Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI 27 tahun itu tergolek lemah di kamar Cicilia, Rumah Sa-kit Dian Harapan, Abepura, Jaya-pura. Bibirnya pucat. Jarum infus masih tertancap di lengannya. Se-ikat perban putih membalut perut ayah tiga anak ini. Sudah hampir dua pekan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih, itu menginap di rumah sakit. ”Saya masih lemas,” ujarnya kepada Tempo.
Dialah Asyo Richard Iak, yang menjadi korban penembakan oleh orang tak dikenal di Jalan Bumi Perkemahan Waena, Abepura, Jayapura, pada Kamis malam, 28 Maret.
Siangnya dia baru diwisuda sebagai sarjana ilmu politik. Untuk merayakan kelulusannya, Richard bersama lima teman-nya kemudian pergi memancing- di kolam areal Bumi Perkemahan Waena. Memancing memang hobinya. Hampir- setiap pekan dia mengail ikan di sana.
Nah, sepulang dari memancing, Richard berbincang bersama teman-te-man-nya di- depan rumahnya sampai ma-lam. Pem-bi-caraan seputar kelulusan- mereka dari Universitas Cenderwasih. Tanpa disadari malapetaka mengintip-nya-.
Ketika jarum jam menunjukkan angka delapan, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Tanpa basa-basi, dua lelaki berbadan tegap, menge-nakan jaket gelap, beraksi. Dorr…! Satu letusan memecah keheningan. Richard yang kaget mengira itu hanya suara ban pecah. ”Tapi, tiba-tiba perut saya terasa nyeri, mengeluarkan darah, dan kepala mulai pusing,” ujarnya.
Sebelum mereka menyadari apa yang telah terjadi, dua pengendara motor itu sudah tancap gas. Tak berapa lama kemudian, Richard tersungkur lemas. Darah mengalir dari rusuk sebelah kiri. Erik Urior, salah satu temannya, menga-ku tak bisa berbuat banyak. Pelaku yang berada di kegelapan tak bisa dilihat dengan jelas. Tak mungkin mengejar pelakunya. Akhirnya, dia dan kawan-kawannya berkonsentrasi menyelamatkan Richard yang ambruk. Dia dilarikan ke rumah sakit.
Richard bukanlah aktivis yang getol berdemonstrasi. Ketika demo berdarah- meletup di depan Universitas Cenderawasih, 16 Maret lalu, dia juga tidak terlibat secara langsung. Demo yang ber-akhir rusuh ini menewaskan empat polisi dan satu tentara.
Toh, muncul dugaan, penembakan dila-kukan oleh aparat yang mungkin membalas dendam. Apalagi, sempat tersiar pula kabar adanya 16 mahasiswa yang ter-bunuh di Papua tak lama setelah kerusuhan di Abepura. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan sempat mengirimkan tim ke Jayapura untuk menyelidiki, tapi hasilnya nihil. ”Kami tak menemukan bukti apa pun,” kata Koordinator Kontras, Usman Hamid.
Ketua Perjuangan Rakyat Papua, Hans Gezbe, juga membenarkan dugaan adanya aksi balas dendam. Menurut dia, mungkin ada polisi yang tak mampu mengontrol diri ketika berusaha mengejar sejumlah aktivis. Apalagi, banyak aktivis, termasuk Gezbe sendiri, sampai sekarang belum tertangkap.
Spekulasi lain, penembakan terhadap Richard merupakan upaya untuk meng-alihkan isu menuntut penutupan per-usahaan tambang PT Freeport menjadi masalah keamanan. Juru bicara Perju-ang-an Rakyat Papua, Arkilaus Baho, men-duga pelakunya aparat keamanan di luar kepolisian. ”Itu provokasi agar militer masuk Papua,” ujarnya.
Menurut Gezbe, kemungkinan seperti itu juga masuk akal. Ada pihak ketiga yang sengaja ingin memperkeruh suasa-na. Mereka bisa dari aparat maupun warga sipil. ”Mungkin ini bagian dari perebutan proyek pengamanan Freeport,” ujarnya.
Penembakan Richard terjadi hanya- beberapa jam setelah kunjungan sejum-lah petinggi Jakarta ke Jayapura. Rombongan yang terdiri dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Widodo A.S., Menteri Dalam Negeri Mohamad Ma’ruf, Panglima TNI Jenderal Joko Suyanto, dan Kepala Polisi Jende-ral Soetanto. Mereka mengadakan pertemuan dengan pejabat dan tokoh masyarakat Papua.
Agar spekulasi tak berkembang jauh, Jenderal Soetanto memerintahkan dilakukan uji balistik terhadap proyektil yang bersarang di saluran kencing korban. Pengujian ini bertujuan untuk menentukan jenis senjata yang digunakan pelaku. Setelah dilakukan penelitian, ternyata senjata milik pelaku adalah jenis revolver, pistol standar kepolisian.
Ada 129 senjata revolver berpeluru kaliber 38 mm milik kepolisian Papua. Sebanyak 21 pucuk pistol digunakan Pol-sek Abepura, 19 pistol dipakai oleh Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Papua, 11 pistol digunakan Reserse Mobil, dan 78 pucuk dipakai Brigade Mobil. Semua pistol polisi ini buatan Smith & Wesson dan Pindad.
Penelitian juga telah dilakukan di la-bo-ratorium forensik, tapi belum ditemu-kan pistol yang cocok dengan senjata pelaku. Penelitian forensik biasanya dilakukan terhadap perputaran dan bentuk akhir proyektil setelah tumbukan. ”Sampai saat ini, tak ada satu pun yang identik,” kata Soetanto.
Di tengah usaha mengungkap pelaku penembakan, seorang warga menerima titipan senjata api rakitan. Agustinus Mar-then Demetouw, 43 tahun, yang te-ngah berdagang pinang di depan Rumah Sakit Dian Harapan, menerimanya da-lam bungkus plastik. Pistol itu diberikan oleh pria yang mengendarai sepeda motor bebek berwarna hitam. Kini polisi sedang meneliti senjata api itu.
Menurut Usman Hamid, penelitian seharusnya dilakukan juga terhadap senjata tentara, termasuk Komando Pasuk-an Khusus yang bertugas di Papua. So-alnya, ada pula dugaan penembakan terhadap Richard dilakukan oleh tentara. ”Langkah ini perlu dilakukan jika penelitian terhadap senjata polisi tak mendapatkan hasil,” katanya.
Menghadapi desakan itu, Panglima TNI Jenderal Joko Suyanto pun cepat tang-gap. Dia telah meminta semua senjata pasukan TNI yang bertugas di Papua dikumpulkan untuk diteliti. ”Jika penembaknya bukan aparat, kejadian itu dilakukan oleh pihak yang ingin menyudutkan TNI dan polisi di Papua,” kata Joko.
Purwanto, Erwin Dewanto (Jakarta), Cunding Levi, Lita Oetomo (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo