Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menjaring si abang

Operasi penertiban becak secara serentak dilakukan di 5 wilayah dki. Jakarta. (nas)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu Jalan K.H. Mas Mansur di Tanah Abang, Jakarta Pusat, lega. Hanya 5 becak yang mangkal di pinggir jalan. Biasanya jalan ini sesak oleh si roda tiga yang mencari nafkah. "Saya tidak takut dioperasi sebab becak saya pakai pening. Jadi resmi," kata Paimo, 38 tahun, pengendara becak asal Wonogiri, Ja-Teng. Minggu lalu, selama 5 hari, dilancarkan operasi penertiban becak secara serentak dan menyeluruh di 5 wilayah DKI. Yang digaruk hanya becak-becak liar atau becak resmi yang melangga. DBB (daerah bebas becak). Operasi yang berlangsung pagi sampai sore ini merupakan pelaksanaan dari SK Gubernur tanggal 1 Februari lalu. Khawatir terjaring operasi, banyak pengusaha kabarnya telah mengungsikan becaknya ke luar kota. Sampai Selasa minggu lalu, sehari sebelum operasi, masih banyak truk mengangkut becak ke Bekasi, Karawang, Bogor, dan Tangerang. Ada pula yang menuju Tegal atau Tasikmalaya. Menurut Gubernur Soeprapto, penertiban kali ini merupakan prioritas dari kebijaksanaan penertiban ibu kota secara menyeluruh. "Seperti halnya kaki lima, becak-becak liar ini kalau dibiarkan akan merajalela," katanya kepada TEMPO. Akan halnya si tukang becaknya sendiri, menurut Gubernur, "bisa disalurkan ke profesi lain." Ia tak menjelaskan secara terperinci profesi yang kiranya cocok buat si abang becak yang tergolong tenaga kasar itu. Tapi, katanya, "mereka itu lebih dari 95% tenaga musiman, bukan penduduk Jakarta. Kalau mau pulang kita pulangkan, kalau masih mau menarik becak di Jakarta harus menarik becak yang resmi. Tapi lebih baik mereka disalurkan setelah dilatih keterampilan pertukangan, misalnya. Atau bertransmigrasi." Menurut laporan Biro Ketertiban DKI, 27 April 1983, jumlah seluruh becak di DKI sekitar 40.000 buah, 80% di antaranya liar. Tetapi sampai hari terakhir operasi, Senin minggu ini, dari sekitar 32.000 yang liar hanya sekitar 6,5% yang terjaring. Menurut kepala Urusan Kamtib Jakarta Pusat, T.A. Manurung, sehari rata-rata hanya bisa diciduk 20-30 becak, padahal targetnya 200 becak. Becak yang terjebak operasi itu ditampung di Gudang Induk DKI Jalan Pemuda, Jakarta Timur. Untuk memperketat hak hidup si roda tiga, Dinas Pajak tidak lagi mengeluarkan Surat Keterangan Pemilikan (SKP) atas becak baru, sementara SKP yang kadaluwarsa tidak akan diperpanjang. Selain itu pengawasan terhadap perusahaan komponen becak juga ditingkatkan dan perusahaan perakitan becak yang baru akan ditutup. Sementara itu akan dicegah masuknya becak dari luar kota ke DKI. A. Soesdarjono, kepala Biro Ketertiban DKI mengusulkan kepada gubernur agar membagi jatah becak resmi untuk masing-masing wilayah Jakarta Pusat, misalnya, hanya 750 buah, sedang wilayah lain a 1.000 lebih. Hal ini tampaknya demi "ketertiban", namun belum tentu membantu kebutuhan masyarakat akan alat transpor yang mudah dan murah. Banyak ibu rumah tangga yang kini mengeluh karena mengalami kesulitan berbelanja ke pasar. Sebagian pengusaha becak sebenarnya mengerti kebijaksanaan ini. Misalnya Tohayuhana, 59 tahun, ketua Korps Karyawan Angkutan Becak Indonesia (Kokarbi) Jakarta Pusat. "Hanya saya menyayangkan mengapa operasi dilancarkan pada tahun ajaran baru, dan menjelang puasa," kata pensiunan prajurit TNI-AD itu. "Kan banyak tukang becak yang ingin memasukkan sekolah anaknya atau menyambut Lebaran." Penerangan mengenai akan dilancarkannya operasi becak agaknya masih kurang merata, meskipun jauh hari sudah disebarluaskan. Salah seorang pimpinan Kopat (Korps Kendaraan Jenis Keempat) di Jakarta Pusat, misalnya, ada yang mengeluh tidak diberi kesempatan bertanya hendak dibawa ke mana becaknya. Beberapa tukang becak juga ada yang belum paham, hingga hampir saja timbul insiden. Pada hari kedua operasi, 100 lebih tukang becak "menyandera" 2 truk di kawasan Cijantung. Mereka bermaksud menemui Walikota Jakarta Timur, Sabeni Efendi. Sampai di Kramat Jati sebuah truk dihadang petugas. Yang lain lolos tapi berhasil digiring ke halaman Kodim 0505. Setelah diberi penjelasan, mereka mengerti. Tapi dari 128 tukang becak, hanya 80 yang bersedia dipulangkan ke kampung asal mereka. Yang lain ingin tetap mencari nafkah di Jakarta -- dan tak seorang pun mengacungkan tangan bersedia bertransmigrasi. Tukirman, 46 tahun, asal Kuningan, terjaring di dekat Pasar Genjing, Kemayoran. Bapak 2 anak ini sudah 20 tahun mengadu nasib di Jakarta. Sedang istrinya menggarap sepotong tanah warisan di kampung seluas 300 bata. "Sebulan saya bisa dapat Rp 30.000," katanya. Ia bertekad tetap narik. "Berjualan di kaki lima kan modalnya harus banyak. Jadi kuli bangunan, masuknya juga susah. Dan sering tidak dibayar. Mandornya suka lari," katanya lagi sambil mengusap jidatnya dengan handuk kecil yang dekil. Memang di masa sulit pekerjaan seperti sekarang, menarik becak atau berjualan di pinggir jalan, setidaknya bisa mengurangi beban pengangguran, yang setiap tahun terus bertambah. Lagi pula, seperti kata seorang pengamat sosial, "menggusur abang becak tidak memecahkan persoalan penyaluran kerja, kecuali sekadar penertiban."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus