HUJAN mengguyur Yogyakarta sejak siang sampai acara itu dimulai, pukul 20.00, Rabu malam pekan lalu. Syukurlah, walau mendung terus bergayut, toh sampai acara yang makan waktu sekitar dua jam itu usai, hujan tak lagi turun. Maka, ribuan penduduk -- termasuk sekitar 1.500 undangan -- menyesaki jalan di depan Gedung Agung dan pelataran Monumen SO (Serangan Oemoem) 1 Maret di pusat Yogya itu. Malam itu, mereka disuguhi operet berjudul Ranamandala Harebut Bali Yogyakarta yang mengisahkan peristiwa SO 1 Maret 1949. Pergelaran gerak tari dan lagu itu melibatkan 250 mahasiswa UGM yang tergabung dalam grup kesenian Gita Laksita. Ini sesuatu yang baru dalam peringatan SO 1 Maret yang setiap tahun dilaksanakan di Yogyakarta. Malah menurut Letjen. (Purn.) Sutopo Yuwono, Ketua Umum Paguyuban Wehrkreise III, penyelenggara peringatan itu, beberapa perbaikan akan dilakukan pada operet yang akan dipentaskan setiap peringatan SO 1 Maret itu. Teks narasi, misalnya, akan dibikin pula dalam bahasa Inggris sehingga bisa dimengerti turis. Katanya, mereka ingin memasukkan operet itu dalam Calendar of Event tahunan yang dikeluarkan Ditjen Pariwisata. Sebelum pergelaran, upacara tirakatan memperingati serangan umum 1 Maret itu diisi dengan pembacaan pidato tertulis Presiden Soeharto oleh Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII, penyulutan obor, dan pemotongan tumpeng oleh Sutopo Yuwono selaku salah satu pelaku SO. Esok paginya, 1 Maret 1990, ratusan peserta kirab remaja, yang berasal dari berbagai kota, disambut di lapangan Monumen SO 1 Maret oleh sejumlah pejabat penting seperti Menko Kesra Soepardjo Rustam, Ketua DPR Kharis Suhud, Menpen Harmoko, dan Mensos Haryati Soebadio. Nyonya Siti Hardiyanti Indra Rukmana tampak memimpin rombongan tersebut. Putri Presiden yang biasa dipanggil Mbak Tutut itu mengenakan kerudung merah, jaket putih, dan celana panjang putih. Kirab remaja HKSN (hari kesetiakawanan sosial nasional) yang mencapai finis di Yogyakarta pada Kamis itu juga merupakan acara baru dalam peringatan ini. Dengan para pemuda dari empat provinsi DKI Jakarta (grup A), Jawa Barat (B), Jawa Timur (C), dan Jawa Tengah (D), dalam waktu yang berbeda, para peserta kirab berangkat dari ibu kotanya masing-masing dengan tujuan Yogyakarta. Setiap grup terdiri dari 11 pasukan utama yang berjalan terus-menerus, dan 45 pasukan inti yang berjalan secara estafet tiap 15 km. Berarti pasukan utama dari grup A yang diberangkatkan Mensos Haryati Soebadio dari Jakarta, 7 Februari 1990, menempuh jarak 620 km. Sedang grup B dari Bandung, berangkat 12 Februari, harus berjalan kaki sejauh 444 km. Grup C dari Surabaya (berangkat 17 Februari), 350 km, dan grup D dari Semarang (berangkat 25 Februari), 113 km. Semua peserta kirab sampai di Yogyakarta pada 27 Februari yang lalu. Sebelumnya, di perjalanan, di beberapa desa yang sudah ditentukan, para kirabwan itu melakukan kerja bakti seperti membangun WC, mengeraskan jalan, menggali sumur, membuat lapangan voli, atau mengadakan penghijauan. Berbagai kegiatan kirab itu, menurut Nyonya Siti Hardiyanti Indra Rukmana, penanggung jawab kirab, menghabiskan biaya sekitar Rp 200 juta yang diperoleh dari sumbangan sejumlah pengusaha. "Saya wanti-wanti berpesan, mereka tak boleh menyusahkan penduduk desa. Minta sebatang rokok saja dari penduduk tidak saya izinkan. Justru peserta kirab remaja inilah yang harus membantu penduduk," kata Tutut. HKSN, yang diperingati pada 20 Desember, menurut Sutopo Yuwono, ada kaitannya dengan SO 1 Maret. Soalnya, Belanda menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948, dan mulai 20 Desember rakyat mengonsolidasikan diri menghadapi serangan itu. "Logikanya, diserang dulu, mereka menghimpun kekuatan mulai 20 Desember. Itu adalah manifestasi kesetiakawanan nasional," katanya. Sedang serangan umum 1 Maret itu merupakan titik kulminasi kesetiakawanan nasional itu. Maka, mulai tahun ini, peringatan SO 1 Maret diwarnai dengan kirab remaja HKSN. Sementara itu, raungan sirene dari puncak gedung eks Hotel Toegoe setiap 1 Maret tepat pukul 06.00, yang selama ini menandai peringatan SO, kali ini ditiadakan. Bunyi sirene itu untuk membangkitkan kembali suasana 1 Maret 1949 -- sirene itu sebagai tanda berakhirnya jam malam dan merupakan awal serangan umum hari itu -- kini dirasakan sudah kurang mantap. "Yang lebih penting, peringatan itu kan untuk generasi muda," kata Mayjen. (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, salah seorang pelaku SO. Maksudnya, untuk mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam peringatan SO, maka generasi muda lebih dilibatkan dalam perhelatan ini, antara lain dengan kirab tadi. Ada lagi yang baru. Pada 1 Maret yang lalu, anggota Paguyuban Wehrkreise III berziarah ke makam Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang meninggal dunia 2 Oktober 1988. Sebenarnya di dalam agenda acara peringatan tak tercantum. "Itu dilakukan karena mempunyai arti yang penting. Sultan HB IX, di samping tokoh yang terlibat beserta Pak Harto, beliau adalah sesepuh Paguyuban Wehrkreise," ujar Sutopo Yuwono. Serangan umum yang berhasil merebut Yogyakarta selama enam jam pada siang hari, 1 Maret 1949, dipimpin oleh Letkol. Soeharto (kini Presiden), Komandan Brigade X dan Komandan Wehrkreise III dengan daerah operasi di sekitar Yogyakarta. Serangan itu membuktikan kepada dunia luar bahwa ABRI dan Pemerintah RI masih mampu berdiri tegak meskipun Presiden Soekarno, Wapres Hatta, serta sejumlah pejabat tinggi lainnya ditawan, sejak Belanda menduduki Yogyakarta, 19 Desember 1948. Peringatan dengan berbagai acara baru ini rupanya lebih mengesankan. Operet anak-anak UGM itu, misalnya, mampu mengembalikan kenangan para pelaku SO yang hadir dalam peringatan itu. "Air mata saya keluar melihat Pak Dirman. Saya mau kasih selamat pada anak-anak UGM itu, mereka melakukannya dengan baik sekali," kata Soekotjo. Amran Nasution, Linda Djalil, Slamet Subagio
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini