Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bebas Unduh Kitab Jihad

Kitab-kitab pendorong jihad dan buku paham radikal marak beredar di Internet. Kementerian Komunikasi dan Informatika dituding lamban memblokir.

4 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hasil pencarian google tentang kitab yang masuk kategori buku radikal, di Tangerang Selatan, Banten, 4 Desember 2021. TEMPO/Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Buku berbau jihad seperti Muqarrar Fit Tauhid mudah ditemukan di Internet.

  • Sebagian besar buku itu diduga hasil produksi kelompok ISIS.

  • Aman Abdurrahman disebut-sebut menerjemahkan 200 buku radikalisme.

AGUS Setiawan, 40 tahun, tertegun di depan komputer jinjing, Senin, 29 November lalu. Warga Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, itu mencari referensi makna tauhid untuk tugas sekolah anaknya. Dia tercengang saat menemukan buku berjudul Muqarrar Fit Tauhid alias kurikulum tauhid yang berbau radikal karena digunakan sebagai doktrin kelompok terorisme seperti Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halaman pengantar buku itu menyerukan jihad, memerangi orang kafir, dan mendirikan sistem kepemimpinan khilafah. Agus berhenti membaca di halaman 9 dan tercengang karena kitab tersebut menyatakan bahwa siapa saja yang menjalankan hukum selain Al-Quran dan hadis masuk golongan kaum thaghut sehingga harus diperangi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Bukankah itu bisa dimaknai bahwa, jika kita mematuhi undang-undang, kita juga masuk kategori thaghut?” kata Agus kepada Tempo pada Jumat, 3 Desember lalu. Kaum thaghut dalam kitab tersebut mengacu pada siapa saja yang dianggap menyembah selain Allah.

Di mesin pencari Google, tersedia ratusan judul Muqarrar Fit Tauhid. Kitab yang masuk kategori buku radikal itu bertebaran di berbagai situs. Kebanyakan situs menyediakan fasilitas pengunduhan buku itu secara gratis. (Baca juga: Baju Baru Jamaah Islamiyah)

Peredaran buku-buku radikal menjadi pembahasan dalam rapat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Senin, 8 November lalu. Di hadapan Kepala BNPT Boy Rafli Amar, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Ibnu Suhendra menyampaikan lebih dari 250 kitab radikal beredar bebas di Internet.

Ibnu juga memaparkan ada ratusan situs yang terindikasi menyebarkan paham radikal dan terhubung dengan kelompok teror. Dia menjelaskan cara kerja kelompok teror yang secara sistematis memanfaatkan media digital sebagai sarana propaganda. “Sebagian pelaku teror belajar dari sana,” ujar Ibnu saat berkunjung ke Tempo, Rabu, 1 Desember lalu.

Kepala BNPT meminta Ibnu membuat laporan kepada Presiden Joko Widodo. Surat ke Presiden, kata Ibnu, juga berisi sejumlah rekomendasi. Antara lain, pengetatan aturan tentang propaganda radikalisme di Internet. BNPT juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika lebih aktif menyisir materi radikalisme dan memblokir situs penyebar paham itu.

Ibnu mengatakan ia sudah tiga kali bertandang ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak tiga tahun lalu. Ia membawa berbagai bukti, seperti buku-buku, untuk menunjukkan masifnya peredaran kitab jihad. “Tapi hingga sekarang kondisinya tidak berubah. Kami berharap Kominfo bisa lebih cepat dalam melakukan pencegahan,” ucap jenderal bintang dua ini.

Kitab radikal yang beredar bebas tersebut termasuk Muqarrar Fit Tauhid. Ibnu menyatakan buku itu sebagai salah satu bacaan utama anggota kelompok teror, terutama yang terhubung dengan jaringan ISIS. Ia mengklaim buku itu selalu ditemukan dalam penggeledahan kasus terorisme.

Wakil Direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi—lembaga peneliti terorisme—Badrus Samsul Fata mengatakan penyebaran kitab-kitab radikal yang mengarah pada terorisme di Internet marak sejak enam tahun lalu. “Saat itu kami sudah memprediksi kondisi akan makin parah jika langkah pencegahan terlambat. Sekarang sudah terbukti,” ujarnya.

Menurut Badrus, kitab yang menjurus pada terorisme menekankan doktrin bahwa kelompok di luar mereka adalah thaghut. Narasi thaghut di Indonesia mengarah pada pemerintah sekaligus masyarakat yang berbeda pendapat dengan kelompok tersebut.

Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Najih Arromadloni mengatakan kitab Muqarrar Fit Tauhid ditulis oleh Dewan Fatwa ISIS. Salah satu isi dari buku itu adalah tentang konsep pembatalan keislaman. Seseorang dianggap batal keislamannya jika menaati hukum selain Al-Quran dan hadis.

Konsep yang merupakan salah satu ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, ahli teologi Islam dari Arab Saudi pada abad ke-18, itu diadopsi oleh ISIS. Karena itu, negara yang tidak menganut hukum Islam akan dianggap sebagai negara kafir, termasuk pemerintah dan rakyatnya. (Baca juga: Tujuh Tahap Jamaah Islamiyah Mengambil Alih Kekuasaan)

“Konsep tersebut selanjutnya digiring ke doktrin kewajiban jihad untuk merebut kekuasaan serta melegalkan kekerasan, termasuk terhadap muslim di luar kelompok mereka,” tutur Najih, Rabu, 1 Desember lalu.

Najih mengungkapkan sebagian besar buku radikalisme yang mengarah pada terorisme adalah terjemahan dari kitab-kitab doktrin ISIS di Suriah. Divisi media ISIS rajin menyebarkan buku-buku itu di Internet. Sebagian diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Menurut dia, ada ratusan buku kelompok ISIS yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dari seruan jihad hingga cara membuat bom. “Aman Abdurrahman saja menerjemahkan sekitar 200 kitab,” ujarnya.

Aman Abdurrahman adalah pemimpin Jamaah Ansharud Daulah, organisasi yang terafiliasi dengan ISIS. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis dia dengan hukuman mati pada Juni 2018 karena terbukti terlibat dalam sejumlah kasus terorisme. Antara lain, bom di Jalan Thamrin, Jakarta; pengeboman gereja di Samarinda; serta penyerangan terhadap polisi di Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Medan.

Mudahnya akses terhadap materi yang disebarluaskan pendukung ISIS dianggap membuat anak muda yang tak terlatih dan labil bisa menggelar aksi teror. Satu di antaranya adalah Sultan Azanah, 22 tahun, yang tewas saat berupaya membunuh polisi di Pos Lalu Lintas Cikokol, Kota Tangerang, Banten, pada 2016.

Yang teranyar adalah Zakiah Aini, 25 tahun, pelaku penembakan di Markas Besar Kepolisian RI pada awal April 2021. Mahasiswa Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat, itu juga diduga terpengaruh ideologi ISIS melalui Internet. (Baca: Bagaimana Jamaah Islamiyah Bersalin Wajah)

BPET MUI juga mempersoalkan kinerja Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dianggap belum cukup trengginas menghadang penyebaran paham radikal di Internet. Najih Arromadloni menilai kondisinya berbanding terbalik dengan kasus pornografi di dunia maya. “Entah kenapa untuk radikalisme dan terorisme ini gerak mereka sangat lambat,” kata Najih.

Pada Juni lalu, BPET MUI mendatangi Kementerian Komunikasi. Seperti Ibnu Suhendra dari BNPT, Najih membawa segepok data. Namun, hingga pekan lalu, buku-buku itu masih marak beredar.

Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Najih Arromadloni. TEMPO/Agung Sedayu

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan tak membantah soal pertemuan dengan Ibnu Suhendra ataupun dengan BPET MUI. “Saat itu konteks pertemuan kami adalah diskusi, bukan pelaporan, sehingga kami tidak langsung menindaklanjutinya,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 3 Desember lalu.

Menurut Semuel, untuk menentukan sebuah kitab masuk paham radikal yang menjurus pada terorisme diperlukan kajian dan analisis menyeluruh dari pakar. Ia menyatakan lembaganya tak kompeten melakukan pengkajian tersebut. “Berbeda dengan kasus pornografi dan judi di Internet, itu lebih gampang,” ucap Semuel.

Ia menjelaskan, pemblokiran memerlukan surat permohonan resmi dari lembaga lain. Surat itu menjadi dasar untuk pengkajian dan pemblokiran. Untuk mempercepat pemblokiran, Kementerian Komunikasi membuat sistem pelaporan online buat sejumlah instansi.

Berdasarkan catatan Kementerian Komunikasi, sepanjang 2017-30 November 2021, sebanyak 23.015 konten radikalisme dan terorisme diblokir. Semuel berharap, melalui mekanisme baru pelaporan yang mulai dijalankan pada Oktober lalu itu, penindakan bisa lebih cepat dilakukan.

Peneliti kajian Islam dan gender, Lies Marcoes, mengatakan maraknya propaganda terorisme muncul saat tidak banyak intelektual muslim membuat buku-buku berkualitas sebagai upaya kontranarasi. Ia menilai pemblokiran kitab di Internet tak terlalu efektif. “Yang lebih penting justru bagaimana kita bisa membuat buku yang bisa menjadi kontranarasi paham radikal itu,” ujarnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Teguh Edi Pramono

Stefanus Teguh Edi Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus