Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Politikus PKS gencar melobi agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tak segera disahkan.
Golkar juga menolak percepatan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disebut terhambat karena sikap dua partai itu.
KURNIASIH Mufidayati kerap memanfaatkan waktu di sela-sela pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk melobi sejumlah koleganya. Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu meminta fraksi lain tak buru-buru mengesahkan rancangan yang mangkrak sejak 2016 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia juga meminta pembahasan lebih detail pada setiap pasal RUU TPKS. “Saya berkomunikasi dengan semua partai,” ujar Mufida—panggilan Kurniasih Mufidayati—ketika dihubungi, Kamis, 2 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah anggota Badan Legislasi yang ditemui Tempo menyebut Mufida sebagai salah satu motor penolak percepatan pembahasan draf yang sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu. Sejak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas di Komisi Agama dan Sosial DPR pada 2018, PKS kerap menolak aturan tersebut. (Baca Laporan Khusus Tempo: Jalan Terjal Memutus Kekerasan Seksual)
Setelah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi terbit, Murida melobi sejumlah anggota Badan Legislasi DPR. Ia menyatakan aturan yang diteken Menteri Nadiem Makarim pada pengujung Agustus lalu itu serupa dengan RUU TPKS.
PKS menolak aturan tersebut karena dituding melegalkan seks bebas. Namun banyak pengamat hukum menilai pandangan itu berlebihan dan mengada-ada. Ketua Panitia Kerja RUU TPKS dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya, mengatakan aturan Menteri Pendidikan ikut mempengaruhi pembahasan RUU TPKS. “Pembahasan jadi lebih alot,” kata Willy. (Baca kolom Tempo: Logika Sesat Kebebasan Seksual)
Para politikus PKS juga aktif berdebat dalam rapat ataupun percakapan grup WhatsApp Panitia Kerja RUU TPKS. Salah satunya soal judul undang-undang. Percakapan di grup yang dilihat Tempo itu menunjukkan PKS menginginkan perubahan judul RUU TPKS menjadi RUU Pidana Kesusilaan.
Dalam satu percakapan, anggota panitia kerja dari PKS, Alu Muzammil Yusuf, meminta agar pasal-pasal kesusilaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimasukkan ke RUU TPKS. Pesan itu menimpali usul serupa yang datang dari politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Willy Aditya membenarkan soal usul dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Adapun Kurniasih Mufidayati mengatakan usul perubahan judul bertujuan memasukkan pasal larangan seks bebas serta aktivitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Selain di parlemen, PKS aktif menggalang dukungan penolakan RUU TPKS. Partai itu membuat poster online dan mengunggahnya di akun Twitter ataupun Instagram. Mufida juga menyebutkan bahwa informasi disebarkan hingga ke pengurus partai di daerah. “Supaya mereka bisa membantu menyebarkan informasi tersebut ke semua kader,” ucap Mufida. (Baca juga: Lobi Gencar Aktivis Perempuan ke Senayan)
Bersama PKS, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, serta Partai Golkar berada di barisan penolak percepatan pengesahan RUU TPKS. Dua anggota Badan Legislasi mengatakan salah satu politikus Golkar yang gencar meributkan RUU itu adalah Nusron Wahid. Dimintai tanggapan, Nusron mengaku kerap memperbincangkan berbagai poin dalam RUU TPKS.
Nusron mempertanyakan RUU TPKS hanya mengatur kekerasan seksual tapi tidak soal seks di luar nikah serta aktivitas LGBT. “Semua hubungan seks diharamkan kecuali yang terikat pernikahan,” ujarnya. Sebagian persoalan yang disebut oleh Nusron sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Nusron Wahid. TEMPO/Jati Mahatmaji
Saat rapat pleno pengambilan keputusan pada 17 November lalu, Nusron juga berkeliling ke sejumlah anggota panitia kerja dan meminta RUU TPKS tak buru-buru disahkan. Nusron mengklaim dia dan Golkar tak menolak pengesahan RUU TPKS. Ia menilai isi undang-undang itu tinggal dirapikan. Menurut dia, DPR perlu mencegah timbulnya perdebatan yang tak perlu.
Kolega Nusron di Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, mengatakan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto meminta para politikus partai beringin berhati-hati membahas RUU TPKS. “Beliau berpesan agar pasal demi pasal dibahas secara mendalam, termasuk dampak dan risikonya,” tutur Firman.
Dua politikus Golkar bercerita, partai mereka sangat berhitung soal dampak elektoral jika rancangan itu sampai disahkan di DPR. Ada kekhawatiran, pemilih dari kalangan muslim enggan mencoblos partai atau calon presiden yang diusung Golkar jika draf itu disetujui oleh DPR dan pemerintah.
Firman membantah informasi tersebut. Menurut dia, Golkar menginginkan berbagai pasal kontroversial tak menimbulkan masalah di kemudian hari. Ia mencontohkan pasal 13 yang mengatur sanksi bagi korporasi yang membiarkan terjadinya kekerasan seksual. Perusahaan yang abai bisa dihukum denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 2 miliar serta dicabut izinnya.
Ia mengaku pernah menerima keberatan pertanyaan dari sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). “Masak, perusahaan bisa dicabut izinnya,” kata Firman. Ketua Umum Aprisindo Eddy Widjanarko tak membalas pertanyaan yang diajukan Tempo.
Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya mengatakan sikap PKS dan Golkar itu membuat pengambilan keputusan soal penetapan rancangan tersebut sebagai usul DPR menjadi terkunci. Dua partai itu mengirimkan surat agar RUU TPKS didalami lebih dulu sebelum ditetapkan sebagai usul DPR. “Ada upaya menolak lagi apa yang selama ini sudah dibicarakan,” ujar Willy.
Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi DPR, mengatakan RUU TPKS seharusnya bisa segera disahkan mengingat kasus kekerasan seksual cenderung meningkat. Undang-undang ini nantinya menjadi aturan khusus alias lex specialis. “Jadi tidak mungkin memindahkan aturan kesusilaan ke dalam RUU TPKS,” ucap Supratman di kantornya, Jumat, 3 Desember lalu.
Menurut Supratman, terhambatnya pembahasan RUU TPKS di Badan Legislasi menjadi pembicaraan dia dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada September lalu di Hotel Pullman, Jakarta. Dalam pertemuan selama satu setengah jam itu, Supratman memberi tahu ihwal sikap setiap fraksi dan perkembangan pembahasan.
Supratman juga bertemu dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Eddy Omar Sharif Hiariej. “DPR dan pemerintah ingin mempercepat pembahasan dan membuka komunikasi yang baik,” ujarnya. Moeldoko dan Eddy tak merespons permintaan wawancara.
Kini nasib RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual kian menggantung. Pada Jumat, 3 Desember lalu, Supratman bersama Willy Aditya dan Ketua Kelompok Fraksi PKB Abdul Wahid berkumpul di ruang pimpinan Badan Legislasi membahas kelanjutan RUU TPKS. “RUU ini harus bisa tutup buku dan selesai pembahasannya,” kata Willy, berharap.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo