BARU beroperasi tujuh hari sampai Senin pekan ini, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sumber Nilaiarta berhasil menyedot deposito Rp 1,7 milyar. Tercatat ada 24 deposan yang terdaftar di BPR milik NU (Nahdlatul Ulama) di Krian, kota kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ini memang jumlah yang cukup tinggi untuk sebuah BPR. "Ada BPR yang dalam dua bulan cuma menghimpun dana Rp 200 juta," kata Sundoro Sasongko, 33 tahun, Presiden Direktur BPR. Pada hari bank itu diresmikan oleh Ketua Tanfidziyah NU K.H. Abdurrahman Wahid 25 Februari lalu saja sudah terkumpul deposito Rp 1,4 milyar. Deposito pertama, Rp 25 juta, berasal dari H. Nilam, Ketua Asosiasi Pedagang Besi Tua Jawa Timur. Langkah Pak Haji itu langsung diikuti 13 deposan lainnya, terdiri dari para pengusaha di Sidoarjo, Surabaya, dan kota lainnya seperti Gresik. "Belakangan ini deposito para pedagang kelas bawah dan petani mulai mengalir," ujar Sundoro Sasongko, anggota PITI (Persatuan Iman Tauhid Islam -- organisasi yang kebanyakan anggotanya berasal dari keturunan Cina muslim), dan pengurus Lembaga Perekonomian NU Jawa Timur. Sundoro memberi contoh. Sabtu pekan lalu, seorang ibu, pedagang sayur di Pasar Krian, menyimpan Rp 2 juta di bank itu. Lembaran rupiah yang disetorkannya kebanyakan sudah lusuh, malah rusak. Setelah diusut, kata Sasongko, "ibu itu sudah menyimpan uang tersebut tiga tahun di bawah kasurnya." Nah, dana yang selama ini tersimpan di bawah bantal itulah yang diharapkan akan berpindah ke bank ini. BPR dengan 12 karyawan ini memang tak sepenuhnya milik NU. Dari Rp 700 juta dana yang diinvestasikan untuk mendirikannya, NU cuma menyetorkan Rp 200 juta. Selebihnya berasal dari Sundoro Sasongko, pengusaha Surabaya, pemilik 100 bis Sumber Kencana dan Tunggal Jaya di Surabaya, serta 500 ha tambak udang di Kalimantan Selatan. Betapapun demikian, langkah NU itu cukup mengagetkan. Bagaimana NU, yang sering digelar sebagai organisasi tradisional itu, tiba-tiba membuka BPR yang dikelola secara profesional, dengan mengutip rente (bunga bank), misalnya. Bukan itu saja. Seperti bank-bank lain yang sibuk menebar hadiah, Sasongko sudah bikin ancang-ancang untuk membuat undian bagi para deposan. "Pemenangnya diberi tiket naik haji," katanya. Dengan langkah ini, NU malah sudah mendahului Muhammadiyah. Sejak beberapa bulan yang lalu, Muhammadiyah sudah berencana mendirikan tiga BPR di Kabupaten Bekasi dan Tangerang, Jawa Barat. Izinnya sudah diperoleh, tapi bank itu belum juga mulai beroperasi. "Habis, kita biasa ngurus masjid dan sekolah, kini ngurus bank. Ternyata rumit," kata Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Apalagi, berbeda dengan bank NU yang didirikan melalui kerja sama dengan pengusaha, BPR Muhammadiyah itu sepenuhnya milik dan dikelola organisasi itu. Sampai kini, Muhammadiyah masih sibuk merekrut dan melatih para pegawai bank tersebut -- atas bantuan teknis dari BRI dan Bank Susila Bakti. Maka, menurut Lukman, paling cepat April depan baru BPR itu bisa diresmikan. Menariknya, sampai kini belum ada reaksi negatif dari para ulama pada bank itu. Kiai As'ad Syamsul Arifin, kiai sepuh NU itu, juga tak bereaksi keras. "Setahu saya, cuma bunga bank pemerintah yang dibolehkan (jawaiz) oleh sebuah keputusan muktamar NU. Tentang bank itu, saya nggak tahulah," kata Kiai As'ad kepada wartawan TEMPO M. Baharun. Tapi, menurut Wakil Rais Syuriah PB NU K.H. Ali Yafie, bank bukan soal baru dan tabu di NU. Sebuah muktamar NU di Banten, pada 1940-an, pernah memutuskan bahwa bank bukan sesuatu yang terlarang. Sebagai tindak lanjut keputusan itu, pada 1950-an, di Jakarta NU mendirikan Bank Nusantara dan Bank Haji. Pada 1960-an, organisasi itu mendirikan pula Bank Mualim di Semarang. "Semua bank itu pakai bunga. Kalau tidak, bank itu tak mungkin berdiri," kata Ali Yafie. Tapi, karena kelemahan manajemen, belakangan semua bank itu bangkrut. Kali ini tampaknya NU tak melangkah kepalang tanggung. Telantarnya NU selama ini, menurut Gus Dur -- panggilan akrab Ketua NU itu -- karena terlalu asyik main politik praktis, padahal basis NU di bawah adalah santri dan pedagang. Maka, setelah BPR Krian, mereka akan ngebut mendirikan lagi 20 BPR di basis NU, seperti Jombang, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo, semua di Jawa Timur. Menurut Gus Dur, sekarang banyak perusahaan -- termasuk konglomerat -- yang ingin membantu organisasi-organisasi Islam. "Nah, saya katakan, jangan kasih duit, deh. Kasih saja BPR, sebab kita bisa menjangkau rakyat dan pengusaha kecil," ujar Gus Dur. Dalam kondisi itu, Abdurrahman Wahid optimistis, NU mampu membangun 250 BPR dalam lima tahun ini. Sementara itu, sebuah lembaga keuangan raksasa dari Jeddah, Arab Saudi, Al Barkah, berencana mendirikan bank di sini, bekerja sama dengan perusahaan terkemuka Bimantara. Bila kerja sama dua raksasa itu untuk mendirikan bank Islam di sini direalisasikan, menurut Gus Dur, NU dan Muhammadiyah akan ikut serta. Wakil Direktur PT Bimantara Citra, M. Tachril, membenarkan rencana itu. "Pihak Al Barkah yang menginginkan agar ormas Islam itu dilibatkan," kata M. Tachril, yang biasa dipanggil Aling itu, kepada wartawan TEMPO Ahmadie Thaha. Tapi bentuk kerja sama itu belum jelas betul. Selain Bimantara, beberapa perusahaan lain, seperti Bank Susila Bakti, akan diajak pula dalam kerja sama ini. Grup Al Barkah, yang dipimpin pengusaha Arab Saudi Sheikh Saleh Abdullah Kamel, kini punya sejumlah bank yang terserak di berbagai negara. Akhir tahun lalu, Saleh Abdullah Kamel datang ke Jakarta, mengajak Bimantara mendirikan bank Islam. Setelah itu, kedua pihak sudah berkali-kali mengadakan pembicaraan lanjutan, malah orang-orang Bimantara telah pergi ke London, meninjau praktek bank Islam milik Al Barkah di sana. Tapi permintaan Al Barkah agar bank itu mulai dibuka April mendatang belum disanggupi Bimantara. Karena mereka membutuhkan persiapan sekitar tiga atau empat bulan. Kata Aling, "Ini yang pertama di Indonesia, jadi harus baik, jangan sampai gagal." AN, Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini