 2 hari hingga warnanya tak lagi biru. Kabar gembira itulah yang menyebar ke semua transmigran di sana. Karena kelaparan, mereka pun ramairamai memakan racun tadi. Maklum, setiap keluarga memang punya 2 kg klerat RM-B produksi PT ICI Pestisida Indonesia, yang dibagikan pada 1984 lalu. Mereka tak peduli, walaupun pada kaleng racun itu ada peringatan berbahaya, yang ditandai dengan cap tengkorak manusia. Betul saja, 11 hari kemudian 23 pemukim transmigrasi itu jatuh sakit. Gejalanya gawat. Punggung terasa nyeri, perut mual, suka linglung, dan pendarahan pun terjadi pada mata, hidung, telinga serta mulut. Kotoran dan kencing bahkan ikut berdarah berbelas hari. Kepala Desa Mekar Jaya, Achmir Saefuddin, 52 tahun, pun memboyong warganya kepuskesmas Dalu-dalu, sejauh 22 km. Tapi petugas di sini kewalahan, hingga mereka dilarikan ke RS Bangkinang, yang berjarak 170 km. Tapi Suminah, 6 tahun, meninggal di perjalanan. Belakangan di RS itu 2 orang menyusul tewas. Korban jatuh lagi ketika 3 penderita dibawa ke RSUP Pakanbaru. Kali ini si bocah kecil, Marni, 4 tahun. Melihat gelagat buruk itu, Kakanwil Transmigrasi Riau, Letkol. Sujoto, memerintahkan agar membawa semua penderita ke Pakanbaru pada 12 Agustus lalu. Setelah diobati, hingga 28 Agustus di RSU itu cuma tinggal Lusiem dan 2 bocahnya yang masih harus dirawat. Selebihnya diasramakan di Transito Riau, Pakanbaru, milik Departemen Transmigrasi. "Agar mereka bisa diawasi makan obat secara benar," kata Sujoto kepada TEMPO. Adalah sumber kehidupan yang gawat melatarbelakangi kisah ini. Tak kurang dari 337 kepala keluarga (KK) sejumlah 1.393 jiwa menghuni lokasi itu sejak 1982. Setiap KK beroleh rumah dilengkapi pekarangan 0,25 hektar dan lahan pertanian 1,75 hektar, meski tanahnya tak subur. Menurut Meizar Syafei penyuluh pertanian lapangan (PPL) di situ, lahan yang disediakan 50% adalah tanah putih berpasir. Rata-rata keasamannya (PH) cuma 4-5. "Bayangkan, apa yang bisa tumbuh," katanya. Tak heran, pemukim malas mengolahnya hingga hutan lalang pun menghijau. Namun, mereka belum keberatan. Maklum, masih disubsidi bulanan dengan beras 17,5 kg serta bahan pokok lainnya selama 1,5 tahun. Setelah subsidi itu disetop, hidup mereka pun terancam. Bisa diduga jika 70% kepala keluarganya mencari pekerjaan ke tempat lain. Misalnya jadi buruh di Pakanbaru. Ada memang, bantuan World Food Program (WFP) berupa beras, sarden, minyak goreng, dan minyak lampu. Tapi, menurut Achmir, bantuan itu tak bisa menolong karena datangnya tak keruan. Nah, karena kelaparan menghantui, mereka pun nekat memakan racun itu. Itulah mengapa Sujoto pun menyalahkan para transmigran. "Mereka 'kan orang Jawa, suka nyoba-nyoba makan," katanya. "Padahal, kami sudah ngasih penyuluhan, mereka nyoba-nyoba juga," tambahnya. Begitupun, pihaknya serius menanggulangi korban. Wartawan TEMPO Mukhlizardy Mukhtar yang mendatangi korban, menyaksikan mereka bermalasan di Transito Riau itu. Tapi mereka diawasi ketat dan tak boleh bicara dengan orang luar. Kenapa? Bersihar Lubis & Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini