Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNCULNYA kasus pemaksaan jilbab membuat pemerintah bergerak. Pada Kamis, 18 Agustus lalu, Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) ikut membahas kasus terakhir yang menimpa murid Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo pada Kamis, 25 Agustus lalu, Soni Sumarsono, anggota Tim Independen—yang memberikan rekomendasi kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin—mengatakan pemaksaan jilbab kian marak. “Di sekolah, di birokrasi, dan kantor-kantor,” kata mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa saja rekomendasi hasil rapat Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional?
Pertama, pemaksaan berjilbab di sekolah menimbulkan dampak psikologis luar biasa. Kedua, pemaksaan jilbab bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah yang memberikan tiga pilihan pakaian sekolah. Boleh berjilbab, boleh tidak. Aturan ini akan dipertegas supaya pemaksaan jilbab tak terulang. Rekomendasi ketiga, masalah jilbab juga terjadi di instansi pemerintahan.
Apa faktor-faktor yang menyebabkan maraknya pemaksaan jilbab di sekolah dan institusi pemerintahan?
Kesimpulan secara umum karena persepsi dan penafsiran yang salah atas syariat yang dipeluknya. Misalnya dia menafsirkan apa yang dipikirkan dalam pengajian, lalu langsung diterapkan di sekolah. Apakah salah tafsir itu karena terpapar paham tertentu, ya itu, wallahualam. Yang jelas, kemungkinan itu juga ada karena jaringan ekstrem kanan sudah masuk ke birokrasi dan sekolah.
Siswi yang dipaksa menggunakan jilbab kini mengalami trauma. Apakah pemerintah akan memberikan pendampingan?
Kami belum formulasikan sampai ke sana. Tapi banyak relawan membantu mereka. Pemerintah memang seharusnya memberikan perlakuan sama seperti ada bencana alam, yaitu negara hadir memberikan perlindungan psikologis terhadap korban.
Apa perbedaan masalah pemaksaan jilbab saat ini dengan ketika Anda masih menjabat Direktur Jenderal Otonomi Daerah pada 2015-2019?
Dulu itu spot-spot saja. Kasusnya belum banyak. Misalnya satu sekolah di Padang, di Banten, dan di Sukoharjo, Jawa Tengah. Kalau sekarang, sudah menyebar di seluruh Indonesia dan akhirnya persoalan meluas.
Seperti apa penyelesaian masalah pemaksaan jilbab saat Anda menjadi Dirjen Otonomi Daerah?
Dulu tindakannya sekadar memanggil kepala daerah. Contohnya, Wali Kota Padang saat itu saya panggil bukan hanya untuk klarifikasi soal jilbab, tapi juga aturan warung tutup saat bulan puasa. Kepala daerah itu menjawab tidak memaksa, tapi hanya imbauan yang sifatnya keagamaan. Nah, sekarang cepat menyebar seperti virus, ke mana-mana. Bahkan pakai surat keputusan kepala sekolah. Anak yang tidak berjilbab di sekolah dipanggil, bahkan ada guru yang memakinya. Murid menjadi stres, dan eskalasi ini luar biasa.
Apa langkah yang akan diambil Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional?
Hasil rapat ini kami laporkan ke Kementerian PAN-RB dan pastinya disampaikan ke Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Berikutnya, kami akan bahas mengenai masalah lain, yaitu reformasi birokrasi. Ini masuk prioritas karena pemaksaan jilbab itu bukan hanya terjadi di sekolah, tapi juga di birokrasi, kantor-kantor.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo