Perjumpaan penting itu terpaksa molor sejam. Izin tertulis dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—lembaga pemerintah yang memberi order menelisik lewat teknik akuntansi forensik skandal Bank Bali—belum di tangan. Setelah restu diterima, akhirnya para auditor kantor akuntan publik kenamaan, PricewaterhouseCoopers (PwC), bisa juga bertatap muka dengan tim Pansus DPR, Jumat petang pekan lalu.
Dalam dengar pendapat itu, pihak PwC menyiapkan kertas kerja dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Kertas kerja dalam bahasa Indonesia setebal 14 halaman menjelaskan cara kerja mengaudit skandal Bank Bali ini. Menurut mereka, pemeriksaan terhadap Bank Bali dimulai pada 19 Agustus dan berakhir pada 6 September lalu atau selama 17 hari. Proses itu melibatkan enam partner, baik dari Indonesia maupun asing, serta 14 orang staf.
Hambatan tentu saja ada. Sejumlah pihak tidak mau ditembus. Sedianya mereka memperkirakan akan wewancarai sekitar seratus orang. Tetapi yang mau bicara cuma 65 orang, termasuk 13 orang dari Bank Bali dan Standard Chartered Bank, 19 pejabat dari Bank Indonesia, 18 tokoh dari BPPN. Ada dua orang yang tak bersedia diwawancarai—konon Menteri Tanri Abeng dan Ketua DPA Baramuli, yang juga enggan diperiksa BPK. Tiga puluh dua orang tidak menanggapi permintaan itu.
Arus uang dari Bank Bali telah mereka telusuri dari 20 bank, meliputi 159 transaksi perbankan yang menyangkut uang dalam jumlah besar dan didistribusikan secara singkat. Adapun 18 bank lainnya tak bersedia ditemui. Selain itu, mestinya ada 23 perusahaan yang direkomendasi untuk dikunjungi. Tetapi itu tidak dilakukan. "Kami tidak mempunyai hak untuk mendatangi perusahaan-perusahaan tersebut," kata John Carblell dari kantor PwC.
Laporan panjang (long form) itu setebal 400 halaman. Termasuk di dalamnya 130 halaman laporan utama, 19 halaman yang memuat kronologi kejadian, dan 14 halaman mengenai arus dana. Hasilnya? Nama beberapa anggota DPR, pejabat tinggi, dan anggota partai politik menerima dana dari PT Era Giat Prima (EGP). "Laporan lengkap kami memuat bagan arus dana yang sangat rumit, yang menggambarkan hasil-hasil usaha mengusut dana tersebut," kata seorang auditor PwC. Tapi mereka kepentok dengan aturan dan etik yang tak bisa memperbolehkan buka-bukaan di DPR.
Seorang sumber TEMPO yang mengintip laporan komplet itu melihat sejumlah nama penting dalam bagan tersebut. Setiap kotak bagan beranak-pinak ke bagan lainnya. Bagan pertama menggambarkan arus uang dari Bank Bali ke rekening EGP di sana. Bagan berikutnya menelisik perjalanan rekening tadi, yang ditransfer ke rekening EGP dan Joko Soegiarto Tjandra di BNI Rasuna Said, Jakarta. Tahap ketiga dari dua rekening itu menyebar ke berbagai rekening di beberapa tempat, antara lain ke pengusaha garmen, karib Presiden Habibie, yang juga Wakil Bendahara Golkar Marimutu Manimaren. Dari beberapa rekening di tahap itu, mengucur ke berbagai nama yang tercantum dalam layer 4, 5, dan 6.
Di tiga bagan terakhir itulah tercantum sejumlah nama. Dalam kelompok anggota DPR dan pimpinan partai politik, terdapat nama Agus Sudono, L.G. Rompas, dan Ketua DPP Golkar Freddy Latumahina, yang menerima dana hampir Rp 1 miliar. ''Wah, nggak tahu saya itu. Nanti saya cek, jalur dana dari Bank Bali itu. Saya heran, kok, saya bisa masuk di daftar itu. Mungkin, dilihat dari posisi saya. Tapi nanti saya akan mencari tahu dari teman-teman di DPR,'' ujar Fredy, anggota MPR dari FKP, kepada Arief A. Kuswardono dari TEMPO.
Di bagan yang lain dalam laporan itu terdapat nama pejabat tinggi negara, termasuk pula kelompok dalam Presiden B.J. Habibie, antara lain bekas Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto, bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, serta staf ahli Presiden, Jimly Ash-Shidiqie. "Yang bener, nama saya di situ? Masa, sih? Gila itu kalau bener," ujarnya saat dikonfirmasi oleh Andari Karina Anom dari TEMPO.
Menurut Jimly, ia tidak pernah menerima dana dari EGP. Kalaupun dirinya pernah berurusan dengan dana, itu berkaitan dengan bantuan untuk masjid, pesantren, yatim-piatu, kelompok antinarkotik, dan kegiatan sosial lainnya. ''Semua itu tidak ada hubungannya dengan EGP,''ujar Wakil Sekretaris ICMI ini.
Soal dana dari Bank Bali, menurut Jimly, bisa saja tiris ke mana-mana. "Kalau ditelusuri terus, nanti tukang bakso juga tercatat sebagai penerima dana, padahal dia tidak tahu uang itu berasal dari Bank Bali. Apakah tukang bakso itu ikut bersalah?"ujarnya bertanya. Menurut Jimly, ke mana aliran dana itu beredar tidak mempunyai arti hukum apa pun. ''Yang perlu diselidiki adalah siapa maling sebenarnya,'' ujar sekretaris Pemantapan Keamanan dan Sistem Hukum ini.
Pansus merasa kecewa karena gagal mendapatkan laporan panjang (long form) hasil audit PwC. Yang mereka dapatkan hanyalah laporan dari BPK dan laporan pendek (short form). Muncul dugaan, BPK menghambat proses pemeriksaan para wakil rakyat. Ketua BPK Satrio Budihardjo "Billy" Joedono keberatan karena terikat Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 soal kerahasiaan perbankan. Edisi lengkap itu, karena mengandung dugaan unsur pidana, cuma diserahkan ke polisi pada 8 September lalu. "Presiden saja, kalau minta data itu, tidak akan saya beri," tutur Billy.
Ahmad Taufik, Rubi Kurniawan, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini