RABU 10 Agustus, sekitar pukul 11.00. Delapan turis bertolak dari Labuhan, kota kecil di ujung barat Jawa. Mereka -- Camblin dan Hensel, Troy Alotis, Chad Hunt Beatty, Kenneth Benton, John Robert (semua dari Amerika), serta Ian Chapman dan Brett Beeley dari Australia -- menyewa perahu KM Tirta Kencana. Perahu itu panjangnya 12 meter. Mereka ingin berselancar di pantai Pulau Panaitan, yang katanya berombak bagus. Bersama mereka ikut pula tiga awak perahu dan seorang Indonesia lain. Sabtu 13 Agustus, tiba-tiba mesin ngadat. Menurut sebuah sumber, ini kematian mesin kedua. Dua hari sebelumnya mesin pun mati, bisa diperbaiki, dan KM Tirta Kencana melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini utak-atik awak kapal sia-sia saja. Sedang radio buat komunikasi dengan darat atau kapal lain tak ada. Tak banyak pilihan yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah memanfaatkan papan selancar, untuk meniti buih menuju pantai. Dan itulah yang dengan berani dilakukan Camblin dan Hensel. Ternyata berhasil. Dua hari mereka berselancar dan berenang. Akhirnya mendarat dan menghubungi pos jaga Taman Nasional Ujungkulon. Petugas setempat membantu mereka. Perahu disiapkan, dan bersama dua orang itu petugas melaut menuju lokasi terkatung-katungnya KM Tirta Kencana. Namun, di lokasi yang ditunjuk dua turis itu, tak tampak lagi sosok Tirta Kencana. Jumat 16 Agustus, berita hilangnya turis itu sampai ke Jakarta. Kedutaan Besar Amerika Serikat mulai sibuk. Di antaranya menelepon keluarga korban di Amerika. "Ketika itu saya sedang berada di kantor," kata Barbara, ibu Troy Alotis. Dia segera mempersiapkan segalanya, lalu berangkat ke Jakarta. Tim SAR juga mulai bergerak, dengan komandan lapangan Mayor Sunadi. Menurut Komandan Basarnas (Badan SAR Nasional) Marsekal Muda Hashari Hasanuddin pihaknya mengerahkan 5 helikopter, 1 pesawat F-27, dan 4 kapal menuju Selat Sunda. Namun, perahu itu belum juga ketemu. Amerika lalu mendatangkan pesawat patroli berjelajah jauh, yang berpangkalan di Pulau Garcia, Laut India, ke Jakarta. Suasana dalam perahu mencekam. Setelah kedua rekannya lenyap di balik cakrawala orang-orang dalam Tirta Kencana tak tahu lagi apa yang bakal terjadi. "Mereka tak melihat adanya pesawat atau helikopter yang akan menolong," kata Barbara, mengisahkan kembali cerita anaknya. Sedang arus laut membawa perahu itu, menjauhi Pulau Panaitan, sampai sekitar 200 km ke barat. Makanan memang bukan persoalan bagi mereka. Seperti yang dituturkan Paul Hamilton, salah seorang keluarga korban, persediaan air tawar, beras, mi, cukup untuk beberapa hari. Apalagi ditambah adanya sejumlah ikan yang melayang dan tersangkut dalam perahu. Hanya bila malam tiba, rasa mencekam menyergap mereka. Semua gelap, sepi, dan perahu berputar-putar dipuntir oleh gelombang dan arus. "Mereka berdoa siang malam agar tidak karam dan bertahan hidup," kata Barbara. "Dan yang terberat adalah bertahan supaya tidak panik dan frustrasi." Badai pun mengaduk-aduk perut. Tapi setelah itu, setelah mereka mencoba memperbaiki lagi, mesin pun hidup. Mereka sempat bertengkar ke mana perahu hendak diarahkan: kembali ke timur atau ke timur laut menuju pantai Sumatera, yang mungkin lebih dekat. Perahu pun dijalankan menuju Sumatera. Selasa 23 Agustus. Mereka merapat di Teluk Sinin, Lampun. Semua selamat. Kamis pekan laiu, keluarga korban dan Kedutaan Besar Amerika Serikat memestakannya. Zaim Uchrowi & Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini