Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Murtad Setelah Berjilbab

Pemaksaan jilbab muncul di berbagai sekolah. Akibat penerapan peraturan daerah dan ketentuan sekolah yang tak menghargai kebebasan berkeyakinan.

27 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSELANG tiga pekan, kasus pemaksaan jilbab di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dibahas oleh pemerintah pusat. Menggelar rapat virtual pada Kamis, 18 Agustus lalu, Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional mengundang pejabat Kementerian Agama; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; serta Kementerian Dalam Negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami menyikapi kasus pemaksaan jilbab yang begitu marak, khususnya di Yogyakarta,” kata anggota Tim Independen, Soni Sumarsono, saat dihubungi, Kamis, 25 Agustus lalu. Bekerja di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tim Independen menulis rekomendasi kebijakan untuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siswi di SMA Negeri 1 Banguntapan dituntut mengenakan jilbab oleh wali kelas dan dua guru bimbingan konseling pada akhir Juli lalu. Akibatnya, murid tersebut mengalami depresi. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjatuhkan hukuman disiplin ringan kepada kepala sekolah dan tiga guru berupa teguran lisan dan tertulis.

Menurut Soni, Tim Independen mempersoalkan pemaksaan jilbab di sekolah. Para peserta rapat sempat membicarakan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014 tentang seragam sekolah yang membebaskan murid memilih model pakaian sesuai dengan agamanya. Mereka bersepakat, institusi pendidikan harus mematuhi regulasi itu dan tak memaksakan murid mengenakan jilbab.

Rapat itu merumuskan sejumlah rekomendasi. Kementerian Pendidikan akan mengontrol penerapan peraturan seragam di sekolah dan Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi serta merevisi peraturan daerah yang diskriminatif. “Kami memaksa kepala daerah menaati aturan agar tak terjadi diskriminasi,” ujar mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu.

Siswi SMA Negeri 1 Banguntapan beristirahat sepulang sekolah, di Bantul, Yogyakarta, 31 Juli 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Pemerintah pernah mengeluarkan keputusan bersama tiga menteri tentang penggunaan seragam sekolah. Keputusan tersebut diteken Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 3 Februari 2021. Isinya, mengizinkan siswa memilih seragam sekolah sesuai dengan keyakinannya.

Ketentuan itu digugat Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) ke Mahkamah Agung. Pada Mei 2021, Mahkamah mengabulkan permohonan LKAAM dengan membatalkan keputusan bersama tiga menteri karena dinilai bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, turut hadir dalam forum yang diselenggarakan Tim Independen. Ia diundang karena lembaganya pernah meneliti kasus pemaksaan jilbab yang dialami sejumlah pelajar di berbagai daerah. Andreas dan timnya juga mendata puluhan peraturan daerah yang mewajibkan siswi mengenakan penutup kepala.

Menurut Andreas, aturan wajib jilbab yang dibuat kepala daerah memicu pemaksaan model seragam di sekolah. Sumatera Barat dan sejumlah kabupaten di Jawa Barat merupakan daerah yang pertama kali menerbitkan peraturan mengenai kemestian berjilbab pada 2001. “Peraturan-peraturan itu melanggar prinsip kebebasan beragama,” tuturnya.

Kabupaten Pasaman Barat di Sumatera Barat salah satu daerah yang mengeluarkan regulasi wajib jilbab pada 2007. Bupati saat itu, Syahiran, kader Partai Gerindra, menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 yang mengatur pakaian bagi siswa, mahasiswa, dan birokrat. Dalam aturan itu, murid perempuan wajib mengenakan baju kurung, rok panjang, dan jilbab.

Ketua Gerindra Sumatera Barat Andre Rosiade mengklaim aturan di Pasaman Barat merupakan implementasi dari adat dan budaya Minangkabau. Ia mengatakan pemerintah daerah tak boleh memaksa siswa nonmuslim memakai jilbab meski ada regulasi yang mengatur. “Ketentuan itu sudah lama diterapkan dan tak ada gejolak di Sumatera Barat,” kata Andre.

Nyatanya, aturan itu memakan korban. Salah satunya Erika—bukan nama sebenarnya—yang beragama Kristen. Perempuan yang kini berusia 22 tahun itu meminta identitasnya disamarkan untuk menjaga ketenteraman keluarganya. Ia kini kuliah di salah satu universitas swasta di Padang.

Pada 2014, Erika masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ranah Batahan, Pasaman Barat. Sekolah itu mewajibkan semua murid perempuan berjilbab. Sejak di kelas VII, ia mempertanyakan alasan murid nonmuslim harus mengikuti aturan tersebut. Ia sesekali menawar agar dibolehkan melepas penutup kepala. Namun gurunya mengatakan model pakaian itu sudah sesuai dengan peraturan.

Hingga kelas IX, Erika mempersoalkan aturan tersebut. Akibat sikapnya itu, Erika sempat diintimidasi oleh kepala sekolah. “Saya dituduh memprovokasi teman-teman penganut Nasrani jika mereka sewaktu-waktu mempertanyakan seragam berjilbab,” ucap Erika.

Melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Ranah Batahan pada 2017, Erika kembali menghadapi pemaksaan jilbab. Dua tahun kemudian atau sekitar Februari 2019, pemerintah Pasaman Barat menggelar perekaman data kartu tanda penduduk elektronik di sekolah Erika. Erika menemui gurunya dan meminta izin melepas jilbab.

Kala itu, ia beralasan kartu identitasnya akan tampak janggal karena fotonya tak sinkron dengan keterangan di kolom agama. Lebih-lebih KTP itu akan berlaku seumur hidup. Namun penjelasan Erika ditampik gurunya. “Saya malah dibilang terlihat cantik kalau memakai jilbab,” ujarnya. Erika tak bisa membantah. Jadilah potret diri di KTP-nya mengenakan tengkuluk.

Kartu identitas itu memicu perundungan lain. Saat Erika mendaftar kuliah, seorang dosen menuduh dia beringkar iman. Dosen itu melihat pasfoto Erika di dokumen resmi seperti ijazah dan KTP mengenakan jilbab. Padahal Erika datang tanpa berkudung. “Kamu murtad, ya? Soalnya berjilbab di foto dan sekarang tidak pakai,” kata Erika menirukan omelan dosennya.

Pemerintah Kota Bengkulu juga menerapkan aturan berpakaian untuk murid muslim. Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan menerbitkan Peraturan Wali Kota Nomor 27 Tahun 2015 tentang Seragam Sekolah yang mengatur penggunaan jilbab putih bagi siswi muslim, meski bukan kewajiban. Helmi menyalin Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014 tentang seragam.

Pemerintah Bengkulu juga mengeluarkan instruksi untuk berpakaian muslim saat bulan Ramadan pada 2014. Perintah itu memang tak dialamatkan untuk sekolah, melainkan bagi pegawai negeri. Helmi mengatakan tak pernah memaksa siswi dan pegawai negeri memakai jilbab karena melanggar hak asasi.

“Namanya juga hidayah. Tak boleh dipaksa jika belum siap mengenakan jilbab,” ujar Helmi, politikus Partai Amanat Nasional. Ia bahkan menyatakan murid boleh memakai baju bebas jika tak mampu membeli seragam sekolah. Namun aturan penggunaan jilbab putih itu tetap diterapkan di berbagai sekolah dan berdampak pada psikologis murid.

Dela, siswi SMP Negeri 14 Bengkulu, mengaku terpaksa berjilbab karena tak mau tampil beda dari teman-temannya. Padahal ia belum siap mengenakan kerudung. “Masak, baju saya berbeda dengan teman-teman yang memakai rok, baju panjang, dan jilbab,” tuturnya. Dela melepas jilbab ketika tiba di rumah dan saat beraktivitas di luar sekolah.

Di perguruan tinggi, kewajiban mengenakan jilbab juga membebani mahasiswi. Angela, mahasiswi beragama Kristen di salah satu perguruan tinggi Islam negeri di Sumatera, terpaksa mengikuti aturan rektor soal cara berpakaian bagi mahasiswi beberapa tahun lalu. Mahasiswi wajib berjilbab hingga menutupi dada dan pakaiannya dilarang mempertontonkan lekuk tubuh.

“Saya terpaksa belajar cara memakai jilbab yang benar,” katanya. Angela menolak identitasnya dan kampusnya diungkap untuk menghindari perundungan di kampus. Ia memutuskan kuliah di sana karena kampus itu memiliki fakultas humaniora yang diminatinya.

Sejumlah siswa sekoleha negeri mengikuti kegiatan belajar tatap muka hari pertama, di Padang, Sumatera Barat, Januari 2021. ANTARA/Iggoy el Fitra

Angela tetap menerima perundungan kendati sudah berjilbab. Sekitar November 2021, ia mengikuti perkuliahan secara virtual. Beberapa hari kemudian, seorang teman yang melihat model jilbab Angela menegurnya. Kawannya itu menyorongkan gambar perempuan berjilbab sambil memberi tahu bahwa cara mengenakan kudung yang benar.

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid dan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani tak merespons pertanyaan yang dikirim ke nomor telepon pribadi mereka. Kementerian Agama merupakan lembaga yang membawahkan kampus Islam negeri di Indonesia.

Meski Kementerian Pendidikan mengeluarkan aturan yang membolehkan murid memilih seragam sesuai dengan agamanya, banyak sekolah negeri tetap mewajibkan penggunaan jilbab. Bahkan aturan itu cukup melalui surat edaran yang ditandatangani kepala sekolah. Salah satunya di Sekolah Dasar Negeri Karangtengah III, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada 2019, cucu Rini Widiastuti yang duduk di bangku kelas III diminta memakai seragam berjilbab saat diterima di sekolah itu. Ketentuan itu tercantum dalam surat edaran yang ditandatangani kepala sekolah. Warkat itu mewajibkan semua siswi berpakaian muslim mulai tahun ajaran 2020. “Cucu saya sampai sekarang enggan berjilbab saat ke sekolah,” ucap Rini.

Aturan wajib jilbab juga bermunculan di Sulawesi Selatan. Pada 2003, Bupati Bulukumba Andi Patabai Pabokori membuat Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang aturan berpakaian bagi muslim dan muslimah. Andi Pabokori mantan Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan dan pernah menjadi kader Partai Berkarya yang didirikan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.

Juru bicara Pemerintah Kabupaten Bulukumba, Andi Ayatullah Ahmad, mengatakan Pabokori membuat aturan itu untuk membentuk identitas lokal masyarakat Bulukumba. Pemerintah Bulukumba mengklaim tak memaksa siswa dan pegawai negeri nonmuslim mengenakan jilbab. “Semangat peraturan daerah itu adalah membina masyarakat,” kata Ahmad.

Bupati Enrekang 2003-2013, La Tinro La Tunrung, juga mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Busana Muslim. Kepala Bagian Hukum Kabupaten Enrekang Dirhamsyah menjelaskan, regulasi itu merupakan implementasi visi dan misi kepala daerah dan dibuat tanpa kajian. “Kami siap mencabutnya karena diskriminatif,” ujar Dirhamsyah.

Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, mengatakan pemaksaan jilbab di sekolah negeri tak lepas dari pemahaman guru terhadap prinsip kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Henny bercerita, ia berkali-kali berdiskusi dengan sejumlah guru sekolah negeri yang meyakini bahwa jilbab merupakan atribut yang melekat pada perempuan.

Para guru itu menyatakan siswi bisa terhindar dari kekerasan seksual jika berjilbab. Henny justru menilai jilbab tak menjamin keamanan anak-anak. Banyak korban rudapaksa bersekolah di pesantren. “Guru-guru itu menolak perspektif lain ketika diajak berbicara soal agama,” kata Henny, yang ikut meneliti kasus pemaksaan jilbab di daerah bersama Human Rights Watch.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menyebutkan pemaksaan jilbab dan perundungan terhadap murid yang tak berkerudung terjadi karena pembelajaran di kelas tak dirancang untuk menghargai keberagaman. “Para siswa dan guru terjebak pada sikap tak menghargai perbedaan meski belum berujung pada aksi kekerasan,” ujarnya.

BUDIARTI UTAMI PUTRI (JAKARTA), PHESI ESTER (BENGKULU), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR), TIKA AYU (RIAU), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus