Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyulut Perang Gandum

Gabungan importir Indonesia memboikot produk Australia. Efektivitasnya diragukan.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karikatur yang dimuat dalam harian The Weekend Australian- edi-si Sabtu dua pekan lalu itu- te-lah memicu ketegangan. Se-orang pria berpeci sedang menunggangi pria lain ber-badan gelap. Orang gampang me-nafsirkan, si pria berpeci adalah Presi-den Susilo Bambang Yudhoyono dan si- lelaki- yang berkulit hitam mewakili orang Pa-pua. Hubungan Indonesia dan Australia pun semakin panas. Tak ha-nya hubungan diplomatik, tapi juga ekonomi.

Gabungan Importir Nasional Seluruh- Indonesia (GINSI) telah mengambil si-kap. Kamis pekan lalu, organisasi ini menyatakan memboikot produk-produk dari Australia. Alasannya, pemerintah- Australia terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan mem-berikan visa sementara kepada 42 orang pencari suaka asal Papua.

Menurut Ketua Umum GINSI Amirudin Saud, aksi boikot diputuskan dalam rapat badan pengurus pusat organisasi- ini di Jakarta tiga hari sebelumnya. Ga-bungan sekitar 200 importir itu juga meng-imbau buruh pelabuhan di seluruh Indonesia tak melayani pembongkaran barang dari kapal berbendera Australia.- ”Pengusaha yang melanggar akan diberi sanksi. Izin impornya akan dibatalkan,” kata Amirudin.

Selama ini Indonesia mengimpor -komoditas dari Negeri Kanguru seperti- gan-dum, susu, gula, dan tepung terigu. Yang terbesar adalah gandum, mencapai- US$ 445 juta atau sekitar Rp 4 triliun setiap tahun. Buat memenuhi kebutuh-an gandum yang cukup besar, Indonesia akan mengimpor dari negara lain walau har-ganya lebih mahal. Menurut Amirudin-, pihak swasta mampu melakukan- hal itu.

Hanya, Direktur Utama PT Bogasari Flour Mills, Fran-siscus Welirang, berpen-dapat tak mudah memboi-kot produk asal Australia.- Menurut dia, kontrak perdagangan yang melibatkan peng-usaha antarnegara biasanya dilakukan dalam jangka panjang. ”Apakah kon-trak impor yang sudah berjalan juga harus dibatalkan?” kata dia.

Welirang mengingatkan, pembatalan kontrak secara sepihak akan menimbulkan sengketa internasional. Eksportir di Australia dipastikan akan mengajukan gugatan. Aksi ini juga dibalas de-ngan perlakuan yang sama di Australia. Menurut dia, masalah ini bisa diserahkan ke pemerintah. ”Pemerintah, tentu saja, bisa menggunakan ekonomi seba-gai bagian dari negosiasi.”

Bogasari, produsen sejumlah merek- tepung terigu, di antaranya Segitiga Bi-ru dan Cakra Kembar, memang sangat bergantung pada gandum asal Australia. Dari total impor gandum nasional yang mencapai empat juta ton, 80 persen di antaranya diimpor oleh perusahaan ini.

Direktur Bogasari, Philip Purnama, per-nah menyatakan bahwa mengimpor- gandum dari Australia lebih murah ka-rena biaya transportasinya rendah, yaitu US$ 20 per ton. Bandingkan dengan biaya impor dari Eropa, yang mencapai US$ 40 per ton. Memindahkan impor ke Eropa, tentu saja, membuat harga di ting-kat konsumen jauh lebih mahal.

Ekonom Drajad Wibowo menilai, boi-kot bisa efektif bila aksi itu merupa-kan- keputusan yang disetujui semua ang-go-ta GINSI. Artinya, boikot dilakukan- secara sukarela oleh pa-ra anggota. Menurut dia, pemaksaan boi-kot dengan an-cam-an mencabut izin impor bisa menimbulkan im-plikasi hukum.

Drajad sepakat- dengan Welirang, boi-kot produk dari Australia bisa efektif jika itu merupakan keputusan pemerin-tah. ”Ha-nya, masalahnya, apakah sudah harus sampai ke sana untuk meng-atasi ketegang-an de-ngan Australia?” kata politikus Partai Amanat Nasio-nal itu.

Pemerintah sendiri tampaknya belum akan menuju ke sana. Menteri Perindustrian Fahmi Idris beranggapan pemboikotan produk Australia akan merugikan kedua pihak. Seharusnya, menurut dia, masalah politik dan ekonomi tidak dicampuradukkan.

Bukan sekali ini GINSI mem-boikot pro-duk dari luar negeri. Mereka menye-rukan langkah serupa pada produk asal Denmark saat harian- Jyllands-Posten memuat kar-tun Nabi Muhammad dua bulan lalu.

Budi Setyarso, Maruli Ferdinand

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus